Dua minggu sudah berlalu, sejak acara lamaran yang keluargaku lakukan bersama keluarga Tini. Tepat hari ini aku benar-benar akan menikahi gadis desa itu. Bukannya apa, tapi rasa gugup ini terus menjalar dalam diriku.
Menggunakan setelan jas putih, dan celana putih. Rumahku disulap menjadi serba putih untuk acara pernikahan ini, waktu begitu cepat sekali, aku merasa kalau diriku baru bangun dari mimpi.
Masa jomblo yang akan berakhir, dan di ruangan ini aku tidak sendiri melainkan ditemani oleh is—maksudku calon istri. Ya, Tini sedang didandani oleh beberapa wedding organizer yang disewa mamaku.
Dengan balutan gaun pengantin yang indah dipandang mata, aku sampai tak lepas dari dirinya. Lentik indah bulu matanya, dan bibirnya yang terlihat merona. Astaga apa yang aku pikirkan, nanti aku jadi menginginkan yang lain. Jika aku terus menatap dirinya.
"Juna, sebentar lagi ijab kabul akan segera dimulai. Sebaiknya kamu ke depan dulu nanti Tini akan menyusul bersama mama," ucap Mamaku, dan aku membalasnya dengan deheman singkat.
Aku pun berjalan keluar untuk pergi ke tempat penghulu, dimana pak penghulu dan beberapa tamu undangan sudah menungguku.
Duduk, dengan ditemani oleh Papaku, banyak tamu yang datang. Terlebih ada para teman-temanku yang turut hadir dalam acara ini.
"Jun, lo kenapa gugup? Nggak sabar ya ketemu calon istri?" goda Reza.
"Apaan, gue nggak gugup kok."
Lantunan ayat suci Al-Quran mulai terdengar, semoga saja aku bisa mengucapkan lafal ijab kabul untuk sekali seumur hidup.
"Bisa dimulai sekarang? Apa masih menunggu pengantin wanitanya?"
"Iya, Pak masih menu—" Ucapanku berhenti ketika mataku tertuju pada seorang gadis yang sedang digandeng menuju tempat dimana aku duduk sekarang.
Melihat Tini berjalan pelan ke arahku dan kini dia sudah duduk di sampingku, astaga jantungku rasanya mau lepas dari tempatnya.
"Baik, pengantinnya sudah siap dan acara akan segera dimulai. Ananda Juna, apakah ananda sudah siap?"
"Insyaallah saya siap, Bismillahirrahmanirrahim."
Sekarang Pak Juned selaku, orang tua dari calon istri sudah berganti posisi tepat di kursi depanku, dan beliau mulai menjabat tanganku. Mengembuskan napas perlahan, dan melanjutkan perkataan yang seharusnya diucapkan.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Juna Alvaro Sabekti Nugraha bin Broto Nugraha dengan puteriku Sriantini dengan Mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Sriantini binti Junaidi dengan mahar tersebut tunai," ucapku dengan satu tarikan napas saja. Alhamdulillah akhirnya aku bisa mengucapkan kalimat sakral itu.
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah," ucap Mereka serentak.
"Alhamdulillah, Barakallahu lakum wa baraka'alaikum ...,"
"Kalian sudah sah menjadi suami istri."
Tanpa disuruh, Tini pun menyalami tanganku. Rasanya ada getaran cinta yang timbul, astaga bucin terus.
Setelah selesai ijab kabul, acara dihentikan sejenak dan para tamu mulai menikmati makanan yang telah disediakan sambil menunggu waktu dimana acara resepsi dimulai.
Sementara aku dan Tini, menuju kamar untuk melepas lelah. "Mas, em ... Tini boleh nggak kalau misal—"
"Apa? Kalau bicara jangan setengah-setengah."
"Kita tidurnya pisah aja ya, Mas."
Aku menoleh cepat ke arahnya yang sedang duduk di ranjang, aku tak salah dengar? "Kenapa, tidurnya pisah? Kamu nggak mau tidur sama saya? Apa saya membuat kamu takut, hingga kamu tidak mau tidur sama saya? Ada masalah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Cewek Ndeso[SUDAH TERBIT]
Humor[SUDAH TERBIT DI SHANA PUBLISHER] Sebagian part sudah dihapus Seorang CEO muda yang sudah lama menjomblo, dan kini dia memilih untuk melajang saja. Namun, ada suatu perkara yang tak mudah baginya. Tanpa sengaja dia telah menabrak seorang gadis desa...