Hari ke lima di setiap bulan tak pernah mereka lupakan sebagai hari yang spesial. Bisakah disebut sebagai hari spesial padahal penuh dengan kesedihan? Namun bagaimanapun juga di hari itu, lima Februari dua tahun lalu, adalah hari dimana mereka akhirnya bisa melihat senyum lega dan bahagia milik sang ibu. Meskipun untuk yang terakhir kalinya.
Seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun berjalan memasuki area pemakaman. Diikuti sang kakak yang lima tahun lebih tua darinya, berjalan lebih lambat dengan sebelah tangan di dalam saku celananya. Terlihat masih mengantuk.
Anak laki-laki itu mendekati makam sang ibu. Kemudian menatap kakaknya sebentar ketika mendapati tiga tangkai mawar putih tergeletak di atas makam itu. Kakaknya juga melihat bunga itu, bunga kesukaan sang ibu.
"Selamat pagi, Eomma. Maaf aku sedikit terlambat. Taehyungie – hyung benar-benar tidur seperti orang mati," ujar anak laki-laki itu yang sudah berjongkok di hadapan makam sang ibu, sedikit melirik tajam pada sang kakak yang hanya menatapnya datar, sama sekali tak merasa bersalah.
"Eomma, bulan depan aku akan naik ke tingkat tiga. Lalu Kim Jungkook putramu yang paling tampan ini akan segera lulus. Itu berarti hampir tiga tahun Eomma pergi meninggalkanku," ujar Jungkook lagi. Kini lebih lirih disertai senyum sendu.
Taehyung masih menatap sang adik yang ada di hadapannya. Tak ada niatan sedikitpun untuk menyela atau bergabung karena anak itu sudah mulai sibuk menceritakan segala hal yang ia jalani selama satu bulan.
Jika Taehyung baru melihat pemandangan seperti itu untuk pertama kalinya, mungkin dia sudah berpikir jika Jungkook gila. Namun ini sudah menjadi tanggal lima yang ke dua puluh delapan. Itu artinya Jungkook telah melakukan hal seperti ini sebanyak dua puluh delapan kali.
Taehyung sesekali menguap dan mengusap wajahnya ketika rasa kantuk kembali menyerang. Beberapa kali dia juga melirik jam di pergelangan tangannya. Jam tangan murahan, hadiah dari Jungkook tahun lalu, yang tentunya dibeli dengan uang saku yang Taehyung berikan pada anak itu.
Sudah setengah jam lebih Jungkook masih menceritakan ini-itu. Akhirnya Taehyung maju selangkah mendekati adiknya. Terpaksa menyela.
"Belum selesai?"
Jungkook menoleh ke belakang, "Hyung sudah lelah?"
Taehyung menggeleng, kembali melirik jam di tangannya. "Setengah jam lagi aku harus bekerja."
Sebenarnya Taehyung merasa sedikit tak enak karena setelah dia mengatakan itu, Jungkook langsung memasang wajah cemberut dan membuang napas kasar. Namun anak itu tetap menyudahi acara pribadinya itu. Kemudian lebih mendekat pada pusara sang ibu, seolah ingin membisikkan sesuatu.
"Aku harus pulang, Eomma. Tunggu aku, eoh? Aku akan segera menyusulmu."
Kalimat itu terucap tanpa beban, bahkan Taehyung justru melihat adiknya tersenyum lebar. Seolah sudah tak sabar menyusul ibunya, seperti yang barusan ia ucapkan.
Hal itu tentu saja membuat Taehyung kesal. Diam-diam kedua tangannya mengepal erat.
"Ayo pulang," ajak Jungkook tanpa dosa. Seolah apa yang tadi ia ucapkan hanya sebuah omong kosong yang tak akan berpengaruh pada kakaknya. Padahal dia tahu jika Taehyung sangat benci ketika dirinya mengatakan hal semacam itu.
Mendapati Taehyung yang hanya diam dan menatapnya tajam, Jungkook menaikkan alisnya seolah bertanya.
"Apa? Aku salah bicara?"
Taehyung masih diam, belum ingin buka suara karena mungkin hanya teriakan yang akan keluar dari bibirnya.
"Kenapa kau terlalu serius menanggapinya? Semua orang 'kan memang akan mati. Kau, Appa, semua tetangga kita, presiden, siapapun, semua akan mati suatu hari nanti," ujar Jungkook terkekeh kecil.
"Dan aku juga... akan mati," lanjutnya lebih lirih, nyaris tercekat.
Tidak. Taehyung tak ingin melanjutkan pembicaraan ini karena hanya akan berakhir menjadi keributan. Jadi sebelum Jungkook melanjutkan, dia sudah lebih dulu berbalik dan berjalan. Mencoba menenangkan perasaannya yang sempat kacau karena tatapan penuh luka milik adiknya.
Hingga keduanya sudah berada di dalam bus, duduk bersebelahan, hanya ada hening di antara mereka. Taehyung memang lebih banyak diam. Jungkook yang biasanya banyak bicara atau sekedar menjahili kakaknya. Namun sekarang dia benar-benar sedang tak ingin melakukan apa-apa. Hanya bernapas saja rasanya begitu enggan.
Jadi anak itu hanya menyandarkan kepalanya pada jendela bus. Kemudian memejam. Berharap bisa terlelap dan mendapatkan mimpi indah. Atau bertemu sang ibu di dalam mimpinya.
Belum sempat benar-benar tidur, suara sang kakak membuatnya ingin menangis dalam pejamnya.
"Semua orang pasti akan mati. Kalaupun di antara kita harus ada yang mati lebih dulu, itu bukan kau. Karena aku akan terus mengusahakan segala hal untuk hidupmu."
--Hiraeth--
It's not homesickness. Homesickness is too weak. You feel hiraeth. A longing of the soul to come home.
'
200927
Hai, kita bertemu lagi di sini~
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction[Fanfiction Project Collaboration with @killmiagnella] I am homesick. But I cannot return home. The yearning is so inordinate. I hang my head in grief. The lost place of my past. A home that is too distant now. Forced my memory to diminish Until it...