P R O L O G

430 34 108
                                    

Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, tidak pernah berkenalan, atau pun saling bertegur sapa. Seingat Patra, dia itu adalah sosok gadis yang pendiam, sejauh yang ia nilai dari depan, dia juga tampak anggun. Apalagi ketika tubuhnya dibalut menggunakan gaun dengan corak aneh dan unik.

Sejak saat itu, dia mengecap gadis tersebut sebagai gadis unik yang pernah ditemuinya.

"Patra!"

Itu dia namanya. Patra, tadinya hanya cowok berseragam sekolah dasar yang pindah dari Kota Bandung ke Jakarta dengan alasan pekerjaan ayahnya. Sejak tinggal di ibu kota ini, Patra merasa berbeda ketika matanya menatap seorang gadis yang terlihat berusia di bawahnya, pernah menatapnya dengan pandangan sayu yang Patra suka. Masih kecil memang, tapi saat itu Patra akui jika ia jatuh cinta.

Namun, bukan hal mudah untuk mendekati gadis yang selama ini selalu Patra idamkan dari banyaknya gadis-gadis lain yang menginginkannya. Patra tidak kenal dengan namanya, hanya sebatas rupa dan letak rumahnya. Dia tidak pernah bermain bersama, karena gadis itu cenderung terlihat lebih suka bermain di halaman depan rumah. Patra tidak mungkin melengos masuk ke sana dan tiba-tiba mengajaknya berkenalan, bukan?

"Iya, Bun!" balas Patra. Bocah itu kemudian menghampiri bundanya yang ada di dalam, tengah hamil usia empat bulan. Saat itu, masa-masa di mana Patra ingin kenaikan masuk sekolah menengah pertama.

"Tolong ambilin remote-nya di atas, deh. Bunda gak nyampe, takut adik kamu nanti celaka gimana?"

Patra terkekeh. Tentu ia sayang dengan Bundanya juga adik yang ada di dalam perut yang sudah agak membesar itu. Dengan gerakan lihai, Patra mencari kursi agar ia bisa mengambil alat pengontrol televisi yang ada di atas bupet yang lumayan tinggi.

"Aduh, pelan-pelan, Pat. Bunda ke kamar mandi dulu, deh, ya," kata Bundanya lagi dan berlalu pergi. Gelagatnya seperti terburu-buru, mungkin karena panggilan alam yang begitu mendesak.

Patra hanya mengangguk sekilas. Cowok itu asyik memanjat. Dan akhirnya mendapatkan remote itu. Alih-alih meletakkan kursi ke tempatnya kembali, Patra mendengar suara teriakan serta gedebuk yang lumayan kencang. Membuat dirinya khawatir sekaligus penasaran.

Cowok itu melangkah ke kamar mandi, untuk melihat apa yang terjadi. Namun, suatu keterkejutan ketika melihat Bundanya yang pingsan dengan darah yang tiba-tiba mengalir entah dari mana. Membuat Patra panik seketika, mana lagi sedang tidak ada ayah di rumah. Ayah masih bekerja di luar sana. Jika Patra meneleponnya, ia pasti akan marah karena diganggu.

"Bibi!" teriak Patra pada pembantunya. Tak lama, suara langkah kaki yang mengenakan sendal tampak terburu-buru menghampirinya.

"Ada apa-" Matanya melotot tak percaya melihat majikannya yang seperti itu. "Ya ampun! Ini harus cepet-cepet dibawa ke rumah sakit."

"Ya udah, ayo telepon ambulansnya sekarang, Bi!"

Orang yang Patra panggil Bibi itu lantas mengeluarkan ponselnya secara tergesa, buru-buru menelepon pihak medis agar majikannya segera ditangani. Beberapa menit menunggu, hingga akhirnya, Bunda Patra berhasil masuk ke rumah sakit dan diperiksa.

"Bibi, Bunda gimana? Udah telepon sama Ayah kabar Bunda belum?" Patra menghujani pembantunya dengan banyak pertanyaan. Namun, wanita itu hanya menatap Patra dengan lesu.

"Bibi belum ngabarin Ayah kamu, Pat. Tapi ... Bunda kamu keguguran."
Patra memelototkan kedua matanya tak percaya. "Patra gagal jadi abang, dong, Bi?!"

Wanita itu tak berkata apa-apa. Siapa pun akan sangat sedih jika dikabarkan berita buruk seperti tadi, contohnya Patra. Sudah lama ia mendambakan seorang adik, namun permintaannya tak terkabulkan.

"Papa, dia anak yang sekomplek sama kita bukan? Kok, ada di sini juga?" tanya seseorang tiba-tiba. Yang membuat Patra berhasil menoleh, matanya tidak salah lihat jika ada gadis yang pernah membuat Patra jatuh cinta. Kebetulan juga ada di rumah sakit ini bersama ayahnya.

Hanya satu yang ada di pikiran Patra, untuk apa gadis itu ada di sini? Siapa yang sakit? Jika dilihat dari atas dan bawah gadis itu, dia sama sekali tidak terlihat pucat, lemas, atau pun lesu. Ah, seketika Patra jadi khawatir dan penasaran dengannya.

"O, ya? Papa juga kayak kenal dia."

"Namanya siapa ya, Pa?"

"Patra! Aku Patra!" teriak Patra tiba-tiba,matanya membinar senang ketika dia merasa jika gadis yang sedaritadi ia perhatikan itu tengah menunjuknya. Akan tetapi, teriakan Patra membuat gadis tadi menoleh dengan sinis.

Keningnya berkerut bingung, tangannya menarik-narik ujung kemeja milik ayahnya. "Pa, emang aku nanya dia?" tanya gadis itu pada Papanya, membuat Patra merasakan semburat malu yang menjalar di sekitar tubuhnya secara tiba-tiba. Mungkin, dia terlalu percaya diri mengenalkan dirinya. Lagipula, sebelumnya mereka selalu gengsi satu sama lain untuk sekedar menyapa atau pun bermain bersama.

"Mungkin dia salah paham," jawab ayahnya sembari tersenyum dan mengusap lembut kepala anaknya agar ia tidak terlalu berpikiran yang macam-macam dan memaklumi kesalahpahaman tadi.
Kemudian mereka berdua menghilang ketika berbelok saat di lobi.

Patra memerosotkan bahunya dan menghela napas kecewa. Sorot matanya menatap kosong ke tempat terakhir kali gadis itu dilihatnya.

Bibi yang berada di samping Patra akhirnya menyenggol pelan pundak anak lelaki itu, membuat Patra menoleh.

"Patra, kamu jangan salah paham lagi! Siapa tau bukan kamu yang dimaksud tadi, sekarang kita tunggu aja sampai dokter ngizinin kita buat masuk." Bibinya itu memperingati. Lain kali Patra memang harus berhati-hati dan tidak bertindak ceroboh yang membuatnya malu lagi. "Oh iya, Den Patra bisa telepon ayah buat ngabarin kabar Bunda, kan?"

"Patra gak bawa hp," jawab Patra dengan cuek.

"Yaudah, pake hp Bibi. Kayaknya nanti ada sesuatu pada Nyonya yang gak bisa Bibi urus sendiri, Den."

"Iya, sini hp-nya."

Bibi itu akhirnya memberikan ponsel yang barusan ia keluarkan dari saku. Patra mengambilnya dengan cepat, kemudian beralih pada kontak dan mencari-cari nama ayahnya yang mungkin saja tersimpan di sini?

"Bibi gak nge-save nomor Papa kamu, den."

Mendengar ucapan itu tidak masalah bagi Patra, cowok itu kemudian mengetikkan angka. Namun, baru beberapa digit angka yang diketiknya, memunculkan nomor-nomor yang lain juga. Salah satunya nomor kontak dengan nama 'Ibu sebelah'

Pikiran Patra melebar.

Ibu sebelah? Apa nomor kontaknya Ibu cewek itu, ya? batin Patra dalam hatinya. Namun ia menepis jauh-jauh pemikirannya sembari berseru kembali dalam hati, jangan cacat logika, deh, Pat!

Akhirnya, suara pintu dibuka mengalihkan pandangan mereka semua. Membuat raut cemas di wajah Patra kembali muncul. Digit-digit angka yang tadi ia ketik di ponsel bibinya dihapus kembali dan dikembalikan ke pemiliknya.

Matanya mulai fokus menatap dokter yang baru saja muncul.

Mulutnya hendak berbicara sesuatu, namun Patra malah kembali kehilangan perhatiannya ketika gadis yang tadi kembali muncul.

"Jepitanku ilang, tadi, Yah!"

Jepitan? Jepitan yang mana?

Ketika Patra mengedarkan pandangannya, cowok itu menemukan sebuah jepitan berbentuk ranting dengan warna perak. Tangannya otomatis terulur untuk mengambil, namun ada tangan lain yang juga sama-sama ingin mengambilnya.

"Kamu pencuri ya!" seru gadis di hadapan Patra dengan tatapannya yang jauh lebih memicing daripada tadi.

"Eh?"

My Little Wife [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang