Derit suara pintu yang terbuka dari kayu yang terlihat sudah tua mampu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa ngilu. Raina tak menyangka jika selama ini Kakaknya tinggal di rumah yang tak layak huni. Lagipula, mengapa Kakaknya itu mau tinggal di tempat ini?
"Ini ... tempatnya?" gumam Shena pada Raina. Mereka, jadi tidak jadi melanjutkan acara mereka yang harusnya menjadi tempat untuk me-relakskan pikiran.
Raina mengendikkan bahunya ketika diberi pertanyaan. Beberapa menit kemudian, ada teriakan yang terdengar dari dalam.
"Aaron, itu kamu?"
Suara Kakaknya. Raina yakin jika dia tak salah mengenali. Kemudian, keluarlah sang pemilik suara tadi dari tempat gelap. Raini membeku di tempatnya ketika matanya menatap seorang yang berarti di hidupnya.
"Rai ... na?" tanya Raini, tangan kirinya tengah memegang benda senter yang menyala.
"Kakak!" Raina berhambur masuk ke dalam dan memeluk Raini.
Sedangkan Ardi, Shena, dan Aaron hanya bisa memerhatikan mereka dari pintu depan. Raini menjatuhkan senternya dalam keadaan menyala. Tentu dia bahagia karna bertemu dengan adiknya, setelah sekian lama hanya menjaganya dari jauh.
"Kenapa Kakak gak pulang? Ngapain di rumah yang kayak gini, mending juga di rumah. Kak Raini terlalu ...."
"Bodoh? Rai, ada alasan kenapa gue gak mau pulang dulu."
"Karena kegemaran kakak dibatasin sama Papa, 'kan?"
"Errr ...." Raini menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal, cewek itu memandang Aaron yang menatapnya sambil tersenyum. "Itu juga salah satu alasannya. Tapi nanti gue pulang, kok."
"Ck, pembohong."
Raina memutar bola matanya malas, rasanya dia ingin ribut dengan kakaknya jika saja tidak ada orang lain yang melihat. Namun, Raini malah tertawa. Kemudian cewek itu tiba-tiba membisikkan sesuatu di telinga Raina, "Na, hati-hati sama ... Ardi."
Raina mengerutkan keningnya ketika dia mengatakan itu. Shena berbisik pada Ardi, "Raina yang asli yang mana?"
Kemudian, mereka bertiga yang ada di luar tertawa sebentar.
"Kenapa?" tanya Raina heran.
"Suatu saat ... bakal ada orang yang ngebongkar semuanya, kok." Raini mengambil senternya yang tadi terjatuh. "Maaf gak bisa nganter lo ke bandara, mau pergi, 'kan? Gue sedih."
"Sedihnya boongan."
Raini terkekeh pelan. Kedua tangannya kemudian terangkat ke atas, "Kalian diusir! Gue udah cukup kangen-kangenan sama Raina-nya."
Shena berbisik lagi pada Ardi, "Kakaknya Raina galak."
***
"Jadi, dia gak mau pulang?" tanya Ardi sembari menyetir. Raina ada di sebelahnya, cewek itu tadinya asyik dengan ponsel yang ada di tangannya.
"Enggak," jawab Raina singkat. Cewek itu kemudian menghadapkan kepalanya ke belakang, menatap koper besar yang diletakkan di kursi penumpang. Kemudian pandangannya kembali lurus ke depan. "Dia emang agak misterius gitu orangnya. Paling anti kalau diganggu privasinya. Seenggaknya, gue udah ketemu sama dia."
"Oh ...." Ardi menatap pada kaca spion mobil. Di sana terlihat sosok seorang mengenakan motor dengan helm di kepalanya. Ardi semakin mempercepat laju mobilnya. "By the way, thanks udah izinin gue nganterin lo ke bandara untuk yang ... terakhir kalinya kita ketemu, mungkin?"
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanya balik Ardi.
"Kenapa tiba-tiba jalannya jadi cepet banget abis liat kaca spion? Ada sesuatu?" Ah, ternyata Raina memerhatikan gerak-gerik Ardi sedari tadi.Ardi menggeleng tanpa suara. Cowok itu tiba-tiba menyalakan lagu dari radio yang ada di mobil ini. Menyetel lagu play date yang lagi nge-trend belakangan ini. Raina cukup menikmati. Di sini, hanya ada dia dan Ardi.
Namun, lagi-lagi Ardi menyewa mobil lain hanya untuk mengantarnya ke bandara. Meskipun Mama Raina sempat kecewa mengapa tidak Patra saja yang mengantarnya. Akan tetapi, nyatanya Patra tidak pernah datang lagi setelah menceraikannya. Entah lenyap ke mana, Raina tidak mau mempermasalahkannya dulu dan lebih memilih fokus buat belajarnya nanti.
Dalam gerakan cepat yang spontan, mobil direm paksa. Membuat tubuh mereka berdua mau tak mau agak terlempar ke depan.
"Ada apaan, sih, Di?" tanya Raina. Matanya menatap seseorang yang menghalang jalan mereka dengan motor.
Orang itu membuka helmnya. Patra. Seseorang yang tidak mau Raina lihat akhir-akhir ini. Mengapa ia datang?!
Patra mendekat dan mengetuk-ngetuk jendela mobil dengan gerakan cepat dan menekan. Membuat Ardi terpaksa membuka pintu mobilnya, dia takut ganti rugi jika mobil milik orang ini rusak.Namun, baru saja Ardi menyembulkan kepalanya ke luar, pipinya langsung terhantam oleh pukulan maut yang diberikan Patra tanpa aba-aba. Membuat Ardi jalan sempoyongan, dan Raina menjerit di dalamnya.
Gadis itu ikut ke luar dari dalam mobil, emosinya sudah mengepul-ngepul semenjak Patra datang. Lantas, Raina mendekat dan langsung mendorong tubuh Patra ke belakang sampai cowok itu agak oleng dari berdirinya.
"Maksud lo apa sih, Pat?!" kesal Raina. Cewek itu merangkul Ardi agar dia bisa berdiri tegak.
"Dia yang apa-apaan, Rai! Dia cowok busuk yang menyamar jadi sahabat baik buat lo!"
Ardi hanya diam tanpa berkata-kata. Sedangkan Raina, rasanya dia ingin ikut menonjok pipi Patra agar ia tahu rasanya.
"Gue benci sama lo! Kenapa lo masih berani munculin diri lo lagi di sini?" seru Raina, untung jalanan tidak terlalu ramai. Ardi memilih jalan pintas agar cepat sampai ke bandara tujuan Rai, namun Patra diam-diam mengikuti mereka.
"Gue cuma mau bawa kebenaran agar lo gak salah paham! Ardi itu biang di balik semuanya, lo boleh gak percaya gue, Rai. Tapi coba buka mata lo buat lihat betapa busuknya dia!" Patra menunjuk-nunjuk Ardi. Aksi Patra yang seperti itu malah membuat Raina semakin tak suka.
"Dia sengaja buat hubungan kita hancur, Rai! Dia juga yang nyebar tentang pernikahan kita di sekolah. Dia juga yang buat Shena ... menderita waktu itu."
"Dari mana lo tahu? Lo gak bawa bukti sama sekali. Omongan lo gak bisa gue percaya." Rasanya, mulut Raina hari ini sedang pedas sekali. Jantungnya tidak bisa diam sedari tadi. "Lo nyembunyiin kakak gue! Kehadiran lo justru penghancur segalanya di kehidupan gue."
"Tapi–"
Ah, Raina ingat waktu itu Ardi pernah menembak dirinya. Mungkin tidak apa-apa jika dia memanfaatkan situasi sekarang. "Kami berpacaran. Lo gak tahu, 'kan? Jadi, tolong jangan ganggu hubungan kami."
Ardi menatap Rai dengan terkejut. Tak menyangka Raina bisa berkata seperti itu di hadapan Patra. Tak banyak ucap lagi, Raina langsung membawa Ardi untuk masuk ke dalam. Memilih untuk mengabaikan Patra yang mematung di tempatnya.
"Gak apa-apa, kan, Ar?" tanya Raina, Ardi menggeleng sembari men-starter mobilnya.Raina membuka setengah kaca mobil, mengintip ke belakang dari sana. Melihat Patra yang menatap kepergiannya dengan raut wajah kecewa tiba-tiba saja membuat Raina merasakan hal aneh. Dia merasa ... bersalah. Hatinya berubah gelisah. Apalagi dia akan pergi dalam jangka waktu yang lama.
"Lo ... serius ngucapin kata yang tadi, Rai?" tanya Ardi. Raina menatapnya dengan pandangan kosong. Tidak ada rasa apa-apa dia terhadapnya, namun Raina malah mengangguk ragu.
"Thanks."
Tuhan, tolong maafkan Raina karna dia tengah berbohong sekarang.
Selamat tinggal, Kota Jakarta. Kota yang mungkin sempat memberinya warna dalam sekedipan mata.Tentang kehadiran Patra, dan semua yang ada dalam hidupnya. Dia akan pergi dalam waktu lama.
Selamat tinggal, semuanya. Raina harap, tidak ada yang melupakannya. Namun, dia mau yang terlupakan itu ... rasanya terhadap Patra.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Wife [COMPLETE]
أدب المراهقين[Dilanjutkan di akun ini karena saya lupa kata sandi lama. Mungkin akan ada sedikit perubahan pada isinya] Bagi Raina, menikah muda dengan Patra adalah sebuah kesialan yang menimpanya. Namun, mau bagaimana lagi? Mereka berdua menerimanya. Dan setiap...