G U D A N G

30 10 0
                                    

    "Pelan-pelan, bego," gerutu Patra ketika sudut bibirnya ditekan-tekan oleh Raina dengan kencang menggunakan kapas beralkohol.

"Salah lo sendiri, tuyul! Ngapain sok-sokan berantem sama Ardi? Mau jadi sok jagoan? Terus nanti gimana kalau gue yang suruh tanggung jawab?"

"Tanggung jawab sama siapa, coba?"

Raina mencicit pelan, "Papa lo, atau Mama lo?"

Patra tertawa. Cowok itu kemudian mengacak-acak rambut Rai dengan gemas, membuat Raina merasakan sentuhan bagai setruman yang menyengat tubuhnya. Ini ... benar-benar tidak biasa.

Tiba-tiba, Raina berhenti mengobati. Gadis itu kemudian termenung cukup lama, hingga akhirnya Patra bersuara. "Thanks, udah milih buat ngobatin gue."

Raina ingat, saat Patra baru saja keluar dari ruang BK, anehnya gadis itu lebih khawatir terhadap Patra daripada Ardi. Kemudian menggiringnya ke sini. Pasalnya, di belakang Ardi sudah ada Shena juga, pasti dia yang bakal mengobati Ardi. Raina tersadar dari lamunannya, cewek itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Mm, iya. Sama-sama."

"Walaupun sebenernya, gue gak butuh juga diobatin sama lo. Gue bisa sendiri tadi."

Jawaban yang keluar dari mulut Patra membuat Raina melempar kapas alkohol tadi ke wajahnya. Membuat Patra merasakan sensasi dingin sekaligus geli, cowok itu tertawa.

"Monyet! Nyesel gue bantuin lo."

Raina mengentakkan kakinya dan berbalik. Namun, tangannya digenggam oleh Patra, memberinya akses untuk tidak bisa bergerak.
"Kalau marah, gak jadi mau gue beliin cokelat." Patra berkata dengan percaya diri. Seakan-akan Raina sudah pasti tidak akan menolaknya.

Namun, Raina memilih menghempaskan tangan Patra dan berkata, "Gue gak butuh."

Kemudian Raina berjalan pergi. Patra mendecih dan tertawa geli melihat tingkahnya. Patra mengingat kejadian tadi, dia kelepasan ketika Ardi memancing emosinya. Satu hal yang Patra tidak suka darinya, anak itu banyak gaya dan sok tahu. Kadang Patra bingung, mengapa bisa Raina berteman akrab dengannya.

Namun, tiba-tiba Patra mengingat sesuatu. Jika Raina pergi ke kelasnya, pasti cewek itu akan mendapat masalah. Patra beranjak pergi dari tempatnya, luka memar di sudut bibir dan mata ia abaikan.

Matanya menangkap tubuh Raina yang hendak masuk ke dalam kelas, cowok itu mempercepat jalannya. Kemudian meraih pergelangan tangan Raina dengan tepat dan cepat.

"Lo gila ya? Mau dapet hukuman?"
Raina menoleh, matanya mendelik. Sedetik kemudian, perkataan Patra ada benarnya juga. Dia tidak mau jika harus dihukum, ini semua gara-gara Patra. Akhirnya, Raina menggeleng pelan.

"Ayo, ikut gue." Patra menarik Raina ke suatu tempat. Koridor di sini sepi, karena masih jam-jam belajar. Raina masih tidak tahu ke mana Patra membawanya.

Kedua mata Raina menyipit curiga, dia melepaskan genggaman tangan Patra pelan-pelan.

"Mau bawa gue ke mana deh?" tanya Raina. Dia ingat waktu itu pernah lewat sini bersama Ardi waktu telat, jalan yang menuju gudang dan gerbang belakang.

"Pokoknya ada. Kita bolos hari ini juga gak akan ada yang omelin, kok," jawab Patra dengan santai.

"Jangan sok misterius gitu, dah. Ini kan jalan ke–"

"Gudang?" Patra memotong yang membuat Raina terdiam. Seketika, degupan jantungnya kembali berdebar kencang tidak bisa diam.
Kemudian, Raina memelototkan kedua matanya ketika dia baru menyadari sesuatu. "Jangan-jangan lo mau–"

"Gapapa, kan kita udah sah. Bolehlah, nyoba di gudang. Lagian jarang juga orang lewat di sana kok, guru BK paling keliling di sana kalau pagi doang. Jadi gak bakalan ketahuan."

Raina menganga lebar. Baru beberapa hari Patra tinggal di sini, tapi cowok itu seakan sudah mengetahui semuanya tentang sekolah ini.

"Lo gila, ya?"

Patra meletakkan jari telunjuknya di bibir Raina juga bibirnya sendiri.

"Ssst, tenang aja. Gue bakal buat lo keenakan kok, Rai."

Raina menepuk keras dada Patra, tapi tangannya malah ditangkap dan diseret untuk mengikutinya.

"Cowok mesum! Gila, stress, sakit ji–" Patra membekap mulut Raina dengan tangannya. Tak memberikan Raina kesempatan untuk berbicara. Membuat Raina jadi berbicara tidak jelas.

"Siapa yang mesum?" Patra menaikturunkan alisnya. Sebelah tangannya membuka kenop pintu gudang.

Semakin lebar pintu itu, semakin cepat juga degupan jantung Raina. Gadis itu ketakutan. Sekelebat bayangan kelamnya waktu itu membuat Raina mengamuk. Dia melepaskan diri dari pelukan Patra.

"Ish, sini!" Patra menarik kembali Raina ke dalam, kemudian menutup pintu gudangnya ketika mereka berdua sudah masuk. "Tadaaa!"

Mulut Raina menganga lebar. Tadi dia sudah berpikiran yang macam-macam terhadap Patra. Jika sudah seperti ini, apakah ini salah pikirannya sendiri?

Tidak. Raina menggeleng, ini semua salah Patra yang membuatnya ambigu. Akan tetapi, Raina menghela napas lega jika ternyata bukan 'itu' yang tadi Patra maksud. Patra tersenyum menggoda Raina, namun dengan tatapan yang meledek.

"Gue ngerti sama pikiran aneh lo tadi."

Raina menatap Patra dengan tajam sekaligus malu. Di hadapannya, ada setumpuk cokelat-cokelat di dalam kardus. Dengan jumlah banyak yang tak terhitung. Membuat Raina merasakan bahagia dalam hatinya, tak menyangka jika ini yang dimaksud Patra.

"Tapi tadi gue emang sengaja ngomong gitu biar kedengaran ambigu di telinga lo." Ungkapan Patra membuat Raina memukul bahunya dengan keras hingga cowok itu meringis.

"Patra sialan!"

"Hm, gue kira lo bakal mikir polos tadi. Ternyata enggak." Patra tertawa, ingin terbahak tapi tidak bisa. Takut guru BK memergoki mereka nanti. "Makanya, pikiran harus always positif. Istri kecil."

Bodo amat!

Raina tidak mau mendengar perkataan apapun dari mulut Patra lagi. Cowok itu benar-benar menyebalkan baginya, seperti hama. Jadi, Raina memilih untuk mendekat ke kardus itu. Menyerbu cokelat-cokelat yang ada, membukanya tanpa satu-satu.

"Nah, kan. Udah gue bilang, lo pasti bakal keenakan. Di sini kita juga cuma berdua, tapi gak dosa. Soalnya gue udah jadi suami lo kan?"

Raina melempar bungkus cokelat ke mulut Patra, hanya bungkusnya.

"Jangan kenceng-kenceng, bego."

"Ya elah, malu punya suami ganteng kayak gue?"

"Kalo iya, kenapa? By the way, dapet dari mana semua cokelat-cokelatnya?"

"Dari tokonya, lah. Sengaja gue beli banyak buat lo. Terus, tadi gue nyuruh orang buat nganterin cokelatnya ke sini."

Patra mengambil posisi duduk di samping Raina, dia tahu kalau gadis itu akan lupa padanya kalau sudah makan cokelat. Tak sadar, sudut bibir Patra membentuk lengkungan senyuman, ada rasa bahagia ketika dia menatap binar mata Raina.

Tiba-tiba, Raina berhenti mengunyah. Gadis itu menghadapkan kepalanya pada Patra dan berkata singkat, "Thanks."

Dengan gerakan cepat, Patra menekan kepala Raina menggunakan tangannya agar dahi mereka saling bersentuhan. Raina ingin menolak, tapi Patra memaksanya.

"Biarin, tunggu dulu. Gue mau kita lebih lama kayak gini," ucap Patra seperti berbisik di depannya.

Raina mengatur napas juga detak jantungnya. Ini dekat sekali. Gadis itu sampai lupa caranya menghirup dan membuang napas.

"Oke, sampe kapan?"

"Sampe gue bilang 'udah'."

Kemudian, Raina menjauhkan keningnya dari Patra. Cewek itu menjawab, "Tadi lo udah bilang 'udah'."

Patra mendecak. Raina pintar sekali akal liciknya. Jujur, Raina merasa tidak enak pada posisinya bersama Patra tadi.

"Kita keluar pas bel istirahat bunyi. Abisin aja cokelatnya dengan tenang." Patra kecewa.

Namun tiba-tiba, suara gedebuk yang lumayan kencang terdengar dari luar gudang. Membuat Patra dan Raina menerka-nerka apa yang sedang terjadi di luar sana.

My Little Wife [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang