T E R L A M B A T

86 15 0
                                    

     Di sampingnya sudah tidak ada Raina. Cewek itu memang biasa bangun lebih pagi daripada Patra. Suara percikan air dari kamar mandi di dalam kamar Raina memperjelas semua yang tadi sempat ditanya-tanyakan Patra dalam hatinya ke mana pergi Raina. Namun, cowok itu kemudian tersenyum geli di balik selimutnya, mengingat kejadian semalam saat perdebatan mereka.

***

       Raina mengunci pintu kamarnya dengan saksama. Sebenarnya, bukan apa-apa. Hanya saja gadis itu takut jika Patra tiba-tiba menyusup ke kamar dan tidur berdua dengannya. Jujur, sebagai anak yang masih menginjak sekolah menengah atas, Raina merasa risih jika ada seorang lelaki yang tidur di sampingnya. Itu ... terlalu tiba-tiba.

Raina menghela napasnya. Baru saja dia berbalik,  wajahnya hampir saja menabrak dada bidang milik orang lain. Matanya membulat ketika Raina menengadahkan kepalanya ke atas, menatap lelaki dengan pahatan wajah sempurna tapi tidak dengan sifatnya. Dia berdiri tepat di hadapan Raina, membuat gadis itu sontak berteriak kencang. Patra yang mendengar lengkingan itu langsung membekap mulut Raina, memintanya untuk berhenti berteriak.

“Malam ini gue mau tidur di kamar lo.”

Raina melepaskan bekapan Patra dan berkata, “Enggak!”

Beruntung, siang itu orang tua Raina sudah pulang. Walaupun bukan mereka yang sebenarnya sengaja pulang, tapi Raina yang mengusirnya secara halus. Tapi sialnya, saat itu Patra malah sengaja memanjang-manjangkan obrolannya dengan papa Rai. Patra pada dasarnya memang sengaja ingin mengerjainya. Jika saja waktu bisa diulang, maka Raina akan berkata ‘tidak’ pada perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Namun, waktu itu bukan tanpa alasan Raina mau menyetujui pernikahan ini.

Ada sesuatu yang membuat Rai terpaksa menerima Patra, walau dia adalah cowok yang menjengkelkan baginya.

“Hitung-hitung sebagai ganti rugi atas keringat yang udah gue keluarkan demi lo hari ini,” kata Patra lagi.

“Cih, demi gue? Perasaan gue gak pernah bilang ke lo kalau ini semua ‘demi gue’.”

“Enggak, pokoknya gue maksa.” Patra berhambur tidur di ranjang milik Raina. Tangannya dilebarkan di sana, seakan-akan kasur tersebut hanya miliknya. Raina berlari mengejar Patra, cewek itu kemudian mendorong tubuh Patra untuk menyingkir dari kasurnya.

“Patra! Ish, sehari aja gak nyebelin bisa?”

“Lo juga. Sehari aja gak cerewet bisa? Princess jaim.”

“Pat, besok gue harus sekolah.”

“Gue sih, oh aja.”

Baiklah, Raina menyerah. Hari ini dia sudah cukup lelah. Biasanya, jika Raina tidak lagi membalas perkataannya, itu berarti dia sudah malas untuk berdebat. Patra sudah mengenali Raina lebih dari dua minggu. Cowok itu langsung menepi, Raina tidak mengoceh lagi dan langsung tidur di sampingnya. Mereka saling berlawanan. Namun, sebelum lampu tidur dimatikan, Raina kembali mengucap suara.

“Jangan sentuh, peluk, atau apapun itu ke gue.”

Akan tetapi, Patra tidak langsung menyetujui ucapan Rai. Cowok itu mencium kening Raina singkat ketika gadis itu mulai tertidur pulas. Kemudian bibirnya bergumam pelan di telinga Rain, “Good night, my little wife.”


“Patra Rafidan Azzam!”

Patra masih membuka matanya, namun cowok itu enggan untuk menarik selimutnya. Raina menyebut nama lengkapnya, biasanya dia ingin diantarkan pergi sekolah sebagaimana biasanya. Tetapi, Patra ingin sedikit bermain-main dengannya. Cowok itu langsung menutup mata, berpura-pura kalau ia masih tertidur pulas ketika Raina membuka selimutnya.

Raina kemudian mengguncang-guncangkan tubuh Patra, raut wajah paniknya sangat kentara. Hanya Patra satu-satunya harapan yang bisa membuat Raina tidak terlambat, cowok itu bisa mengendarai mobil. Jika saja di rumah yang ayah Patra beli ini juga sudah lengkap dengan sepeda motor, sudah pasti Raina akan mengendarai itu, tapi tidak ada motor di garasi rumah ini.

Raina mendecak kesal, Patra masih belum mau bangun. Dia mengeratkan pegangan pada tali tasnya, giginya menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Jika saat Raina keluar dari kamarnya dan Patra masih belum terbangun juga, maka gadis itu terpaksa akan menutup pintu kamarnya dan pergi sendiri ke sekolah. Berjalan kaki tentunya.

“Patra, bangun, dong! Lo juga harus sekolah, 'kan?” Raina masih berusaha. Tapi Patra enggan membuka matanya.

Akhirnya, Raina melangkahkan kaki hingga ke depan pintu kamarnya. Gadis itu menengok ke belakang hanya untuk memastikan apakah Patra bangun atau tidak, namun ternyata tidak. Raina menyentakkan kakinya kesal, kemudian ia berjalan pergi dan tidak akan berharap pada Patra hari ini.

Patra membuka matanya satu persatu, hanya untuk memastikan apakah Raina benar-benar sudah pergi atau tidak. Dia bangkit dan melongok ke luar kamar, sudah tidak ada Raina. Patra juga masih bersekolah, hanya berbeda satu setengah tahun dari Raina. Namun, mereka dalam sekolah yang berbeda. Cowok itu buru-buru masuk ke kamar mandi hanya sekadar mencuci muka. Wajahnya kemudian menghadap cermin dan bergumam, “Udah ganteng.”

Setelah itu, niatnya Patra akan menyusul Raina nanti menggunakan mobil. Cowok itu akan memberinya kejutan. Mobilnya ia keluarkan setelah pagar rumahnya dibuka, kemudian melesat pergi untuk mengejar Raina. Patra berhenti di salah satu toko hanya untuk membeli cokelat putih kesukaan Raina. Jam-jam segini Patra tahu jika Raina sudah mendekati terlambat, dia mempercepat laju mobilnya.

Namun, saat matanya menangkap postur tubuh Raina di depan membuatnya harus menghentikan laju mobilnya. Ternyata Raina sedang berjalan memasuki mobil asing bersama lelaki lain. Tentu saja lelaki itu berseragam SMA sama dengan Raina. Patra mencengkeram kemudi, dia tidak tahu siapa yang mengantar Raina lebih dulu. Seingatnya, waktu itu Raina memperkenalkan dirinya hanya kepada teman-teman perempuannya saja.

Tapi yang lebih anehnya lagi, mengapa Patra harus semarah ini ketika melihat Rain bersama cowok lain? Cowok itu kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya, kertas itu diam-diam diambil dari laci meja rias Raina. Kertas bermeterai yang sempat menjadi perjanjian mereka setelah menikah.

Patra membukanya, membaca satu persatu tulisan yang ada di sana dengan saksama.

KERTAS PERJANJIAN
•Pihak cowok dilarang memaksakan kehendak jika pihak cewek tidak mau, begitu sebaliknya
•Tidak boleh menyentuh hingga masing-masing pihak lulus sekolah!
•Kedua belah pihak tidak boleh dibatas-batasi oleh apapun.
•Bersikap anggun dan bertingkah seolah baik-baik saja di depan orang tua maupun mertua!
•Tidak boleh melibatkan perasaan dalam hal apapun.

DEMIKIAN SURAT PERJANJIAN INI DISETUJUI DAN DIBUAT OLEH RAINA PRISKA SENDIRI. HARUS DITANDA TANGANI OLEH PATRA, NAMUN DIA TIDAK BOLEH MERUBAH KALIMATNYA SEBELUM PEMBUAT.

Patra tersenyum singkat, pikiran Raina masih sangat kekanak-kanakan. Cowok itu kemudian melaju cepat menuju sekolahnya, dia juga akan datang terlambat. Selama ini, belum  ada yang menyetujui jika Patra dan Raina akan berada di sekolah yang sama. Karena, Raina dan Patra sendiri nyaman dengan kehidupan di sekolah mereka masing-masing.

Patra menatap gerbang sekolahnya yang sudah terkunci, tapi dia sama sekali tidak ada ekspresi takut akan dihukum. Cowok itu mengeluarkan ponselnya, lantas menelepon seseorang yang akan membantunya.

“Tolong bukain gerbangnya, deh. Nanti gue traktir makanan kantin, gimana?” tawar Patra pada seseorang yang sedang di teleponnya. “Iya, sepuasnya.”

Tak lama, pintu gerbang sekolah dibuka. Ada banyak sekumpulan orang-orang di sana. Patra menggunakan kacamatanya, cowok itu mulai berlagak tengil ketika banyak anak-anak gadis menyorakinya.

“Patra ... ganteng banget sih, aduh!”

“Pacar gue, saranghaeyo!”

“Patra! Kamu harus dihukum nanti! Hei, kalian semua, ada apa ini? Ayo bubar dan kembali ke kelas masing-masing!”

Patra memarkirkan mobilnya, cowok itu kemudian keluar setelah bergumam, “Nasib jadi orang ganteng.”

My Little Wife [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang