"Saya pangling melihat kamu pakai kerudung." Damar memberikan alasan untuk sikapnya yang sempat tidak berkedip melihat sosok Ningrum dalam balutan pakaian serba tertutup. Mengenalnya sejak masih berseragam putih biru hingga bertemu lagi saat kuliah, gaya berpakaian Ningrum selalu sopan. Rambut panjangnya ditata sederhana, kadang ia gerai atau diikat. Selaras dengan sikap kalem dan santun.
Damar lalu mempersilahkan Ningrum duduk di salah satu kursi, tepatnya menunjukkan kursi yang terletak di sisi kanan dari tempatnya duduk.
"Udah setahun saya pake kerudung, Mas." Ningrum menolak ajakannya duduk dengan halus. "Nggak usah, Mas. Ini juga udah mau balik. Kebetulan ini hanya singgah aja. Tadi saya juga habis makan di sini. Di pojokan sana." Ningrum menunjukkan meja di salah satu sudut The Royal. Pandangannya lebih banyak ditundukkan saat berbicara dengan Damar.
"Oh, gitu ya?" Damar lalu mengangguk.
Mereka sama-sama terdiam.
"Saya lihat Mas sama seorang perempuan. Isteri Mas ya?" kata Ningrum lagi. Matanya terarah ke bangunan hotel, yang kini juga dipandangi oleh Damar.
Damar mengangguk. "Iya, isteri saya."
Ningrum menampakkan senyum. "Cantik isterinya, Mas."
"Iya," Damar mengangguk lagi. "Terimakasih."
Ada jeda sekian detik, sebelum Ningrum bersuara lagi. "Sebenarnya saya ke sini mau nyekar ke makam ibu."
"Oh, ya? Kapan?"
"Besok pagi."
"Pagi ya?"
"Iya, Mas." Raut wajah Ningrum yang semula tersenyum tergantikan kesedihan.
"Nanti kita sama-sama nyekar ke sana."
"Iya, Mas," ujar Ningrum lagi, kali ini sedikit tersenyum.
***
Aruna menyelonjorkan kakinya selurus mungkin. Kini, ia sedang menonton TV yang menyajikan tayangan berita lokal. Sang pembawa acara tengah berada di candi Prambanan, berjalan-jalan sembari menceritakan seputar kisah di balik pembangunan candi tersebut.
Tadinya, ia sempat ingin berbaring saja di kamar, karena menurutnya tidak ada hal yang lebih baik dan lebih menyenangkan selain tidur. Berhubung kamar yang ia tempati sangat nyaman, jadi sangat cocok untuk tempat beristirahat sekaligus bermalas-malasan. Ia pun memutuskan menonton TV, ketika matanya tertumbuk pada monitor TV yang sejak kedatangannya jarang dinyalakan.
Sepertinya seru juga liputan tentang eksplorasi candi Prambanan. Perpaduan cara pengambilan gambar diiringi narasi pembawa acara menghadirkan tayangan menarik untuk disaksikan. Mungkin candi itu yang dimaksud Damar kemarin.
Padahal venue pesta yang ia hadiri tadi berada tidak jauh dari lokasi candi. Bisa saja tadi ia meminta untuk diantarkan ke sana. Kemudian ia teringat jika akan terasa ganjil jika ia berjalan-jalan menggunakan kebaya pesta. Jika mau, ia bisa kembali ke sana keesokan hari.
Diliriknya pintu, ketika mendengar suara ketukan. Ia beranjak membukakan pintu untuk Damar yang baru saja datang. Hampir sejam sejak ia masuk ke dalam kamar, Damar baru menampakkan diri. Apakah makan siang harus selama itu?
Ia ingin bertanya, tetapi rasanya tidak perlu. Paling-paling, Damar jalan-jalan ke mall tanpa memberitahunya. Bukan masalah, ia bisa pergi sendiri sore nanti. Atau malam setelah Damar balik ke Jakarta.
Damar menutup pintu di belakangnya, berjalan menuju lemari es kecil, kemudian mengeluarkan sebuah botol air mineral.
"Sore, saya mau ke mall sebelah."
KAMU SEDANG MEMBACA
For the Sake of Love
Genel Kurgu"Tidak masalah saya cinta atau tidak sama kamu. Satu hal yang saya inginkan sekarang dari kamu. Jangan mempermainkan pernikahan ini. Jangan permainkan perasaan saya dan keluarga saya." Aruna mencintai Eryk, namun Eryk malah menikah dengan Denise. Me...