01.

79 8 7
                                        

01. Es Balok Berjalan


Sekeras apa pun es yang membeku, tetap akan meleleh jika terkena panas. Begitu juga dengan aku, akan luluh jika dekat denganmu.

_______________________________________


Selepas bel pulang berbunyi, Nafsa bergegas merapikan peralatan tulis-menulisnya. Hal itu mengundang perhatian Arjuna, tapi pemuda itu langsung memalingkan wajah saat Nafsa menoleh ke arahnya.

"Duluan Arjun," pamit Nafsa mengaitkan tas di bahu.

Arjuna tersentak mendengar panggilan yang gadis itu berikan padanya. Dia menoleh, namun sosok Nafsa sudah berlari keluar kelas dengan tas biru besar di punggungnya yang membuatnya tampak lebih seperti murid Sekolah Dasar ketimbang seorang siswi Sekolah Menengah Atas.

Mata Arjuna terus mengikuti sosok Nafsa, sampai akhirnya gadis itu menghilang dari pandangannya tertutup tembok. Arjuna mendesah lega setelahnya. Dia meletakkan telapak tangan di bagian depan kemeja seragamnya, merasakan debaran cepat yang sejak tadi berusaha dia tahan.

Setahun berlalu, namun rasa yang dia miliki sama sekali tak berkurang.

***

Gerbang agak sesak saat Nafsa sampai di sana. Jadi, daripada membuat diri gerah dengan berdesak-desakkan di sana, Nafsa memilih menunggu ayahnya di depan toko fotocopy sebelah sekolah yang lebih sepi sambil mengulum sebuah permen kaki. Seperti anak kecil memang, tapi itu adalah salah satu makanan kesukaannya.

Saat asik mengulum permen kaki, suara motor yang tidak asing di indra pendengaran Nafsa tiba-tiba terdengar. Nafsa menoleh cepat mencari sumber suara, lalu dari gerbang sekolah motor hitam itu bergerak keluar. Mata Nafsa terus mengikuti gerak motor itu, bahkan sampai motor itu melaju di depan toko fotocopy tempat Nafsa menunggu. Sesaat Nafsa dan sang pengendara yang menggunakan helm full face dengan kaca terbuka itu saling tatap, walau berikutnya pandangan Nafsa jatuh pada gadis yang duduk di belakang pemuda itu yang terlihat malu-malu.

Yashinta, gadis yang tadi mengambil tempat duduk Nafsa kini merebut bagian belakang motor sport hitam yang dahulu selalu Nafsa isi. Belum pernah ada yang mengisi tempat itu selain Nafsa, dan sekarang Yashinta membuat rekor baru.

Sesak mungkin terasa merambati dada Nafsa melihat itu semua, namun bersamaan dengan itu seulas senyum bahagia terbit dari bibirnya karena akhirnya Galang bisa menemukan kebahagiaan bersama orang baru.


"Nafsa!"

Nafsa menoleh ke asal suara mendengar namanya disebut. Sosok pria berusia kurang lebih empat puluh tahun itu menyembulkan kepala dari balik kaca mobil sambil tersenyum lebar. Senyum menggemaskan karena sepasang matanya juga ikut tersenyum saat kedua sudut bibirnya membentuk pelangi terbalik.

Nafsa langsung berlari menuju mobil ayahnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia langsung menyalami tangan ayahnya begitu masuk, tak lupa kecupan singkat di pipi pria itu.

"Gimana sekolahnya? Seru?" tanya Daniel—ayah Nafsa—melajukan mobil menjauhi area sekolah.

"Lumayan," jawab Nafsa seadanya, "Cuma teman sebangku Nafsa aja yang mirip es balok," sambungnya membuat tawa Daniel pecah.

"Itu orang atau benda? Kamu kok bilang dia mirip es balok, sih?" tanya Daniel masih tertawa melihat tingkah putrinya.

Nafsa mengerucutkan bibir sebal. "Dia itu dingiiin banget! Kutub Utara aja kalah dingin sama dia, Yah!" katanya menggebu-gebu.

Before It's Too Late (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang