10. Permintaan

663 85 12
                                    

Dengan wajah tenang dan datar. "Aku akan keluar dari rumah sakit ini. Aku tidak ingin membuat kenangan dengan orang yang akan meninggal."

.
.

Dalam sekejab Naruto langsung terdiam mendengarnya. Matanya bergetar menatap Hinata dengan kaget. Pergi? Apakah Hinata akan pergi dan tidak ingin menemuinya? Apakah benar ini alasan Hinata menjadi aneh? Hei! Ini bukan keinginan Naruto untuk berada di ujung kematian.

"Jadi begitu..., pantas saja kau menjauhiku," pasrah Naruto memaksakan senyumnya. "Aku merindukanmu," lanjutnya menatap lembut manik amethyst Hinata.

"Ya, aku akan keluar dari rumah sakit ini. Bukankah lucu jika aku berteman denganmu yang akan meninggal. Aku tidak ingin menjadi menyedihkan dan ditertawakan oleh teman-temanku nanti," sahut Hinata dengan mata tajamnya tak mengubris rasa rindu Naruto.

Pandangan Naruto langsung terjatuh pada lantai. Tidak! Dia tidak bisa lagi menangis, semuanya terasa sia-sia jika air matanya jatuh. Walaupun hatinya seperti terkoyak oleh ucapan tajam Hinata, namun Naruto tidak bisa membencinya. Karena, yang dikatakan Hinata adalah sebuah fakta yang menyakitkan.

"Kau benar-benar seperti hujan Hinata. Datang tiba-tiba dan pergi meninggalkan luka. Ternyata bekas hujan itu cukup menyakitkan ya, Hinata," lirih Naruto perlahan mendangakkan kepalanya memberanikan diri menatap gadis itu.

Mata mereka saling berkontak menyalurkan rasa sakit. Sebuah senyum pahit muncul di bibir Naruto dengan sorot mata sendunya. Terlalu menyakitkan memang tersenyum di saat hati benar-benar terluka.

"Hei Hinata, apa kau mau mendengar permintaan terakhir dari pemuda yang akan meninggal ini?" tanya Naruto membuat Hinata sedikit tidak nyaman dengan kalimat itu.

Hinata mengalihkan pandangannya tak ingin menatap Naruto yang begitu lekat memandangnya.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa melihatmu lagi atau tidak. Saat ini aku cukup senang karena telah dipertemukan oleh gadis sepertimu. Seseorang yang membuatku mengatahui indah dan sakitnya cinta," ujar Naruto menguatkan genggamannya pada pegangan kursi rodanya karena menahan emosi yang bergejolak.

"Jika transplantasiku gagal nanti, maukah kau datang ke pemakamanku? Dan jika transplantasiku nanti berhasil, maukah kau menungguku? Aku akan menemuimu dengan jantung yang sehat, sehingga kau tidak membenciku. Sehingga kita bisa kembali berteman. Kau mau 'kan?" tanya Naruto dengan napas yang terasa mencekat dan lirih.

Hinata diam, gadis itu menggigit bibir bawahnya tak ingin menjawab.

"Hinata... Oi! Kau mendengarku 'kan?" Naruto sedikit frustasi saat tak mendengar respon apapun. "HINATA!" bentaknya.

Hinata semakin kuat menggigit bibir bawahnya. Napasnya terasa mencekat saat matanya tiba-tiba saja memanas. Tubuhnya sedikit bergetar tak sanggup menahan air matanya.

"Kau aneh karena ingin keluar dari rumah sakit ini. Kalau begitu, saat aku keluar dari rumah sakit ini dalam keadaan sehat, persiapkan dirimu Hinata. Karena aku ingin mendengar perasaanmu yang sebenarnya," lanjut Naruto.

Hinata terkekeh pelan mendengarnya. Kini matanya menatap manik saphire itu dengan lekat. Terkejut dengan mata Hinata yang memerah, Naruto berusaha untuk tetap tenang.

"Baik jika itu keinginanmu. Aku tidak memaksamu dan aku tidak menyuruhmu, ini keinginanmu Namikaze-san. Jika kau berhasil transplantasi jantung, kau boleh menemuiku karena aku akan menunggu janjimu," jawab Hinata yang pada akhirnya, air mata yang tertahan di pelupuk matanya jatuh lolos.

WAKTU DAN KAMU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang