A W A L A N

149 33 85
                                    

       "Patra?"

Sang empunya nama tadinya hendak pergi secara diam-diam dari rumah. Namun langkahnya terhenti, tubuhnya langsung kaku dan terdiam begitu namanya dipanggil.

Sepertinya, dia sudah ketahuan. Baru-baru ini Patra menyesali semua perbuatannya.

Raina, istri kecilnya semenjak dua minggu lalu. Sifat sebelum Patra menikahi dia sangat berbeda drastis dengan sekarang. Cowok itu salah mengenali Raina dalam pandangan pertama.

Akibat perjodohan orang tua, membuat Patra tidak terpaksa mengiyakannya dan langsung bertemu dengan Raina saat itu juga.

Ya, mungkin alasan awal Patra tidak menolak perjodohan itu karena ... Raina memang cantik dan punya sikap anggun. Namun ternyata, malam pertama usai pernikahan mereka, Raina menunjukkan sifat aslinya. Dia licik.

Namun semuanya sudah terlanjur. Menikah di masa muda sebenarnya terlihat tabu di kalangan masyarakat sekarang. Akan tetapi, pernikahan mereka tidak pernah diberitahu pada siapa pun kecuali keluarga dari kedua pihak.

Anehnya, waktu itu Raina juga menyepakati begitu saja jika dirinya memang harus menikah dengan Patra. Namun dengan syarat, Patra harus bertingkah seperti kakaknya ketika mereka sedang berada di luar rumah.

"Gue mau ke minimarket, anterin!" rengek Rai dari dalam kamarnya.

Patra mendecak, telinganya seperti membengkak. Seharian ini Raina cerewet sekali kepadanya, di suruh membersihkan itu, nanti ini, dan itu. Padahal, ketika Patra belum menikah dan masih tinggal di rumah orang tuanya dia tidak pernah disuruh apapun.

Untuk melampiaskan kekesalannya terhadap Raina, cowok itu menendang asal ke benda yang berada di sekitarannya. Suara melengking benda itu sampai di telinga Raina. Benda yang Patra tendang ternyata adalah galon. Galon itu sampai menggelinding hingga menuju pintu utama.

"Woi, lo nendang apaan lagi, sih? Baru juga diberesin!"

Namun bagi Patra, teriakan paling nyaring di rumah ini hanyalah teriakan dari mulut Raina. Cowok itu ingin sekali menyumpali mulutnya, sehari saja bibir itu tidak mengoceh, pasti hidup Patra bahagia.

"Patra, jangan lupa perjanjian kita yang di atas materai itu, loh!"

Kata-kata yang dilontarkan Raina lagi-lagi membuat Patra kesal. Ingin menendang sesuatu barang lagi, tapi takut diocehi oleh Raina.

Akhirnya, Patra menjawab, "Enggak! Barusan ada kambing lewat yang buat gue kaget."

Ayolah, hari libur seperti ini  Patra ingin bermain ke rumah temannya. Bukan mengantar Raina, si gadis cerewet binti ngeselin binti manja itu ke luar rumah. Apalagi ke minimarket. Tak bisa Patra bayangkan kalau cewek itu nantinya akan berdiam diri di depan jejeran makanan selama berjam-jam.

Namun ketika pulang, yang dibelinya paling-paling hanya sekantung jeruk.

"Jangan ngeles! Ayo anterin gue sekarang. Kaki gue lagi sakit, Pat. Jadi harusnya itu lo tau kalau gue mau–"

"Raina sayang, aku datang!" potong Patra, tidak lupa dengan nada bicaranya yang sok ceria. Diam-diam lelaki itu bergumam, "Cerewet!"

"Diem lo! Jangan panggil gue sayang-sayang."

Patra memunculkan kepalanya ke dalam kamar, memperhatikan Raina yang ternyata sedari tadi dia masih di depan cermin. Tampak sedang mengoleskan sesuatu di bibirnya.

Patra pernah menyebut itu lipstik di hadapan Raina, namun Raina mengelak kalau benda yang ia pegang namanya lipbalm. Tapi Patra tidak mau kalah dan tetap bersikeras kalau yang dipegang Rai namanya lipstik. Sedetik kemudian, hanya gara-gara salah penyebutan, mereka jadi bertengkar tak habis-habis.

Kali ini Patra memilih diam. Tidak ingin bertanya apa yang sedang Rai lakukan dan benda apa yang sedang ia pegang. Cowok itu takut jika nantinya mereka akan berdebat dan malah membuang-buang waktu.

"Patra?" Raina memanggil Patra dengan lembut secara tiba-tiba ketika cewek itu menjatuhkan lipbalm-nya ke atas meja rias.

Entah kenapa, setiap Raina mengucapkan namanya dengan lembut selalu membuat jantung Patra berdebar-debar. Namun dia tahu kalau Raina hanya akan memanggilnya dengan lembut jika ada maunya.

Patra berjalan mendekat, cowok itu lantas berjongkok di depan Raina. Raina tersenyum puas. Gadis itu langsung menunggangi punggung Patra, kepalanya tenggelam dalam ceruk leher Patra. Hembusan napas hangat dari Raina kadang-kadang membuat Patra merinding.

"Udah?" Raina menjawab pertanyaan Patra dengan mendeham.

Patra mulai berdiri, dia menggendong Raina dari belakang. Rasanya aneh ketika Patra ternyata bisa menggendongnya dari belakang. Padahal selama ini, cowok itu selalu bilang jika Raina itu berat.

Kalau Patra saja sudah bisa menggendongnya, apakah itu pertanda jika berat badan Raina mengurang?

Baru saja gadis itu merasa senang, ketika mereka baru sampai di depan pintu kamar, tubuh Patra oleng seketika. Tubuhnya terhuyung-huyung, dahinya mulai bercucuran keringat lumayan banyak.

"Patra, pelan-pelan!"

"Bentar, Rain. Kayaknya gue–"

Brak!

Tubuh Rain langsung bertubrukan dengan Patra. Seperti yang tadi pernah Rai duga, gadis itu merintih kesakitan. Pada dasarnya, sampai kapan pun cowok itu pasti tidak akan pernah bisa menggendongnya.

"Sialan, Patra! Tanggung jawab! Tadi 'kan gue gak nyuruh lo buat gendong, cuma minta dipapah!" seru Raina, gadis itu masih menindih punggung hangat Patra.

"Rai, maaf gue gak kuat."

"Jangan kek drama orang mau mati dong, begini kan berabe jadinya, Pat."

"Assalamu'alaikum, Raina? Patra? Kami datang ngejenguk nih." Raina mengenal suara tersebut, begitu juga dengan Patra.

Namun, Patra seakan kehabisan tenaga, cowok itu tidak bisa berdiri. Ini situasi yang gawat, Raina ingin segera bangun, tapi keburu dipergoki oleh orang tuanya.

"Astaga, kalian udah ...."

"Ma!" Raina sudah berdiri. Walaupun kakinya sakit, namun cewek itu berusaha membantu Patra untuk bangkit.

Pintu rumahnya sudah terbuka, ada orang tua Raina di sana. Mereka tersenyum-senyum sendiri ketika melihat adegan Rai dan Patra yang saling bertubrukan. Raina tentu tahu apa yang ada di pikiran mereka.

"Jangan salah paham, tadi Raina cuma jatuh terus ketabrak Patra," jelas Raina walau sebenarnya, dia ingin sekali memutar bola mata malas sekarang.

"Cewek licik, gue gak mungkin biarin drama lo berjalan mulu," gumam Patra dalam hati. Cowok itu kemudian langsung berlalu seakan tak terjadi apa-apa.

"Enggak, Ma. Sebenarnya bukan gitu kejadiannya, Raina emang sengaja nabrak Patra. Mau ngegoda sih, kayaknya. Tapi malu pas Mama sama Papa datang ke rumah kita tiba-tiba."

Papa Raina hendak membalas, namun mamanya Ray langsung menyelak, "Ah, iya. Raina itu emang malu-malu gitu waktu masih sama kita. Mama paham kok, dulu juga pernah gitu. Berarti gak salah, kan kalau kami jodohin kalian?"

Raina menginjak kaki Patra lumayan keras hingga membuatnya diam-diam mengadu kesakitan. Namun Raina masih menjaga image-nya, dia tersenyum pada orang tua kandungnya.

Patra sialan, gumam Rai dalam hatinya.

"Ma, bukan gi–"

"Oh iya, ngomong-ngomong ada apa nih, Ma, dateng siang-siang ke sini?" potong Patra, cowok itu tahu kalau Raina ingin mengelaknya.

"Cuma mau nengok iseng-iseng doang. Nih, sekalian Mama bawa bingkisan."

"Ya ampun, mertua Patra baik–aduh!"

Ini yang kedua kalinya, kaki Patra dilindas oleh kaki berat milik Raina. Cewek itu memang pandai menjaga citranya!

Raina memandang Patra sambil berbisik tajam, "Jangan sok akrab di depan orang tua gue!"

Patra tersenyum kecil. Sudah saatnya melakukan pembalasan atas semua siksaan yang pernah Raina berikan padanya.

My Little Wife [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang