🌟Jadilah pembaca yang bijak🌟
∆∆
∆-Berteman merupakan kegiatan yang gak terlalu berfaedah, apalagi sama orang yang tingkat kepintarannya rendah . Tapi, kalo menyenangkan dan membuat bahagia, Kalian pilih mana?-
“Akhirnya lu sampai juga,” sapa Alex setelah melihat Revano datang dari pintu belakang.
Revano mengangguk kecil, “Reno kemana?” tanya Revano sambil melihat-lihat di sekeliling.
Matanya terkunci saat melihat dua orang laki-laki di teras depan. Yang satu sedang duduk di kursi dengan kepala menunduk dan yang satu lagi berdiri di depannya seperti sedang menginterogasi, dan Revano yakin itu Reno. Tapi, siapa yang duduk disana?
Revano beralih menatap Alex yang sedang mengetik di laptopnya. “Orang itu? Dia salah satu saksi waktu lu nabrak mereka,” ujar Alex. Dia tahu, Revano pasti akan menanyakan itu.
Sementara sang empu tidak terlalu kaget mendengarnya. Ia sudah yakin akan hal ini. Sebab, waktu itu memang posisinya di jalan raya dan lumayan ramai pula.
“Kok lu bawa dia kesini?” tanya Revano melangkah untuk duduk di samping Alex.
Alex yang segera merespon mematikan laptopnya dan mulai menoleh ke samping, “Pas gua sama Reno lagi mau beli minuman, kita dengar ada orang yang bertanya tentang kecelakaan waktu lalu. Nah, terus si laki-laki itu menjelaskan semuanya, bahkan detail banget. Dia hapal plat nomor motor lu juga,” jelas Alex.
Revano mengangguk-ngangguk. “Gua cuman berharap, semua gak akan terbongkar.” Sampai sekarang, mereka masih belum mau berkutik soal apapun mengenai tabrak lari yang dilakukan Revano. Meski, mereka sudah tahu siapa keluarga dan apa yang terjadi dengannya setelah itu. Itulah, sebabnya Alex berusaha mendekati Tania dengan Revano.
Tapi, sepertinya ada yang aneh dari sikap Revano kepada Tania. Selama ini Alex juga memantau mereka. Ah, bukan masalah yang besar, pikir Alex.
***
“Haloooo may prennn!” Kallyn mulai lagi. Sepertinya tiada hari tanpa berteriak di hidupnya.
“Yaampun Kallyn, bisa gak sih gak usah teriak gitu. Kasian yang lain terganggu,” ucap Tania yang sedang menggambar sesuatu di bukunya.
Kallyn mengeluarkan napas kasar, “Maafin gue Tan, dari lahir emang congor gue kayak gini.” Tania menghela napas pelan, dia mengerti sifat teman satunya ini.
“Oh iya, hari ini kita disuruh buat kelompok loh!” seru Tania mengalihkan pembicaraan.
Kallyn kembali semangat, “Hah! Seriously? Kelompok apa? Tugas apa? Bahasa Indonesia? IPA? IPS? Budi pekerti? Olahraga? Matema—”
“Ssssttthhh.. udah, cukup.” Kallyn terkekeh.
“Tadi Bu Anis kesini, belum ada orang baru aku. Dia bilang katanya hari ini dia ga bisa masuk kelas dulu, alhasil disuruh bikin kelompok buat drama Minggu depan,” jelas Tania.
Kallyn manggut-manggut, sampai ketika, “WHAT! MINGGU DEPAN? GA SALAH?” Toa kebanggaannya keluar.
“Tuh guru gembrot satu emang bener-bener. Udah bagus gak masuk hari ini. Eh, malah suruh bikin drama, deadline-nya Minggu depan lagi!” lanjutnya mengomel.
Kallyn terdiam sejenak, lalu beralih menatap Tania yang sekarang mulai fokus menggambar lagi. Entah apa yang dia gambar sedari tadi.
“Tan! Lu sekelompok sama gua kan? Ya? Yayayayaya?” paksa Kallyn. Tania juga sebenarnya memang berniat seperti itu. Mau sama siapa lagi dia? Kan temannya disini cuman Kallyn.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAAPATI [ON GOING]
Novela JuvenilBagi Respati, melepaskan untuk mengikhlaskan adalah suatu keputusan yang baik. Namun Tania? Baginya mengikhlaskan tidak harus melepaskan. Sampai keduanya membisu lalu diam dalam rindu. "Tapi gua ga mau sama dia! Masa lalu, ya masa lalu. Ga perlu dii...