"Gue pikir, mungkin lo suka."
Raina menatap gantungan kunci berbentuk rubah putih. Gadis itu kemudian mendongakkan kepalanya, melihat sosok Shena di sana. Raina menatapnya penuh waspada. Baru saja dia selesai menjalankan hukuman, dengan sisa napasnya yang masih sedikit engap-engapan.
"Hai, teman lama," sapa Shena kemudian. Gadis itu menampilkan senyuman terbaiknya dan berkata lagi, "Itu oleh-oleh dari Kanada."
Baru saja Raina selesai menjalankan hukumannya. Kini dia dibuat sport jantung oleh kehadiran Shena. Raina tidak menyangka jika ia harus sekelas dengannya. Raina masih enggan membuka suara, menyentuh gantungan kunci itu pun segan.
"Mungkin, kesalahan gue waktu itu gak bisa lo maafin?"
Raina menaikturunkan alisnya, cewek itu menatap sekeliling kelas. Tidak ada satu orang pun selain dia dengan Shena. Pantas saja dia berani berbicara. Murid-murid di sini tampaknya sedang kabur ke kantin menikmati jajanannya.
"Iya ... itu kesalahan terburuk. Dan jujur, sulit bagi gue buat ngelupain dan maafin semuanya begitu aja."Akhirnya, Raina mau bersuara. Membuat Shena bertepuk tangan karena senang.
"Tumben, langsung akrab." Ardi tiba-tiba muncul di depan pintu kelas, dengan senyumnya yang mengembang.
"Ar, maaf. Tadi gue–"
"It's oke, Rai. Ada Shena, kok, tadi. Wajar kalau lo lebih perhatian sama Kakak lo."
Shena memajukan bibirnya tepat di telinga Raina. Cewek itu kemudian berbisik, "Boleh kita berteman sekali lagi?"
Raina ingin menggeleng, namun kepalanya malah mengangguk. Shena tersenyum senang, sebelum kakinya melangkah pergi bersama Ardi. Tunggu, Raina ditinggal?
***
"Raina."
"Rai."
"Nana."
"Berisik, Pat," kata Raina. Akhirnya dia bersuara. Selama perjalanan pulang tadi, Raina lebih banyak diam. Membuat Patra rasanya ingin menggoda dan mengerjainya satu kali lagi.
"Udah sampe, loh. Ke rumah orang tua lo, 'kan?"
Raina mengangguk. Dia tidak sadar jika perjalanan pulang tadi terasa sangat cepat. Gadis itu hendak membuka pintu mobil, namun pergelangan tangannya ditahan oleh Patra secara spontan.
"Lo bisa cerita ke gue kalau lo ada masalah." Raina tak menatap Patra, wajahnya menghadap keluar. Namun, Patra tidak menyerah.Cowok itu meraih dagu Raina, dan memaksanya untuk menghadap kepadanya. "Tatap mata gue. Apa yang buat lo gak percaya buat cerita sama gue?"
Raina masih diam, Patra menatapnya dalam. Cowok itu berkata lagi, "Rai, sejauh apa pun lo melangkah buat menghindar dari gue, jangan lupa nengok ke belakang. Gue selalu ada kapan pun di sana, menemani lo di sana. Jadi jangan sungkan, percaya kalau gue ... selalu ada di sisi lo."
Kedua pipi Raina merona merah. Siapa yang tidak baper dibilang seperti itu? Terlebih lagi, Patra suaminya. Jadi tidak ada hukum dosa diantara mereka. Raina membuang mukanya ke bawah, rasanya ia ingin terharu.
"Aih, ngomong apa, sih, tadi gue? Pasti Raina mikirnya yang enggak-enggak," gumam Patra dalam hatinya. Dalam sekejap, cowok itu terlihat kikuk dan kaku. Dia tahu Raina pasti tidak suka saat dirinya berkata begitu.
Namun, Patra mendapati Raina dengan punggung yang bergetar. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap lurus kedua mata Patra.
"Lah, kok, nangis, sih? Kalo disangka gue gimana?" Patra berusaha menenangkan. Cowok itu bingung harus berbuat apa, tidak biasanya dia melihat Raina yang rapuh seperti ini. Melihatnya, tiba-tiba ikut membuat hati Patra tersayat.
"Patra ...." Kini gantian Raina memanggil Patra dengan lembut. Sejenak Patra berpikir, apa Raina ingin memanipulasinya? Ternyata, gadis itu memberinya pertanyaan yang mengejutkan setelah mendongakkan kepalanya yang berlumuran air mata. "Lo mulai suka gue ya?"
Seketika, atmosfir yang Patra rasakan sekarang berubah. Jika saja dia boleh mengatakan 'ya' cowok itu pasti akan mengucapnya. Masalahnya, dia terikat janji sialan dengan Raina. Membuat Patra bungkam, bingung ingin menjawabnya apa.
"Kalau mulai suka sama gue, bilang."
Bagaimana Patra ingin mengungkapkannya? mengapa harus dia yang jatuh lebih dulu pada Raina?
"Enggak. Gue cuma ngomong yang semestinya aja. By the way, andaikan kita dapet perasaan yang sama, apa kita juga masih bersama?"
Raina menghapus jejak air mata di pipinya. Gadis itu tertawa singkat, seakan perkataan Patra barusan hanya lelucon. "Apaan, sih, Pat. Gak mungkin, lah. Kita juga gak akan tau ke depannya bakal gimana, kan?"
Patra ikut tertawa. Ada sedikit perasaan terluka ketika Raina menolaknya secara halus. "Haha, lo benar."
Kemudian, Patra menghadapkan wajahnya ke depan. Raina menatap Patra sekali lagi sebelum dia benar-benar keluar. Cewek itu melambaikan tangannya. Biasanya, Patra akan membuka kaca mobil dan membalas lambaian tangannya yang meledek. Namun, cowok itu langsung melesat begitu saja ketika Raina baru saja keluar. Raina menatap kepergian Patra dengan mata sayunya, perasaan berkecamuk tiba-tiba muncul dalam hatinya.
"Raina? Kok, tumben kamu pulang ke sini." Suara khas milik Mamanya membuat Raina membuyarkan semua lamunannya. Gadis itu mengingat kata-kata manis terakhir yang dikeluarkan dari mulut Patra. Dia bilang, dia akan selalu ada di sisinya.
Namun, bagaimana jika Patra mengingkari janjinya? Terkadang itulah yang membuat Raina ragu dalam berkomitmen dengannya.
Raina berbalik, tersenyum ketika melihat sosok mamanya yang akhir-akhir ini ia rindukan. Bukan hanya orang tuanya, Raina juga merindukan kamarnya, rumahnya, dan semua benda-benda yang pernah ia temui di rumah ini.
Raina membuka pintu gerbang, kemudian mereka saling menghampiri dan berpelukan."Mama, Raina kangen banget sama Mama."
"Mama juga kangen banget sama Raina. Oh, iya, tadi dianterin siapa ke sininya? Sama Patra?"
Mereka melepaskan pelukannya. Raina tersenyum dan menjawab, "Iya, sama Patra."
"Waduh! Harusnya kamu jangan suruh dia pulang dulu tadi. Kebetulan Mama lagi masak banyak hari ini. Nanti kamu telepon dia, deh. Kita makan malem bareng, gimana?"
Raina hanya mengangguk. Gadis itu menatap langit yang meredup, kemudian pandangannya jatuh ke jendela kamarnya dulu. Sepertinya tidak berdebu, ada seseorang yang rajin membersihkannya.
"Ayo masuk dulu." Wanita paruh baya itu mengalungkan tangannya di leher Raina, mengajaknya untuk segera masuk.
Rasa kehangatan ini kadang yang paling dirindukan dari sebuah keluarga.
"Papa ada di rumah, Ma?"
"Ada, lah."
"Oh iya, kamar Raina sering dirapihin ya, Ma?"
"Iya, lah. Terus tempat favorit kamu yang suka duduk di rooftop rumah juga sering mama sapuin. Cuma ... kakak kamu gak pernah kembali lagi ke rumah semenjak kabur sebelum acara pernikahan kamu itu."Pandangan mata mamanya melesu. Melihat keadaannya yang terpukul karena kehilangan anak, membuat Raina kasihan.
Kenapa kakaknya tega meninggalkan? Padahal dengan keluarga, dia bisa mendapat kehangatan. Karena itulah, awal mula mengapa Raina dijodohkan dengan Patra. Padahal ... Patra tidak tahu apa-apa.
"Ma, Mama jangan sedih. Ada Raina, kok, di sini. Yang selalu nemenin Mama di mana pun, kapan pun."
"Maaf, Raina. Maafin Mama." Raina tidak bisa menolak jika mamanya meminta maaf padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Wife [COMPLETE]
Novela Juvenil[Dilanjutkan di akun ini karena saya lupa kata sandi lama. Mungkin akan ada sedikit perubahan pada isinya] Bagi Raina, menikah muda dengan Patra adalah sebuah kesialan yang menimpanya. Namun, mau bagaimana lagi? Mereka berdua menerimanya. Dan setiap...