Terhitung sudah dua hari aku di rumah mertua, dan sore ini aku dan Tini sudah bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta. Aku keluar dari kamar, setelah berganti pakaian. Melihat Tini sedang duduk di ruang tamu, aku langsung menghampiri lalu duduk di sampingnya.
Tini sedikit terkejut menyadari aku yang duduk di sampingnya. "Mas Juna, buat Tini kaget aja."
"Maaf, habisnya kamu serius lihat hp. Lihat apaan, Tin?" tanyaku seraya melihat isi hpnya.
"Lihat jadwal pelajaran, Mas."
"Oh, jam berapa ini? Pulang sekarang, ya?"
"Iya, Mas. Bentar, Tini pamit ke bapak sama emak dulu."
Tini beranjak pergi menuju belakang rumah, dimana tadi aku sempat melihat jika bapak dan ibu mertua sedang membersihkan kebun. Aku yang melihat Tini berpamitan, segera menyusulnya ke belakang.
Terlihat ibu mertuaku tampak sedih dan memeluk Tini, aku pun berjalan mendekat ke arah mereka dan menyalami bapak mertuaku.
"Pak, saya pamit dulu. Doakan selamat sampai tujuan," pamitku.
"Iya, hati-hati. Bapak udah bawain kalian beberapa sayur mayur di samping mobil, nanti bapak bantu masukin ke bagasi. Maaf, bapak belum bisa kembali ke Jakarta. Sibuk ngurusin kebun yang mau panen."
Aku hanya tersenyum tipis kepada Pak Juned. "Nggak papa kok, Pak. Nanti saya aja yang masukkan ke bagasi sendiri. Bapak nggak perlu sungkan lagi sama saya, kalau bapak membutuhkan sesuatu, langsung bilang aja ke saya saja Pak."
"Iya, terima kasih banyak loh. Hati-hati di jalan."
Setelah lama berpelukan, Tini akhirnya bisa melepaskan pelukan ibunya dan mencium tangan ibunya berkali-kali, lalu kami berdua pergi menuju luar rumah.
Sebelum berangkat, aku memasukkan barang-barang pemberian keluarga Tini ke dalam bagasi mobil. Selesainya itu, aku dan Tini masuk mobil dan mulai pergi dari kediaman rumah Tini.
Kembali pulang ke Jakarta, yah ... Kalau bukan tuntutan pekerjaan dan sekolah Tini yang ada di sana. Mungkin aku masih bisa, berlama-lama di desa.
"Mas, nanti kita sampai ke Jakarta agak malam ya?"
"Ya begitulah, lihat aja nanti."
Saat perjalanan seperti ini, yang ada hanyalah keheningan saja. Sampai akhirnya Tini mulai bersuara lagi, dengan kata-katanya yang sukses membuatku terkejut. Bahkan sampai menepikan mobilku.
"Tini mau punya bayi, Mas," celetuk Tini.
Aku menoleh cepat ke arahnya, apa-apaan ini? Bisa-bisanya dia bilang seperti itu, kalau aku terpancing nafsu bagaimana? Kan susah.
"Kamu ini ngomong apa sih, Tin? Jangan aneh-aneh, saya semalam cuma bercanda, jangan terlalu dipikirkan."
"Tini beneran loh, Mas. Mas ini gimana sih."
Untung saja aku sudah menepikan mobilku di pinggir jalan, aku terdiam sejenak berusaha mencari kata-kata yang bisa membuat Tini tidak memikirkan ucapanku kemarin. "Dengar saya, saya akan tunggu kamu sampai kamu siap aja. Fokus sama sekolah kamu, toh kita nikah juga belum lama. Pacaran dulu enak loh, Tin. Buat dedeknya kapan-kapan-"
Ucapanku terhenti, saat Tini dengan gemasnya mencubit lenganku. Entahlah dia suka sekali dengan mencubit. "Mas, Tini itu udah siap, Tini udah jadi miliknya Mas Juna seutuhnya. Kalau nunggu lama-lama, bisa aja Mas Juna meninggal duluan. Terus yang hamilin Tini siapa coba? Masa nikah lagi?"
"Dasar kampret, kamu Tin! Ya saya lah yang hamilin kamu. Doakan aja saya panjang umur, sehat selalu gitu. Ck, heran saya sama kamu. Seharusnya ini masa romantisnya kita, tapi kamu suka buat saya emosi terus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Cewek Ndeso[SUDAH TERBIT]
Humor[SUDAH TERBIT DI SHANA PUBLISHER] Sebagian part sudah dihapus Seorang CEO muda yang sudah lama menjomblo, dan kini dia memilih untuk melajang saja. Namun, ada suatu perkara yang tak mudah baginya. Tanpa sengaja dia telah menabrak seorang gadis desa...