Perjalanan siang hari ini, membuatku merasa bosan. Jalanan yang macet, dan polusi udara ada dimana-mana. Ya, pastinya aku harus lebih bersabar menghadapi antrian kendaraan yang begitu panjangnya.
Aku melihat Tini diam, dan melihat terus ke arah jendela mobil. "Tin, kamu kok diam terus. Ada masalah?"
"Tini ngantuk, Mas. Rumah Bu Mariska juga masih jauh."
"Jangan panggil Bu, mama saya udah jadi mama kamu juga. Jangan sungkan, Tin."
"Nggak enak Tini, Mas. Rasanya nggak sopan sama Bu Mariska."
"Diusahakan, nanti kamu akan terbiasa sendiri."
Sekitar lima belas menit kemudian, mobilku bisa keluar dari kemacetan. Tini terlihat senang sekali, aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum tipis.
Sampainya di mall, aku segera memarkirkan mobilku di basemant. Lalu aku dan Tini keluar, dan berjalan menuju pintu masuk mall.
Kami berdua berjalan beriringan, dan tanpa aku sadari mulai berjalan mendahului Tini yang masih berjalan di belakangku. Mataku tertuju pada sebuah toko hp langgananku, yang mana di toko ini terjamin kualitasnya dan sangat terpercaya.
Dari segi bentuk, jenis merk, dan lain sebagainya bisa membuat orang tergiur untuk membelinya. Aku pun masuk ke dalam toko itu dan menanyakan hp yang akan aku beli.
"Mas Juna kok tinggalin Tini? Jahat." Seketika aku menoleh dan menatap Tini yang memanyunkan bibirnya, dia masih berdiri di depan pintu masuk toko.
"Astaga, saya lupa kalau kamu tadi ikut. Sini, kamu pilih yang hp yang kamu sukai."
Tini berjalan malu-malu menghampiriku, tatapan karyawan di sini mungkin yang membuat dia sedikit tak enak hati. Padahal mereka semua terlihat iri, karena melihat aku sudah menikah.
"Bang, itu istri abang?" tanya Reski salah satu karyawan yang sudah mengenaliku.
"Iya, ini istri saya. Kenapa?"
"Masih anak kecil, Bang." Aku hanya tersenyum tipis, dan merangkul pundak Tini dengan sayang.
"Benar istri saya masih kecil, dia masih SMA. Tini, kamu pilih hp yang mana?"
Tini mencoba melepaskan rangkulanku pada pundaknya, dan melihat hp yang ada di dalam etalase. "Mas, aku mau warna hitam."
"Oppo? Yang ini?" tunjukku.
"Iya, Mas. Boleh, kan?"
"Boleh, Mas saya ambil yang ini. Sekalian isi card, memori, sama perlengkapan lainnya."
"Baik, Mas. Di tunggu, silahkan duduk dulu."
Aku dan Tini duduk di kursi yang telah tersedia, suasana canggung selalu terasa. Tini yang biasanya banyak bicara, kini dia hanya diam saja. Pada akhirnya aku yang mulai pembicaraan daripada terus terdiam seperti ini.
"Tini, kamu nggak lapar? Mau makan nggak?"
Tini menoleh ke arahku, dan menatapku bingung. Aku yang ditatap seperti itu malah mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Mas, aku mau minuman coklat tapi rasanya stroberi."
"Ha?" Aku lantas terkejut mendengar permintaannya, aneh-aneh sekali dia.
"Mau minuman di depan tadi loh, Mas. Tini ada uang 50.000 cukup nggak?" tanya Tini sambil mengambil uang dalam tas selempang miliknya.
Aku yang melihat itu, segera memasukkan uangnya lagi ke dalam tas. Selalu saja begitu, padahal sudah mempunyai seorang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Cewek Ndeso[SUDAH TERBIT]
Humor[SUDAH TERBIT DI SHANA PUBLISHER] Sebagian part sudah dihapus Seorang CEO muda yang sudah lama menjomblo, dan kini dia memilih untuk melajang saja. Namun, ada suatu perkara yang tak mudah baginya. Tanpa sengaja dia telah menabrak seorang gadis desa...