08. Cerita Hujan
Kau tahu, membuat seseorang merindu akan dirimu adalah sebuah kejahatan yang harus dibayar dengan temu.
_________________________________________*diplay videonya ya!
Hujan deras membuat Nafsa benar-benar kesal. Selain karena harus basah-basahan menuju gedung kelasnya yang berada agak di belakang, tingkah ayahnya yang belagak seperti oppa-oppa di drama Korea dengan mengantarkannya menuju kelas menggunakan payung transparan, tak kalah menambah kekesalahnya hari ini. Hal itu membuatnya jadi pusat perhatian oleh satu sekolah. Terlebih gadis-gadis yang suka sekali menggosipkannya. Bisa semakin jadi omongan macam-macam mereka tentang dirinya.
Tapi sepertinya sesuatu yang lebih besar menanti Nafsa. Tepat beberapa langkah lagi menuju kelas, Nafsa mendadak berhenti. Hal itu membuat sosok tinggi yang sedari tadi berdiri bersandar pada tembok tembok kelas memandang ke arah lain jadi menoleh. Tubuh Nafsa gemetar saat Galang menampilkan seulas senyum karena kemunculan Nafsa yang sejak tadi ia tunggu sedari tadi. Pemuda itu melangkah ke arah Nafsa, membuat gadis itu merasa sedikit terancam karena teringat kejadian di UKS.
"Naf—"
"Jangan mendekat!" Nafsa menahan langkah Galang.
Kening Galang berkerut, "Lo kenapa sih?"
Nafsa terpegun mendengar ucapan Galang. Kenapa katanya? Begitu entengnya pemuda itu bertanya dengan wajah tanpa rasa bersalah seperti itu. Apa dia pikir perilakunya di UKS kemarin itu bukan masalah besar?
Nafsa menarik napas panjang, mengembuskannya cepat, menahan diri. "Gak apa-apa. Gue duluan," katanya melangkah melewati Galang begitu saja. Gadis itu tak mau mendengar lagi apa pun yang mau diucapkan Galang. Setidaknya lebih baik begitu, daripada ia terus berada di sini dan tak segan nanti mendaratkan tamparan di salah satu atau malah kedua pipi Galang.
Nafsa meletakkan tasnya ke atas meja dengan agak keras, sedikit cara meluapkan amarahnya karena Galang. Gadis itu merebahkan kepala di atas meja beralaskan tas biru mudanya, memandangi tetesan hujan yang jatuh dari atap melalui jendela.
Hari ini kursi di sebelah Nafsa masih kosong. Tas hitam yang biasanya sudah menggantung di samping meja pemuda itu, dua hari ini mendadak menjadi benda yang paling Nafsa rindukan. Ketidakhadiran Arjuna jelas bukan masalah besar bagi sebagian penghuni kelas yang tak pernah dekat dengan pemuda itu. Tapi bagi Nafsa, ketidakhadiran sosok dingin yang irit bicara itu menciptakan sepi yang tak bisa ia usir sendiri.
"Hujannya deras."
Nafsa mengangkat kepala, menoleh cepat ke asal suara. Butuh beberapa detik baginya untuk benar-benar percaya pada sosok di depannya. Meski wajah pemuda itu setengah tertutupi kupluk hoodie, plester luka yang berada di sudut bibirnya jelas tak bisa menyembunyikan itu.
"Lo datang?!" Nafsa mengerjap beberapa kali untuk memastikan kalau sekarang ia sedang tidak berhalusinasi.
Pemuda itu menggantung tas di sisi meja seperti biasa lalu mendudukkan diri di kursi di sebelah Nafsa. Setiap gerak-geriknya teramat tenang, tak sadar kalau gadis di sebelahnya mendadak seperti orang yang kehilangan kewarasan karena kehadirannya.
"Segitu kangennya lo sama gue?" celetuk Arjuna kontan membuat Nafsa tersadar.
"Idih, kepedean," cibir Nafsa. "Lo kali yang kangen sama gue. Luka belum sembuh udah sekolah aja."
Arjuna hanya diam, tertembak tepat tak bisa menyangkal apa yang dikatakan Nafsa.
"CIEEE BENERAN KANGEN GUE, YA?" Nafsa mencolek lengan Arjuna menggoda. Arjuna menepis pelan tangan gadis itu, menatapnya tajam menyembunyikan rasa malu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Before It's Too Late (Again)
Teen FictionBerita putusnya hubungan Nafsa dan Galang tepat sehari sebelum pembagian rapor kenaikan kelas memang membuat SMA Semesta gempar. Kejadian yang tiba-tiba, juga tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka sepakat untuk mengakhiri semuanya, membuat tanda...