Sekedar Angan

32 4 0
                                    

Nama lengkap: Mohdotul Dzuriyah Solikhah
Nama panggilan: Soleha
Akun wattpad: @Shol_SA [Shol_SA]
Judul cerita: Sekedar Angan

Langit malam terlihat gelap gulita, tak ada bintang maupun rembulan yang menemani. Hanya temeram lampu yang menyinari, suara jangkrik bersahut-sahutan bagaikan nyanyian malam penghantar tidur. Angin malam menusuk hingga ke tulang-tulang bahkan tak ayal nyamuk berdatangan silih berganti menghisap darah manusia serta mengeluarkan suara bising yang mengusik. Namun, hal itu tak menyulut gadis itu yang tetap keukeuh berada di beranda rumah. Tak mau beranjak barang sesenti pun dari situ. Di temani secangkir kopi susu, sekiranya bisa menahan rasa kantuk yang menggrogoti. Suara dering ponsel terdengar ia segera mengangkat panggilan.
“Assalamu’alaikum,” sapa di ujung telfon sana.

“Wa’alaikumussalam, Ayah jadi pulang ‘kan?” tanya gadis itu terhadap si penelpon.

“Ayah enggak bisa pulang. Lembur kerja.”

“Enggak apa-apa Yah. Semangat kerjanya biar cepat selesai. Dan bisa pulang ke rumah. Alya rindu Ayah,” lirih gadis itu. Sebenarnya ia sedikit kecewa lagi dan lagi Ayahnya tak dapat menepati janjinya pulang ke rumah. Sesibuk itukah pekerjaannya hingga tak bisa beranjak sebentar menemui keluarga kecilnya.

Suara deruman mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Seorang wanita keluar dari mobil itu. Wajahnya terpancar kecantikan alami walau usianya tak muda lagi. Rambutnya bergelombang laksana ombak berwarna merah keemasan. Tatapan matanya begitu hangat serta meneduhkan siapa saja yang melihat. Bibirnya yang tipis dibumbuhi pewarna merah yang tak terlalu terang menambah kadar kecanntikannya.

“Bunda!” seru gadis itu. Ia segera memeluk menyalurkan segala kerinduan yang ia pendam sekian lama. Wanita itu pun melakukan hal yang sama. Ia sangat merindukan putri kecilnya. Malam itu mereka habiskan dengan menceritakan kejadian-kejadian yang dilalui selama tak berjumpa. Rasa sedih gadis itu sedikit terobati. Setidaknya Bunda menepati janji menemui dirinya.

“Bunda. Tahu nggak apa keinginan terbesarku?” tanyaku kala itu. Bunda tak menjawab hanya wajahnya menandakan ingin tahu ucapanku selajutnya.

“Aku ingin kita kumpul bareng-bareng. Ayah, Bunda dan aku dalam satu tempat. Akhir-akhir ini Ayah dan Bunda seolah menghindar. Saat Ayah pulang Bunda pasti sibuk sama pekerjaan begitu sebaliknya saat Bunda pulang.”

Wanita itu memberikan senyuman yang menetramkan. “Hanya perasaanmu saja. Mungkin itu hanya kebetulan semata. Sekarang istirahat udah waktunya tidur. Bunda bikinkan susu hangat agar tidurnya nyenyak,”

Gadis itu mendesah pelan. Padahal ia masih ingin berceloteh dan mendengarkan celotehan Bundanya hingga larut malam. Tapi apadaya jika esok masih sekolah. Bisa-bisa ia terlambat akibat rasa kantuk yang menggrogoti. Ia harus segera tidur.

Sang fajar telah menyingsing, terdengar suara azan subuh yang menetramkan jiwa. Membangunkan setiap insan dari pulau kapuk. Tubuh gadis itu menggeliat tak beraturan matanya mengerjap menetralkan pandangan agar tak buram. Ia segera beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Mencuci wajah tak lupa menggosok gigi lalu mengambil air wudhu. Melaksanakan kewajiban setiap muslim. Sholat subuh. Setelah menunaikannya bibir itu terus bergumam kalimat takbir, tahmid, tahlil. Tangannya menengadah seraya berdoa kepada Sang Khalik. Tak lupa membaca ayat-ayat suci pengobat hati yang menetramkan jiwa. Kemudian langkah kakinya menuju lemari mempersiapkan pakaian sekolah.

Jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Namun, gadis itu masih berkutat di dapur minimalis itu. Memasak nasi goreng serta roti bakar. Menghindangkannya di atas meja makan. Saat menikmati sarapan buatannya sendiri terdengar lengkingan Sang Bunda dari arah tangga.
“Alya! Kenapa kamu pakai jilbab?” Wajahnya terpancar amarah bahkan memerah.

“Kewajiban seorang muslimah menjaga dirinya dengan menutup aurat. Memangnya salah kalau aku berhijab!” Seru gadis itu.

“Bukan begitu. Tap—”

“Kalau kamu tak suka memakai jilbab. Jangan pengaruhi anakku menjadi seperti dirimu,” ucap lelaki itu.

“Alya itu anak aku. Aku yang ngelahirin dia. Jadi aku berhak ngatur dia.”

“Apa? Selama 10 tahun kamu pergi meninggalkan kita. Apa masih pantas kamu mengatur Alya?” tanya lelaki itu. Manik mata hitam legam itu menukik tajam ke arah pemilik netra cokelat madu.

“Jangan pernah ungkit masa lalu!” Seru wanita itu tak tertahankan.

“Kenapa? Saya hanya berbicara sesuai fakta. Kamu harusnya sadar diri. Baru sebulan tinggal di sini. Kamu ngatur sana-sani. Nggak tahu diri banget jadi istri.”

“Jaga ucapanmu mas. Aku nggak pernah menjelek-jelekkan kamu dihadapan anak kita.”

“Tapi kamu menjelekkan saya dihadapan teman-temanmu. Sedangkan saya tidak pernah menjelekkan kamu dihadapan orang-orang bahkan saat mereka bertanya keberadaanmu. Tapi kali ini saya tak bisa tinggal diam. Karena kamu menyuruh Alya melepas jilbab.”

“Jilbab itu penghalang kecantikan Alya. Rambutnya yang indah tak terlihat karena kain itu. Apa jangan-jangan kamu yang menyuruh Alya memakai jilbab?!”
  
“Bun ... Yah ... tolong jangan bertengkar. Hanya perkara Alya memakai jilbab ini. Ayah dan Bunda bertengkar.” Mata gadis itu mengunci tatapan Bundanya. “Bun ... Ayah nggak pernah maksa Alya memakai ini,” tangan  gadis itu meyentuh jilbab itu. “Ini keinginan Alya sendiri. Bagaimana pun menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah.”

Perdebatan terus berlanjut. Tak ada yang mau mengalah. Baik Ayah maupun Bunda. Alya meninggalkan mereka berdua. Pergi menuju sekolah. Lagi pula ia tak mau mendengar pertengkaran mereka. Setiap bertemu s’lalu bertengkar. Entah mengapa bahan perdebatan s’lalu ada. Alasan Bunda meninggalkan dirinya dan Ayah karena Ayah memeluk agama Islam. Hal itu juga yang mendasari Bunda tak menyukai Alya memakai jilbab. Sekarang pun Bunda tak mau melepaskan agamanya, ia tak mau memeluk agama Islam mengikuti Ayah. Bunda pun tak tinggal serumah, ia memilih berkunjung menemuiku ketika waktu senggang.

Suasana sekolah begitu ramai. Terdengar suara bel menggema pertanda jam pelajaran segera dimulai. Para murid berbondong-bondong menuju kelas masing-masing. Kantin yang sejak tadi sesak dipenuhi banyak nyawa sekarang jadi sepi tak berpehuni. Alya memasuki kelas yang bertulis X MIA II. Suasana terdengar ricuh. Tapi itu tak bertahan lama karena guru yang bersangkutan memasuki kelas ini. Yang tadinya ramai bagikan pasar malam sekarang sepi senyap bagai kuburan.

Kringggg
Suara bel pertanda istirahat pertama berbunyi nyaring. Bel itu bagaikan air yang melepas dahaga di gurun pasir. Terdengar helaan nafas lega dari semua murid. Sebagian berpencar meinggalkan kelas. Sebagian lagi masih betah di dalam kelas. Alya. Gadis itu masih di berada di bangku kelasnya ia menyalin catatan dari papan tulis. Meskipun tangannya dengan lihai menari-nari di atas selembar kertas itu. Pikirannya masih memikirkan kejadian tadi pagi. Selama sebulan mereka terus menerus bertengkar sekecil apa pun masalah itu. Dan Ayahnya s’lalu mengungkit kejadian masa lalu. Meski Alya sedikit kecewa dengan Bunda, tak terbesit dipikirannya ‘tuk membenci. Ayahnya pun tak bisa mengusir Bunda karena bagaimana pun juga Bunda masih menjadi istri Ayah di mata hukum. Lagi pula Ayah melakukan ini semata demi Alya. Putri kesayangannya. Jika bukan karena Alya menerima Bundanya kembali mungkin Ayah akan menceraikannya.

Alya berjanji pada dirinya. Ia akan mempersatukan kedua orang tuanya bagaimana pun caranya. Namun na’as janji hanya sekedar janji yang tak berujung ditepati. Baru saja ia mendapatkan kabar bahwa Ayah dan Bundanya mengalami kecelakaan yang berujung maut. Merenggut dua jiwa sekaligus. Sebening kristal jatuh berceceran membentuk anakan sungai. Isakan tangis tak tertahankan. Ia ingin berlari segera menuju rumah sakit tetapi kakinya terasa kebas seolah ia tak bisa merasakan kakinya. Ia tak mampu berdiri dari bangku yang ia duduki. Saat mencoba berdiri ia akan jatuh terduduk. Pandangannya seketika buram yang terlihat hanya warna putih hingga hitam menghampiri. Mata lentik itu pun terpejam dalam waktu yang cukup lama.

Kumpulan Cerpen - WROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang