Entah berapa jam proses operasi yang menyiksa itu dan Taeyong duduk di sana dengan seluruh tubuh menegang dan tersiksa.Yuta masih menungguinya di sana, sementara Lisa sudah berpamitan, karena puteranya membutuhkannya. Lisa bilang akan kembali besok pagi.
Lalu terdengar tangis bayi. Tangis bayi yang sangat kuat dan keras, seakan memompa seluruh udara yang ada ke dalam paru-parunya.
Taeyong terkesiap dan saling berpandangan dengan Yuta, tubuhnya makin menegang. Apakah itu suara anaknya? Tiba-tiba lampu menyala hijau, dan seorang perawat keluar, memanggilnya,
"Tuan Lee Taeyong" Taeyong diajak masuk ke ruangan dalam di bagian ruang persiapan operasi, yang menjadi pembatas antara ruang tunggu dengan ruang operasi, "Ini Putera anda Tuan Taeyong, kami menunjukkannya sebelum dia dibawa ke kamar bayi"
Bayi itu menangis begitu keras, seolah-olah memprotes kenapa dia direnggut dari kehangatan yang nyaman di perut ibundanya ke dunia yang penuh marabahaya ini.
Taeyong mengamati bayi itu dengan takjub, mahluk kecil tak berdaya itu, yang selama ini tumbuh di perut Jennie, darah dagingnya, yang tumbuh dari percintaannya dengan Jennie. Makhluk itu begitu tak berdaya, dan ingatan bahwa Taeyong memusuhinya dulu terasa begitu konyol. Anak laki-laki ini anaknya. Buah cintanya dengan Jennie.
Perawat itu menunjukkan alat kelamin bayi itu, anak laki-laki yang sehat. Dan wajahnya itu, yang bahkan sudah menunjukkan kemiripannya dengan seluruh keturunan Keluarga Lee, lalu membawa sang bayi ke ruangan khusus.
Sejenak Taeyong masih tertegun di sana, lalu teringat kepada Jennie... Jennie.. bagaimana isterinya?
"Suster," Taeyong memanggil suster itu, berusaha agar tidak terdengar panik, "Bagaimana dengan isteri saya?"
Suster itu melirik ke ruang operasi, "Masih belum sadar tuan, kondisinya cukup stabil meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi waktu-waktu mendatang, Anda bisa menengoknya nanti ketika dia sudah dipindah dari ruangan operasi ke ruangan icu".
Lalu suster itu pergi meninggalkannya, memaksanya menunggu ke dalam ketidakpastian yang menyiksa lagi. Kalau dulu, Taeyong pasti akan membentak, memaksa, menggunakan cara kasar agar bisa dituruti kemauannya.
Dia ingin melihat Jennie segera! Kenapa para dokter tidak becus itu begitu lama menanganinya???
Tetapi Taeyong menahan dirinya. Tidak. Mereka sedang menyelamatkan Jennie. Dia tidak boleh mengganggu mereka, karena nyawa Jennie taruhannya.
🥀
Ruangan iccu itu sepi, hanya ada Jennie dan suara detak jantungnya yang dimonitor. Jennie masih belum sadarkan diri, dan menurut penjelasan dokter tadi, kondisinya masih belum lepas dari kritis.
Taeyong duduk di sana, di samping ranjang Jennie, mengamati wajah Jennie yang terbaring pucat pasi. Dia pernah mengalami ini sebelumnya dan ternyata Jane tidak pernah terbangun lagi. Akankah Jennie melakukan hal yang sama pada dirinya?
"Kau tidak boleh meninggalkanku Jennie," Taeyong menggeram parau, "Kau tidak boleh meninggalkanku sebelum aku mengizinkanmu, putera kita menunggu di sana, ingin disusui jadi kau harus bangun dan menyusuinya, membantunya tumbuh menjadi anak yang sehat..yang..," suara Taeyong tertelan, menyadari bahwa dia sudah berkata-kata terlalu banyak.
Taeyong lalu menyentuh jemari Jennie dan menggenggamnya, "Maafkan aku," bisiknya parau, "Maafkan aku karena selalu memaksamu, menyakitimu, bahkan ketika kau mengandung anakku, aku tidak pernah memperhatikanmu seperti seharusnya," Dengan lembut Taeyong mengecup jemari Jennie, "Bangunlah sayang, dan akan kutebus semua kesalahanku"
Hening, Hanya suara monitor jantung yang terdengar teratur di ruangan itu, Taeyong menggenggam jemari Jennie makin erat, "Bangun sayang, apakah kau akan tega meninggalkanku dan putera kita? Kau bahkan belum memberinya nama, akan aku panggil apa dia?"
Mata Taeyong terasa panas membakar. Dia tidak pernah menangis sebelumnya, tetapi kediaman Jennie yang begitu berbeda dengan kesehariannya yang berapi-api membuatnya merasakan aliran dingin merayapi benaknya. Ketika kemudian panas membakar itu berubah menjadi tetesan hangat yang mengalir di sudut matanya, suara Taeyong berubah serak,
"Aku mencintaimu Jennie, isteriku. Dan aku bersumpah akan mengabdikan seluruh kehidupanku kepadamu jika kau mau bangun dari tidur pulasmu yang menakutkan ini"
Air mata Taeyong menetes di jemari Jennie. Dan kemudian jemari itu bergerak, membuat Taeyong terpaku. Jemari itu bergerak lagi, samar. Dan kemudian gerakannya lebih mantap. Bersamaan dengan itu, bulu mata Jennie bergerak-gerak, membuat Taeyong menunggu dengan cemas. Lalu setelah penantian yang sepertinya terasa seumur hidupnya, mata Jennie terbuka langsung menatap mata Taeyong yang basah,
"Kenapa.... Kau...menangis,,,?"
Taeyong langsung memasang muka sedatar mungkin meskipun perasaannya meluap-luap, "Mataku kemasukan debu"
"Oh," Jennie memejamkan mata lagi, sepertinya percakapan itu membuatnya lelah, "Anakku?"
"Dia laki-laki kecil yang sehat dan sempurna, tangisannya sangat keras membuat para suster harus menutup telinga dengan kapas ketika mengurusnya"
Jennie tersenyum, dan mencoba membuka matanya lagi, "Namanya ..."
"Apa Jennie?"
"Aku mempersiapkan namanya...," suara Jennie melemah, "A.......Angel"
"Angel?," Taeyong mengerutkan keningnya, dari sekian banyak nama, kenapa Jennie memilih nama Angel?
Jennie tersenyum lemah, "Dia... putera... dari seorang ... malaikat"
Aku iblis yang jahat! Bukan malaikat! Batin Taeyong berteriak keras membantah. Setelah semua yang dia lakukan kepada Jennie, perempuan itu masih menganggapnya sebagai malaikat?
"Men...cin...."
"Apa Jennie?," Taeyong berusaha mendekatkan telinganya ke bibir Jennie karena suara Jennie semakin lemah.
"Aku Mencintaimu....Taeyong." Lalu Jennie kembali tak sadar, meninggalkan Taeyong kembali dalam tidur lelapnya.
Air mata mengalir lagi di mata Taeyong, mata seorang iblis yang telah disentuh oleh sang malaikat.
Jennie salah, dia bukanlah malaikat. Jennie adalah malaikatnya. Dan pernyataan cinta Jennie membuat dada Taeyong terasa sesak. Sesak oleh perasaan meluap-luap yang tak pernah terungkapkan sebelumnya.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
SLEEP WITH THE DEVIL [JenYong]
Romance[WARNING 21+ MATURE CONTENT] Ketika bisnis orang tuanya jatuh, Jennie terpaksa melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang-orang yang dicintainya satu persatu hancur. Ibunya terpuruk dalam rasa malu dan kecewa lalu meninggal karena digerog...