DAMAR
Damar sampai di rumah sebelum malam. Warna langit masih menyisakan jingga kemerahan, warna yang sekilas mengingatkannya pada senja beberapa hari lalu di Bukit Bintang. Ia tidak bisa menghentikan memori tentang Jogja, karena selain liburan singkat itu baru saja berlalu sehingga masih lekat di ingatannya, untuk pertamakali itu juga ia menjadi imam saat beribadah berdua Aruna. Satu hal yang tidak berhenti ia syukuri hingga detik ini.
Hanya mengingatnya, ia bisa tersenyum. Betapa sebuah hal sederhana bisa menjadi alasan seseorang untuk berbahagia.
Keningnya mengerut melihat mobil Aruna terparkir di garasi. Tadinya ia berpikir Aruna tidak akan berada di rumah setelah pembicaraan mereka semalam.
Ia memarkirkan mobil di halaman rumah. Sengaja belum ia teruskan memarkir mobil di garasi. Siapa tahu saja, ada alasan baginya untuk keluar rumah di malam hari. Entah, hanya pikiran random itu yang berada di benaknya kini.
Ia tidak berniat mencari keberadaan Aruna. Tetapi hal itu tidak menghentikannya langkah kakinya menjejak di setiap ruangan, ketika ia tidak menemukan Aruna di dalam kamar tidur.
"Kamu masak?" tanya Damar seolah tidak percaya melihat Aruna tengah berdiri membelakanginya, masih mengenakan celemek. Aroma tumisan menguar di udara. Terdengar pula suara sesuatu yang digoreng di dalam wajan anti lengket.
"Lagi pengen makan masakan sendiri. Cuma pake bumbu instant buat tumisan. Ayam gorengnya juga pake bumbu ungkep yang udah jadi," jawab Aruna tanpa berbalik dari kompor di depannya. Ia mengambil penjepit untuk membalik potongan ayam yang tengah digorengnya.
"Saya mandi dulu kalau begitu. Kalau sudah selesai, kita shalat berjamaah lagi ya?" ajak Damar. Ia memosisikan dirinya, seolah keadaan biasa-biasa saja setelah Aruna mengemukakan keinginannya untuk berpisah.
Aruna hanya menggumam pelan, yang Damar tafsirkan sebagai jawaban iya.
Sambil berjalan menuju kamar, Damar kembali terpikir tentang pembicaraannya dengan Denise siang tadi. Ia sudah bertekad untuk menyelesaikan segala kerumitan yang ada. Kesabarannya kembali diuji, dan ia sudah siap menghadapi segala konsekuensi yang mungkin akan ia temui nanti. Eryk mungkin tidak menyukai konfrontasi, tetapi ia akan melakukannya untuk menolong rumahtangga Denise dan Eryk sekaligus mempertahankan rumahtangganya sendiri.
Ia tengah memasukkan pakaian kerjanya yang kotor ke dalam keranjang, ketika Aruna masuk ke dalam kamar. Sekilas ia mencium aroma masakan yang tertinggal di pakaian yang dikenakan Aruna.
Bisakah ia berharap hal ini bisa ia rasakan setiap hari? Ia tidak menuntut masakan yang sempurna tanpa bumbu instant. Ia hanya ingin bisa merasakan masakan Aruna lebih lama lagi.
Damar merasa konyol ketika membiarkan dirinya menonton aktivitas Aruna melepaskan pakaiannya. Aruna menyadari keberadaannya, tetapi sepertinya ia tidak peduli.
Rasanya frustrasi sekaligus berdebar di saat yang bersamaan.
"Kamu atau aku yang mandi duluan?" tanya Aruna yang kini telah membalut tubuhnya dengan handuk merah muda yang tadi ia ambil dari lipatan khusus handuk di dalam lemari. Untuk pertamakali, Damar memberanikan diri menatap tubuh Aruna yang hanya terbalut handuk.
Mengapa setelah Aruna menginginkan perpisahan, justru ia merasakan penolakan yang begitu dominan dalam dirinya untuk berpisah. Ia memang pernah menginginkan hal itu.
Tapi, pernah bukan berarti kini ia harus berpasrah diri menghadapinya, bukan?
"Kalau bisa bareng, mengapa nggak?" Damar balik bertanya. ia menelan ludah untuk jawaban yang ia akui sangat-sangat tidak mencerminkan kepribadiannya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
For the Sake of Love
Ficção Geral"Tidak masalah saya cinta atau tidak sama kamu. Satu hal yang saya inginkan sekarang dari kamu. Jangan mempermainkan pernikahan ini. Jangan permainkan perasaan saya dan keluarga saya." Aruna mencintai Eryk, namun Eryk malah menikah dengan Denise. Me...