Going through the pain

360 69 11
                                    

"She's in the rain
You wanna hurt yourself I'll stay with you
You wanna make yourself go through the pain
It's better to be held than holding on."

— The rose (she's in the rain)




Aku pernah mengalami kejadian paling tidak menyenangkan dalam hidup. Saat itu, ayah dan ibu dengan tega meninggalkan ku sendiri di Kanada untuk meneruskan sekolah ku—katanya. Aku baru berumur 8 tahun ketika ayah dengan bangga mengatakan akan membawaku liburan ke negeri dengan cuaca sangat dingin itu. Aku bahkan tidak tahu musim dingin di Kanada bisa jadi seratus kali lipat lebih mengerikan daripada di Korea.

Awalnya aku kira ayah lupa membawa ku pulang, tapi ternyata dia memang sengaja meninggalkan ku sendiri disana. Dia bilang, dia sudah mendaftarkan ku ke boarding school dengan fasilitas paling lengkap, jadi aku tidak perlu khawatir. Ketika itu, aku tidak peduli meski sekolah yang ayah maksud, memang memiliki fasilitas paling lengkap dan merupakan sekolah dengan reputasi tinggi. Yang aku ingin hanya, pulang dan berkumpul bersama kedua orangtua dan kakakku.

Aku menangis hingga aku jatuh tertidur di kamar asrama dengan penghuni satu orang lain didalamnya. Aku bahkan menolak masuk sekolah selama minggu pertama aku berada disana, karena aku benar-benar ingin pulang dan memukul ayah yang sudah seenaknya membuangku kesini.

Itu adalah memori yang sampai sekarang tidak pernah berhenti ku kutuk.

Meski aku sudah memaafkan ayah dan sedikit bersyukur karena dia sudah melakukan itu—karena dengan begitu aku bisa belajar banyak bahasa asing dan bergaul dengan berbagai macam manusia—aku masih akan kesal kalau mengingat ayah yang dengan tega menipuku menggunakan embel-embel liburan.

Memori buruk yang aku miliki hanyalah sebatas ditinggalkan di negeri asing dengan tiba-tiba dan mendadak. Sementara Irene, mungkin ini adalah yang paling mengerikan baginya.

Aku tidak bisa membandingkan karena ditinggalkan sendiri di negeri orang juga bukanlah sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai pengalaman menyenangkan.

Ah, mungkin lebih tepat dikatakan bahwa kita berdua sama-sama sial karena orangtua kita sendiri.

Aku yang dibuang, dan Irene yang harus mendapatkan perilaku tidak pantas hanya karena kesalahan ayahnya.

Ini tidak adil.

"Hey, berhenti mengatakan hal-hal aneh yang bahkan kau tidak tahu kebenarannya!" Tanganku reflek menarik Irene yang hanya menunduk sehingga aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajahnya sekarang.

"Memang benar kan, dia ini anak sial, ayahnya saja sampai tersandung kasus korupsi seperti itu. Pantas saja anaknya tidak bermoral."

"Begitu ya, kamu tidak salah sih.. toh, aku memang anak sial."

Belum sempat aku menjawab, Irene sudah keburu membuka suaranya. Aku melirik khawatir, takut-takut kalau Irene mulai hilang kendali. Oleh sebab itu, aku tarik lagi lengannya untuk menjauhi kerumunan murid dengan wajah-wajah penasaran dan mengejek yang tengah mengelilingi kami.

"Sudahlah ayo kita pergi dari—"

"Karena aku sudah tanggung menjadi anak sial, kenapa tidak sekalian menyusul lelaki brengsek itu ke penjara!"

"YA, IRENE HENTIKAN!"

Aku sekuat tenaga menarik badan Irene yang memberontak. Jujur saja, aku hampir kewalahan apalagi saat Irene tidak berhenti menjulurkan tangannya untuk menarik rambut murid perempuan yang sudah mengatainya tadi. Meski aku ingin sekali membalas perkataan siswi itu, tapi aku tidak ingin memperkeruh suasana dengan kekerasan.

Pain KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang