Di Tepi Danau

160 9 3
                                    

Hari menjelang sore. Setelah istirahat sejenak di siang hari, Wolfram kembali mengajakku bermain. Apa boleh buat. Anak anak memang seperti itu, kan?

Kali ini dia mengajakku ke sebuah danau yang ada di tengah hutan kecil yang terletak di dekat istana. Aku familier dengan tempat ini. Rumput yang empuk dan pepohonan rindang yang mengelilinginya membuat tempat ini sangat sejuk. Ditambah dengan deretan pegunungan yang terlihat dari kejauhan dan air danau yang tampak biru kehijauan. Menjadikannya tempat yang sangat nyaman untuk bermain atau sekadar bersantai.

"Aku suka pergi sendirian ke sini. Tempat ini kadang sepi, jadi aku biasanya bermain sendirian disini saat aniue dan chisai aniue sedang latihan pedang" Wolfram berkata padaku, sementara matanya menatap danau penuh minat.

Aku menoleh. "Kau tidak ikut latihan?"

"Tidak. Kata mereka aku masih terlalu kecil, jadi aku tidak boleh jadi lawan mereka"

Aku tersenyum samar. Ya, memang. Itulah yang selalu kami katakan setiap Wolf ingin ikut latihan pedang bersama kami. Gwendal selalu mewanti aku untuk menolak halus permintaannya yang satu itu. Hahaue pun setuju.

Beberapa tahun sebelumnya, hahaue sempat memberikan dan memperbolehkannya memegang pedang kecil sungguhan milik dia sendiri. Wolfram senang sekali waktu itu, meski ayahnya terlihat tidak begitu setuju. Yang sempat kudengar, karena Wolfram masih terlalu kecil untuk belajar pedang sungguhan. Takut dia melukai dirinya sendiri. Hahaue berusaha meyakinkannya kalau semuanya akan baik baik saja dan akhirnya ia pun luluh.

Tapi itu tidak bertahan lama.

Sekitar dua minggu setelahnya, Wolf kecil tidak sengaja menusuk boneka beruang kesayanganya ketika asyik bermain dengan pedang itu sendirian di kamar.

Wolfram tentu saja terkejut dan menangis melihat boneka beruangnya rusak, dengan pedang kecil yang tertancap di perut si beruang yang mulai mengeluarkan buntelan kapas.

Segera setelah itu, pedang itu disimpan ayahnya dan Wolfram diberi pedang kayu yang tumpul sebagai gantinya. Untungnya, kesedihannya tidak berlangsung lama. Wolf segera lengket dengan mainan barunya, dan tampak semakin antusias dengan permainan pedang.

"Hei, lihat! kelincinya mulai keluar!" Wolfram tiba tiba berseru padaku sambil menunjuk para kelinci yang tampak asyik melompat.

Ah, ya. Kelinci. Binatang kesayangannya sejak kecil. Sepertinya Wolfram menyukai kelinci karena dia sudah bosan melihat kucing peliharaan Gwendal di istana. Dan hahaue juga bercerita padaku, karena Wolfram cemburu pada para kucing yang tampak lebih banyak menyita perhatian Gwendal.

Sementara Wolfram mulai asyik mengejar kelinci, aku mulai menatap danau yang jernih itu lagi. Danau yang sebenarnya jauh lebih indah saat malam hari.

Melihat danau itu, perlahan ingatanku melayang ke berpuluh tahun yang lalu...

-----------------

Saat itu menjelang sore, waktunya Gwendal dan aku untuk latihan pedang. Biasanya kami diawasi Gunter, tapi hari itu dia ada urusan dulu sebentar, sehingga kami hanya latihan sendiri sampai dia kembali.

Tak lama, Wolfram lewat di lorong istana dan ketika melihat kami, ia meminta untuk ikut dimasukkan dalam latih tanding.

"Kau masih terlalu kecil, jadi belum bisa ikut" Aku mencoba memberi pengertian padanya.

"Begitu ya. Ya sudah" Wolfram tampak kecewa.

"Bermainlah dulu. Nanti aku akan menyusul setelah latihannya selesai. Aku janji tidak akan lama" Aku berkata sambil mengusap kepalanya.

Wolfram mengangguk pelan. Aku tersenyum.

Ternyata aku salah. Gunter hari itu memberi kami berdua menu latihan yang lebih panjang dari biasanya, sehingga semuanya baru selesai saat matahari hampir tenggelam. Aku benar benar melupakan janjiku pada Wolfram, dan baru ingat setelah semua latihan itu selesai.

Gwendal dan Gunter sudah kembali ke dalam. Saat aku hendak menyusul mereka, aku baru teringat Wolfram yang tadi kuminta bermain sendiri.

Aku langsung masuk ke dalam, hendak memeriksa apa Wolfram sudah pulang. Aku berpapasan dengan seorang penjaga di lorong, bertanya apa dia melihat Wolfram pulang, dia menggeleng.

Aku mencoba untuk tidak panik. Matahari sudah semakin rendah dan langit pun mulai gelap. Aku mulai memikirkan tempat yang kira kira Wolfram datangi.

Ke mana dia? Kenapa belum kembali?

Tiba tiba aku teringat danau di tengah hutan kecil yang belum lama ini aku temukan bersama Yozak, dan Wolfram pernah kuajak kesitu beberapa hari lalu untuk melihat gerombolan kelinci.

Setelah beberapa menit menyusuri hutan, sampailah aku di danau itu. Untungnya malam itu sedang terang bulan, sehingga lebih mudah bagiku untuk melihat jalan.

Ketika sampai, aku mendengar suara isakan anak kecil. Setelah mengedarkan pandangan beberapa saat, mataku menangkap sesosok anak laki laki kecil yang menangis sendirian, duduk memeluk lutut di tepi danau.

"Wolf?"

"Chisai... Aniue?" Wolfram menatapku sambil terisak.

"Syukurlah, kau baik baik saja. Kau terluka? Maaf ya, ternyata latihannya lama" Aku ikut duduk di sebelahnya, meminta maaf.

"Aku... Aku takut... Saat ingin pulang, ternyata hari sudah gelap. Aku jadi takut pulang sendirian. Disini sepi dan gelap sekali. Aku takut" Wolfram hampir terisak lagi.

"Sekarang sudah tidak apa apa. Ada aku disini. Aku datang untuk menjemputmu. Ayo kita pulang. Nanti yang lain khawatir"

Wolfram mengangguk dengan wajah sembab habis menangis. Aku membantunya berdiri.

Tak sengaja, aku melirik danau itu.

Bulan bersinar terang tepat di atas danau, dan air danau yang kehijauan memantulkan cahaya bulan yang terang itu. Membuat air danaunya tampak berkilauan di tengah gelapnya malam. Kami berdua takjub selama beberapa saat. Luar biasa.

Sungguh, indah sekali. Rasanya itu salah satu pemandangan paling indah yang pernah kulihat. Kulirik Wolfram yang berdiri di sampingku. Wajah sedihnya segera terganti dengan wajah takjub. Mulutnya terlihat terbuka sedikit.

Setelah puas melihatnya, kami pulang ke istana. Rasanya semangkuk sup hangat akan jadi teman yang menyenangkan.

To be continued

-------

Setelah chapter 3 yang super duper singkat, akhirnya bisa "balas dendam" di chapter 4 ini. Biarpun gak panjang panjang amat. 😅😂

Suatu Hari, di Masa Lalu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang