"Mas, bayar uang kontrakan," katanya dengan menyuguhkan teh manis seperti biasa.
"Pake uang kamu dulu saja," jawab Bahri ketus.
"Uang gaji saya kan dipakai sehari-hari, Mas. Untuk makan, sabun dan lain-lain."
"Gaji kamu dari tiga orang itu sejuta lima ratus kan? Masa habis cuma untuk kasih makan diri sendiri? Aku kan makan di luar pas narik. Ke mana tuh duit?" tanya Bahri meninggi.
Jelita pun tak mengerti, ke mana uang gajinya. Ia hanya tahu rutin membeli beras, belanja sayuran untuk sarapan dan makan malam suaminya, sabun cuci dan juga kebutuhan kecil lainnya.
Jelita pun tak mengerti, ke mana uang gajinya. Ia hanya tahu rutin membeli beras, belanja sayuran untuk sarapan dan makan malam suaminya, sabun cuci dan juga kebutuhan kecil lainnya.
"Patungan deh, Mas. Lita punya dua ratus lima puluh ribu," katanya pelan.
"Gak ada. Bulan depan saja dari aku," omelnya dengan ketus.
Jelita semakin merasa hidupnya tak berarti. Sesekali ia berpikir untuk mati. Sejak kecil miskin, sudah menikah miskin pun direndahkan yang namanya laki-laki.
Dulu ayahnya, sekarang suaminya. Ia pun tak tahu lagi harus mengadu pada siapa.
Jelita, gadis miskin yang hidup dengan ayah dan neneknya. Sejak kecil ia sudah tak memiliki ibu, diurus oleh nenek, sedangkan ayahnya jarang pulang.
Sang ayah seorang buruh di sebuah perkebunan di pulau Kalimantan. Sejak kecil ia hidup pas-pasan. Meski parasnya cantik, tapi ketiadaan harta membuat ia merasa tak sempurna.
Saat remaja ayahnya kembali. Menjadi buruh bangunan tidak tetap, membuat ia mudah marah jika anaknya itu meminta uang untuk sekolah.
Pukulan atau sabetan kayu sering diterima Jelita, hingga akhirnya dia memutuskan tidak sekolah lagi. Beruntung, sang nenek tetap meyakinkannya untuk membiayai.
"Kerja saja, anak sepertimu tak guna juga sekolah. Paling ujung-ujungnya nikah juga. Ngurus anak, dapur, layanin suami. Cukup bisa baca sama nulis saja!" omel ayahnya ketika Jelita telah memakai seragam sekolah SMA.
"Tapi, Pak, siapa tahu Jelita bisa kerja di pabrik. Kalau lulus SMP banget, kayaknya cuma jaga toko itu pun gajinya dikit sekali."
"Bantah mulu!" bentak ayahnya tak peduli.
Jelita terpaksa mengubur mimpi untuk melanjutkan sekolah. Ia dipaksa bekerja menjadi pembantu rumah tangga.
Apesnya, wajah yang seperti namanya, Jelita, membuat ia hampir dilecehkan.
Lagi-lagi ia tak berdaya, keluar dan mengadu pada sang ayah.
Bukan perlindungan yang ia dapat, justru ayahnya berpikir untuk menjadikan anaknya sumber uang. Ia pun mengatakan tak ada salahnya jika Jelita menjual kegadisannya dengan harga yang tinggi, jangan gratisan.
Jelita makin terpuruk, ia hanya bisa menangis di pangkuan neneknya.
"Sabar, Neng. Bapakmu cuma sedang emosi."
Jelita akhirnya mengadu nasib ke Jakarta. Bekerja jadi pembantu rumah tangga.
Kecantikannya benar-benar seperti sebuah kesialan. Ia pun hampir diperkosa dan akhirnya memilih jadi penjaga warung pinggir jalan.
Di situlah ia bertemu Bahri. Ojek online yang sering dia layani ketika makan siang, malam atau bahkan sarapan.
Perhatian Bahri membuat Jelita merasa ada yang melindungi, karena itu tak butuh waktu lama bersedia dinikahi pemuda yang penghasilannya masih tidak tetap tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERKALUNG DOSA (Terpikat Istri Sahabat)
Romance"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya. Berbeda. "Mas Bahri?" Jelita membuka penutup...