Sepertinya menyesal dan manusia itu adalah dua kata yang tidak bisa jauh dari satu sama lain.
Apa sih yang aku pikirkan sampai mengizinkan Irene menginap di rumahku hanya karena dia bilang tidak ingin pulang?
Maksudku, apa aku sebegitu merasa buruk hingga membiarkan Irene dengan bodohnya hampir membakar dapurku?
DAPURKU ISTANAKU!
"Kau tahu, kau bisa saja bilang bahwa kau lapar, tidak perlu menghancurkan dapurku."
Kulihat Irene hanya bisa cemberut, menggumam tidak jelas kemudian dengan ngambek menyilangkan lengannya seolah-olah akulah yang bersalah disini.
Benar-benar deh, baru tadi siang aku hampir kehilangan kewarasan karena tidak dapat menemukan gadis ini di UKS dan bahkan seluruh area sekolah yang luasnya bukan main. Aku mencarinya kemana-mana dan hampir ingin menelepon polisi—hanya untuk mendapati dia sedang berdiri di tengah jalan guna mengantarkan nyawanya ke malaikat maut.
Aku lalu dibuat hampir gila untuk kedua kalinya karena ternyata Irene tidak berniat menggagalkan rencana bunuh dirinya atau bahkan sekedar menenangkan diri terlebih dahulu dan entah sejak kapan aku benci melihatnya menangis seperti itu.
Rasanya aku juga ikut merasakan luka yang dia derita, ingin ikut menangis bersamanya untuk memberitahunya bahwa dia tidak sendiri melewati semua ini.
Sekarang, aku nyaris berteriak karena ternyata kenyataan lainnya tentang Irene yang tidak aku tahu kembali berhasil membuatku mengutuk segala kebetulan yang selama ini menyatukan kita.
Ya ya ya, aku memang peduli pada Irene. Perasaan yang entah sejak kapan menempati hati ku, menyita seluruh perhatianku hanya dengan mendengar namanya saja. Aku peduli pada Irene, tapi sepertinya aku lebih peduli pada dapurku sekarang—setelah kupikirkan matang-matang dan berulang.
Aku lebih tidak rela dapurku terbakar daripada membiarkan Irene pulang ke rumahnya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Aku masih tidak mengerti, bagaimana bisa nasi gorengnya masih mentah tapi penggorengannya gosong seperti ini?" Kataku lagi sambil bersedekap.
Irene duduk diatas kursi makan, masih dengan wajah ditekuk dan bibir monyong.
"Aku tidak tahu, jangan tanya aku dong, tanya frying pannya sana!" Jawabnya nyaris berteriak.
Aku menggelengkan kepala, benar-benar tidak menyangka ternyata Irene memiliki kemampuan nol besar dalam hal memasak. Yah, tidak heran sih. Kalau dipikir lagi, dia kan memang anak manja dan suka seenaknya.
Tapi maksudku, ibunya kan seorang chef terkenal yang bahkan namanya sudah sampai keluar negeri. Pasti ada satu dua pelajaran memasak atau resep yang dia wariskan kepada anak satu-satunya itu kan?
Sudahlah, sepertinya perkiraan ku selama ini salah. Daripada berputar-putar memikirkan masalah itu, lebih baik aku mulai menyiapkan makan malam karena ini sudah hampir larut dan aku tidak ingin tidur terlambat.
Aku mengambil bahan-bahan tambahan untuk memperbaiki nasi goreng gagal yang sempat dibuat Irene tadi.
"Diam saja disitu, atau tunggu diruang tamu sana."
Aku tersenyum kecil ketika Irene dengan kaki menghentak akhirnya menuruti perkataan ku. Dia hendak membantu dan aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi, tentu aku tidak ingin dapurku yang hampir terbakar, beneran terbakar untuk kedua kalinya. Dilain sisi aku merasa lega karena ternyata dia masih tahu norma umum yang ada di masyarakat.
"Tidak buruk untuk ukuran anak manja dan suka membuli juga menyebalkan."
Selesai membuat nasi goreng, aku berjalan menuju ruang tamu dan menghidangkan satu piring dimeja sementara bagian ku, aku tumpu dengan telapak tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Killer
Ficțiune adolescențiPerbedaan paling serius yang membawa keberuntungan manis. Aku sedikit bersyukur kita dipertemukan dengan cara seperti ini, karena dengan begitu.. aku bisa mengenal seluruh dirimu yang bahkan keluarga mu sendiri tidak tahu.