Langkah wanita bergamis lusuh itu semakin berat, ia duduk di lantai di mana Reno tengah menikmati kopinya.
"Mas Reno, tolong lepaskan saya," katanya dengan lirih.
"Kamu tahu gak? Semakin kamu nangis kayak gitu aku semakin gemes lihatnya. Makin cantik kamu pas hidung merah dan mata sembap gitu," balasnya.
Cantik? Apalah artinya kecantikan jika hanya menjadi petaka.
"Mas, kasih saja pekerjaan buat Lita. Jangan jadikan Lita seperti yang dilakukan Mas Bahri. Lita siap kalau jadi pembantu seumur hidup Mas Reno, asal lepaskan Lita dari Mas Bahri dan jangan jadikan saya pemusa nafsu."
"Wow, permintaanmu banyak banget. Sebagai pebisnis setiap permintaan itu ada harganya lho," katanya dengan menatap gemas.
Perih, sungguh nasib begitu tak berpihak pada orang miskin dan lemah seperti Jelita. Ia tak mampu berkata lagi, selain menunggu kehancuran kehormatan dan mungkin akhir dari hidupnya.
"Allahu Akbar," gumam Jelita menahan duka yang begitu menyesakkan dadanya.
"Di mana Tuhanmu itu? Kok gak nolongin kamu?" tanya Reno lagi.
Jelita tak menjawab, dia hanya duduk dengan lemah di lantai. Pasrah sambil mencari ide untuk lepas dari semua ini.
Reno tentu tak akan mau rugi dengan melepaskannya, tapi menerima perlakuan dia pun bukan hal yang benar. Jika ia kembali pada Bahri, akan lebih buruk keadaannya. Dengan Reno pun tak ada bedanya.
"Gini saja deh, kamu tetap ikut aku selama sebulan. Kamu boleh urus apartemen aku di Jakarta, tapi gak ada jaminan jika aku tidak tahan melihatmu. Bagaimana? Daripada aku balikin ke si Bahri, terus kamu digilir dari pria ke pria?" tanyanya dengan santai.
"Balikin saja aku sama Mas Bahri, Mas. Aku mau minta cerai sama dia," ujar Jelita mantap.
"Kamu serius?" tanya Reno dengan menatap tajam.
"Aku mau buat perhitungan sama dia," jawab Jelita lemah.
"Bisa?" tanya Reno lagi. "Kamu itu lemah, yang ada kamu diseret ke rumah pria hidung belang. Dengan alasan patuh pada suami supaya dapat surga, kamu enjoy di surga kumal yang hanya mampu membara jutaan saja."
Jelita tak menjawab.
"Aku kasihan sam kamu, Jelita. Aku lihat bagaimana dia memakimu di depan umum saat reuni. Aku juga lihat kamu tidak bahagia dan terlihat kusut, berbeda setelah aku puaskan semalam, kamu lebih segar," katanya lagi.
Jelita menunduk. Ia memang tak pernah puas sebagai istri. Sering ditinggalkan setelah Bahri lebih dulu tiba di puncak.
Hanya semalam, ia baru tahu yang namanya puas. Sayang, bukan dengan suaminya.
"Begini saja, tetap ikut denganku. Aku janji tidak akan menyentuhmu sampai kamu sendiri yang meminta." Akhirnya Reno memberikan opsi yang membuat Jelita lega.
"Sungguh?"
Reno mengangguk dan mengulurkan tangan, tapi Jelita menolak dan memilih menundukkan badannya.
"Terima kasih, Mas. Semoga Mas Reno selalu sehat dan bahagia."
Reno menggeleng, ia pun meminta Jelita segera mengemasi pakaiannya dan bersiap untuk kembali ke Jakarta.
Tanpa menunggu perintah ke dua kali, wanita cantik itu segera menaiki tangga dan mengemasi pakaiannya. Kemudian mengangkatnya ke teras dan menunggu Reno di sana.
Pria itu masih sibuk menerima telepon dan terlihat bicara masalah bisnis.
Lima belas menit Jelita hampir terkantuk-kantuk, hingga akhirnya Reno datang dan menepuk pundaknya. Sontak ia berdiri dan mengangkat tas ke dalam bagian belakang mobil Reno.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERKALUNG DOSA (Terpikat Istri Sahabat)
Любовные романы"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya. Berbeda. "Mas Bahri?" Jelita membuka penutup...