12. Menata hati

1.1K 73 12
                                    

Tini hanya diam sembari mengelap wajahnya dengan tangan, astaga apa yang aku lakukan benar-benar menyebalkan. Bisa-bisanya aku menyemburkan susu hangat ini.

"Lah, Mas Juna benar-benar—" Tini mengomel dan mengusap wajahnya.

"Ya ampun, maafkan saya. Saya kaget saat kamu bilang seperti itu, kamu masuk ke kamar saya ada kamar mandi, bersihin itu wajah kamu. Maaf saya nggak sengaja."

"Alasan bae kamu Mas, untung yo bukan air panas, kalau air panas wajah Tini bisa melepuh."

"Saya kan—"

Tini langsung masuk ke dalam kamarku dan menuju kamar mandi, setelah itu dia keluar dengan membawa handuk punyaku untuk mengelap wajahnya.

"Mas, Tini pinjam handuk yo. Handuk Mas Juna kok baunya asem, nggak enak. Apa nggak pernah dicuci toh. Mbok ya dicuci Mas, biar wangi," gerutu Tini sambil mengusap wajahnya.

"Asal bicara aja kamu, itu saya cuci pakai kembang tujuh rupa dan saya rendam semalam."

Tini pun menatapku bingung dan detik berikutnya, dia duduk di ranjang bersamaku. "Mas, Tini mau bicara sama Mas Juna."

"Bicara apa? Tentang perjodohan itu?"

"Ya begitulah."

Kami berdua memilih diam sejenak, bingung mau melanjutkan pembicaraan seperti apa. Aku takut kalau ada setan lewat, membuatku khilaf seperti kemarin malam. Melihat Tini hanya memakai baju tidur dengan tali di bahunya.

Glup, dengan susah payah aku berusaha menelan air ludahku, ini anak maunya apa sih? Suka tampil menggoda dengan aset yang dia punya. Pikiranku sudah kacau sekarang.

"Punya kamu ternyata enak juga, benar malam itu saya cuma mencium kamu, lihat punya kamu aja. Nggak sampai sentuh kamu lebih. Kamu masih virgin kok."

"Mas Juna, suka toh? Virgin iku opo yo, Mas?" Tini menatapku dengan wajah bingungnya.

Astaga anak ini, sekolah berapa tahun? Virgin aja nggak tau? Ingin aku membuangnya ke laut.

"Cari di buku sekolah kamu, pasti ada kata-kata itu. Oh, iya saya mau jelaskan sesuatu sama kamu kalau saya tetap menikahi kamu, melihat apa yang saya lakukan pada kamu adalah kesalahan besar dan saya harus memperbaikinya. Kamu tau—saya melakukan itu untuk bertanggung jawab bukan karena saya suka sama kamu atau apa. Ingat tidak ada cinta di antara kita berdua, ya kalau semisal nanti ada yang jatuh cinta. Itu adalah bonus, bonus untuk saling mencintai satu sama lain."

Tini hanya diam, dan menundukkan wajahnya lalu dia mengangkat wajahnya menatapku. "Iya, Tini tau kok mas. Maafkan Tini juga, udah jadi gadis yang nggak tau diri. Maaf yo mas, gara-gara Tini—Mas Juna kena omel sama orang tua Mas. Mas terpaksa kan nikah sama Tini? Tini loh cuma anak sopir, Mas nggak malu sama teman-teman Mas?"

"Itu nggak masalah, orang yang salah saya. Ya seharusnya saya bertanggung jawab atas kamu."

"Makasih yo Mas, Tini tidur dulu udah malem besok sekolah."

"Hm."

Tini pun keluar dan itu membuatku merasa nyesek sendiri, kenapa? Karena omonganku mungkin dianggap olehnya terlalu kasar, sebenarnya bukan itu yang akan aku katakan padanya.

Tapi, yang keluar dari mulutku lain daripada yang lain, aku masih membutuhkan waktu untuk menata hati, menata hati jika aku siap untuk menjadi suami seorang gadis desa yang usianya sangat jauh dariku.

Pria berumur 30 tahun menikahi gadis berumur 17 tahun. Sangat jauh, bukan? Aku sudah merusak masa depannya dengan menikah denganku. Hah ... Rasanya seperti mimpi jika aku akan menikahi gadis itu, gadis yang tiba-tiba masuk dalam relung hatiku, setelah sekian lama aku kubur untuk tidak merasakan luka dan jatuh cinta lagi.

Married with Cewek Ndeso[SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang