Bolos

408 75 13
                                    

"Rumor itu tidak benar kan?"

"Rumor apa?"

Aku berhenti berjalan, sehingga Irene yang sedang memegang tanganku jadi ikut terhenti. Dia menolehkan kepala, kemudian memiringkannya dengan lucu. Aku hampir ingin mencubit pipi bulat itu kalau tidak ingat dengan pembicaraan serius yang sebentar lagi akan mengisi keheningan diantara kita.

"Kamu mau pindah sekolah?" Aku mencoba mengeluarkan suaraku tanpa terdengar terlalu sedih dan tidak rela. Irene bahkan belum mengkonfirmasi berita itu, jadi aku tidak seharusnya merasa seperti ini.

"Kamu repot-repot bolos hanya untuk membahas berita konyol yang mereka buat hanya karena mereka sudah muak melihat wajahku? Aku tidak semudah itu bisa disingkirkan, kau tahu?" Dia menjawab dengan senyum bunny khasnya.

Meski Irene terdengar sangat meyakinkan, aku masih belum percaya. Entah kenapa, instingku mengatakan bahwa ada sesuatu yang Irene sedang sembunyikan dan aku tidak akan membiarkan dia menutupi apapun dariku.

"Katakan!"

"Apa sih? Berhenti mengerutkan kening, kau terlihat seperti seorang kakek tua, tahu!" Dia berjinjit, meraih dahiku kemudian mengusapnya lembut seolah hendak mengusir kerutan kecil yang ada disana.

Perlakuan itu berhasil membuat senyum kecil mengembang di bibirku.
"Baiklah, mari anggap semua apa yang mereka katakan hanya gosip murahan. Kau benar, aku sengaja kabur dari sekolah—padahal biasanya aku tidak seperti ini—tidak untuk membuat kepalaku tambah stres."

"Kalau begitu, ayo kita pergi ke taman bermain!" Irene berseru, menarik ku mendekati halte bus karena butuh sekitar 20 menit untuk menuju kesana.

Dia terlihat bersemangat, tidak seperti Irene yang rapuh dan sedih yang aku lihat seminggu lalu, jadi kupikir tidak ada salahnya menuruti kemauannya untuk sekali ini.

Kami tiba di taman bermain dan langsung membeli tiket masuk. Untungnya, di tempat ini tarif biaya yang dikenakan hanya saat masuk saja. Selebihnya, semua wahana yang tersedia didalam tidak lagi dikenakan biaya apapun.

Dengan itu, kantongku tidak akan terlalu jebol dan aku masih bisa menabung untuk membeli gitar yang selama ini aku incar di toko tidak jauh dari sekolah.

"Kau mau naik apa?"

"Tidak tahu, aku belum pernah kesini sebelumnya."

Irene menatapku tidak percaya, seolah aku adalah seorang Tarzan yang baru saja keluar dari habitatnya.

Hey, aku memang belum pernah ke taman bermain karena menurutku itu kekanakan.

Baiklah, sebenarnya aku hanya tidak punya seseorang untuk diajak pergi.

"Jangan menatapku begitu! Memangnya orang yang belum pernah kesini seaneh itu?" Aku memprotes, sedikit terganggu dengan ekspresi berlebihan yang dipakai Irene.

"TENTU SAJA ANEH! Kamu tinggal di goa ya selama ini?" Tanyanya berapi-api, dia bahkan sampai meraih jasku lalu mengguncang-guncangnya brutal.

Aku memprotes, lagi—untuk kedua kalinya. "Aku tinggal di rumah, terima kasih, dan aku juga terlalu sibuk belajar, tidak seperti kamu yang punya banyak waktu untuk bermain."

Irene hanya mendecih, kemudian pergi menjauh dengan kaki menghentak lucu. Aku terkekeh, berlari menyusulnya lalu memeluk bahu Irene untuk mengganggunya.

"Jadi, kita mau naik apa? Bagaimana kalau rollercoaster?" Tawarku dengan alis sebelah terangkat. Irene menyilangkan lengan, dengan dagu yang juga terangkat, dia segera menjawab.

"Oke, siapa takut! Kita naiki seluruh wahana di tempat ini, siapa yang bisa bertahan sampai akhir, dia pemenangnya. Yang kalah harus mentraktir makan di restoran bintang lima."

Pain KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang