FTSOL #10

4.9K 630 90
                                    

FTSOL #10

DAMAR

Acara makan-makan bersama staf kantor akhirnya digelar di Shabu Hachi, salah satu AYCE di daerah Cilandak. Damar menyampaikan kepada Ratna untuk memindahkan acaranya malam itu, berhubung kemarin malam adalah acara makan bersama keluarga.

Tempat tersebut cozy, luas, dan bersih. Penyajian makanan sangat beragam dan higienis. Hal menyenangkan lainnya, di tempat itu tidak ada batasan waktu yang memaksa untuk cepat-cepat menyelesaikan makan. Tidak berarti pula jika mereka duduk sampai berjam-jam lamanya, di saat pengunjung lain juga ingin makan di sana.

Hal yang sedikit membedakan tempat ini dengan tempat AYCE lainnya, terletak dari jumlah kompor yang tersedia. Damar mendapat satu kompor untuk dirinya sendiri, begitupun untuk teman-teman kantor. Hal ini berguna bagi orang-orang yang kurang merasa nyaman jika harus berbagi kompor yang sama dengan orang lain.

"Terimakasih, Paak. Semoga Bapak dilimpahkan rejeki yang banyak biar kita sering-sering ditraktir," kata Eddi, staf yang terkenal paling ramai di antara yang lain. Damar tergelak, ketika seseorang menyikut Eddi karena suaranya yang nyaring. Atau barangkali karena ucapannya yang menurut mereka memalukan.

"Iya, kapan-kapan kalau dapat bonus, saya traktir lagi."

"Nggak usah dipikirin, Pak. Bercanda dia." Ratna dan Sari menunjuk-nunjuk Eddi. "Lho tuh ya? Bikin malu aja tau nggak? Dasar."

Damar hanya menggeleng-geleng menyaksikan perdebatan kecil yang sebetulnya hanya bagian dari bercandaan sesama staf. Rasanya suasana seperti ini yang bisa menjadi hiburan bagi karyawan kantor yang acapkali disibukkan dengan pekerjaan dengan gaji bulanan yang mentok segitu-gitu saja. Biaya hidup di Jakarta luar biasa mahal. Kesempatan untuk makan enak dengan harga lumayan, belum tentu bisa dirasakan setiap Minggu. Jangankan tiap Minggu, sebulan saja sudah syukur. Jadi, ia sangat memaklumi kegembiraan mereka saat mendapat traktiran makan gratis sepuasnya seperti ini.

Bagi orang-orang kaya, hal semacam ini bukanlah hal yang terlalu istimewa. Mereka bisa makan di restoran-restoran mewah nan mahal tanpa perlu merisaukan pergerakan uang dalam dompet atau saldo rekening mereka. Tidak peduli dengan jumlah bill tagihan yang datang. Mengeluarkan uang semudah bernapas.

Ya, semudah itu.

Ia teringat bagaimana ia seringkali diperhadapkan pada kondisi di mana ia mempertanyakan apakah kehidupan finansialnya yang ia rasa cukup mapan, memang benar-benar telah cukup mapan ketika ucapan demi ucapan Aruna yang lebih mirip sindiran dan ejekan tertuju kepadanya, meneriakinya jika apa yang ia miliki masih jauh dari kata cukup. Aruna selalu menunjukkan superioritas dirinya sebagai bagian dari keluarga kelas atas, keluarga dengan gelimang harta yang tidak akan habis tujuh turunan.

Aruna selalu mengejeknya.

Namun, mengapa ia merasa, Aruna yang ia lihat selama ini bukanlah Aruna yang sesungguhnya.

Katakanlah, tidak ada manusia yang benar-benar jahat. Oke, mungkin mereka memang jahat, tapi apakah ada manusia yang terlahir jahat? Apakah kejahatan mereka adalah sesuatu yang alami? Apakah ada orang yang terlahir dengan tabiat buruk?

Lingkungan memang bisa membentuk karakter seseorang, tapi tidak berarti semua orang akan berubah buruk, seburuk lingkungan tempat ia tumbuh besar, bukan?

Namun, bukankah lingkungan Aruna sejak kecil adalah lingkungan yang nyaman dengan segala kemewahan yang ditawarkan kepadanya?

Kalaupun kenyataannya, Aruna adalah seorang anak adopsi, apakah kehidupannya memang suram sebelum menjadi bagian dari keluarganya kini?

For the Sake of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang