Ke Masa Lalu

229 13 4
                                    

Hari yang cerah di Shinmakoku...

Conrad's POV

Pagi ini kulihat para prajurit kasak kusuk di koridor istana. Mereka tampak membawa barang barang berat di tangan. Sepertinya, mereka diminta untuk membersihkan gudang. Dacascos lewat di sampingku sambil membawa barang antik. Ia lalu bertanya padaku, "Weller-kyo, apa Anda melihat Demon Mirror? Kami sedang mencarinya, tapi dari tadi belum ketemu"

Aku akhirnya menawarkan bantuan untuk mencari, berhubung aku sedang tidak ada kegiatan karena Yuuri sedang pulang ke Bumi, dan sepertinya tidak ada misi.

Aku masuk ke gudang. Debu hampir memenuhi ruangan itu. Terlihat beberapa prajurit menggunakan kemoceng untuk mengusir debu. Aku mulai mencari demon mirror. Tapi setelah satu jam, belum ketemu juga.

"Tolong bantu disini!" terdengar suara salah satu prajurit memanggil 6 orang prajurit yang ada di gudang. Mereka memenuhi panggilan dan segera pergi. Sementara itu aku terus mencari cermin itu. Tiba tiba mataku tertuju pada sebuah mangkuk putih yang ditutupi debu dan barang barang lain. Aku menyingkirkan barang barang yang menutupi benda menyerupai mangkok ramen itu.

"Ini dia!"

Aku tersenyum menatap mangkok itu sebentar, sebelum ingin menyerahkannya pada Dacascos. Tapi aneh, baru lima detik aku menatap dasar mangkok itu, tiba tiba kesadaranku memudar.

Saat membuka mata, aku terkejut sekali mendapati diriku sedang berdiri di tengah koridor istana, dan aku melihat tubuhku transparan. Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku paham. Mungkin aku tersedot masuk ke dalam demon mirror itu.
Terlebih saat aku melihat sosok Gwendal saat dia masih remaja, sedang berjalan di koridor. Ia tidak melihat diriku karena sepertinya aku saat ini tembus pandang. Tapi untuk berjaga jaga, aku berniat bersembunyi di balik tembok. Tapi sebelum aku mencapai tembok, entah kenapa, sosok diriku tiba tiba jadi terlihat kembali. Dan Gwendal sudah ada di depanku. Ia lalu bertanya padaku dengan wajah bingung dan curiga, "Kau siapa? Kenapa kau bisa ada disini?"

Wajahku yang tadi bingung, berubah jadi gugup seketika. Otakku segera berpikir, dan akhirnya aku menjawab,

"Namaku Lawrence. Aku diundang ke sini karena suatu keperluan" Aku berkata agak gugup.
Gwendal menatapku curiga. "Kau dari keluarga Weller, kan? Kau ada perlu dengan hahaue?" Kudengar nada yang tidak terlalu ramah.
Aku terkejut dan mengiyakan pertanyaannya yang pertama. Kenapa dia tahu? Batinku.

Kemudian seperti membaca pikiranku, ia berkata, "Kau mirip sekali dengan lelaki itu... Dan Conrad. Kalau ingin bertemu hahaue, dia ada di ruangan ujung sebelah kanan" Gwendal berkata datar sambil berjalan menjauh.

Setelah menimbang beberapa saat, aku memutuskan untuk pergi ke ruangan yang ditunjukkan Gwendal.

Saat aku membuka pintu ruangan itu sedikit, terlihat seorang wanita sedang duduk di sebuah sofa sambil menghirup teh. Aku cukup terkejut melihat sosok hahaue yang terlihat lebih muda dari biasa. Ini makin meyakinkan aku kalau aku memang terseret ke masa lalu.

Saat aku hendak menutup pintu, terdengar suara hahaue, "Siapa itu?"
Aku bingung. Harus masuk atau menjauh saja. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk. Karena aku juga yang tadi sudah membuka pintu. Aku masuk dengan langkah pelan dan wajah yang menunduk. Wajahku baru kuangkat saat hahaue bertanya, "Siapa kau? Kau mirip sekali dengan Danhiri. Kau kerabatnya?"

Ditanyai begitu, ditambah keadaan hatiku yang gugup, aku jadi menjawab dengan sedikit gagap.

"Na, nama Saya Lawrence... Saya.. " Aku belum selesai sampai hahaue berkata lagi, "Ah, kau pasti salah satu kerabat Danhiri. Ada apa? Kau diundang Danhiri kesini? Bukankah dia sedang berkelana dengan Conrad, ya? Dan pulangnya pun 2 minggu lagi. Siapa yang membawamu kesini?"

Rentetan pertanyaanya itu memberiku ide.

"Begitulah. Saya memang diundang Danhiri kesini. Dan tadi saya bertemu remaja berambut ponytail dan menyuruh saya kesini"

Aku pura pura tidak mengenal Gwendal. Danhiri sedang pergi. Tidak akan ketahuan kalau aku berbohong. Paling tidak, untuk saat ini.

"Oh, yang kau maksud Gwendal. Duduklah. Aku akan menyiapkan teh dan biskuit" Ia berkata sambil meminta tolong pada seorang pelayan wanita yang sedang berdiri anggun di sudut ruangan.

"Kau mirip sekali dengan Conrad, ya" katanya sambil tersenyum menatapku.

'Aku memang Conrad, hahaue. Maaf aku membohongimu'

"Kenapa Danhiri mengundangmu hari ini? Bukankah dia sedang pergi?" hahaue bertanya lembut.

Saat menatap wajah itu, aku jadi merasa enggan berbohong. Tapi akhirnya aku lebih memilih untuk merahasiakannya saja.

"Entahlah, saya tidak tahu. Ternyata dia sedang pergi, ya" Aku berusaha berkata sedatar mungkin agar hahaue tidak curiga.

"Hm, aneh juga. Nanti akan kutanyakan padanya saat dia datang. Jadi apa kau mau pulang? Atau mau keliling istana ini?"

"Terima kasih, tapi saya ingin pulang saja. Terima kasih teh dan kuenya. Permisi"

Saat hendak mencapai pintu, hahaue tiba tiba mencegahku.
"Apa kau sedang sibuk?" Nada suaranya tidak ceria seperti tadi. Cenderung sedih.

Aku menoleh. "Sebenarnya tidak"
"Kalau begitu, temuilah anak bungsuku di taman kalau kau tidak keberatan. Nama anak itu Wolfram. Dia sedang kesepian dan sedih karena kakaknya sedang pergi. Tolong temani dia bermain kalau kau tidak keberatan" suaranya lembut seperti biasa.

Aku menatap wajahnya sebentar sebelum mengangguk dan melangkah keluar.

Wolfram? Wolfram kecil? Apa aku akan bermain dengannya lagi? Dalam hati, aku sedikit ragu.

Aku berjalan di koridor. Kemudian mataku menangkap sosok seorang bocah laki laki berambut pirang sedang duduk di tepi tembok bata rendah, pagar bagi para bunga bunga di taman itu. Wajahnya menunduk, sambil menggoyangkan kaki.

Aku beranikan diriku untuk menyapanya.

"Hei, kau sedang apa?"
Kepalanya yang tadi menunduk otomatis mendongak mendengar sapaanku.

"Kau siapa?" Ia bertanya dengan muka polos dan bingung.

Aku tersenyum melihat ekspresi adikku itu. Ekspresi yang sudah lama sekali tidak aku lihat.

"Namaku Lawrence" Uh, lagi lagi aku harus menyebut nama samaran aneh ini. Soalnya bisa repot kalo mereka tahu aku adalah Conrad dari masa depan.

"Aku diminta ibumu untuk menemanimu bermain" lanjutku. Aku berdoa dalam hati semoga dia tidak curiga.

Matanya langsung cerah mendengar perkataanku. Bola mata hijau zamrud itu tampak senang.

"Benarkah?! Kalau begitu, temani aku main pedang, ya. Sebentar, aku ambil dulu"

Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

Tak lama kemudian, Wolfram kembali. Di tangannya ada dua buah pedang kecil yang terbuat dari kayu. Pas untuk ukuran anak anak.

"Ini milik chisai aniue. Kau boleh pakai" Aku menerima pedang kecil itu Sudah lama sekali.
Aku tertegun menatap sosok mungil di depanku. Wolfram yang masih kecil. Aku jadi teringat pada saat saat kelahirannya...

To be continued

Suatu Hari, di Masa Lalu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang