Reno meninggalkan Jelita yang masih tersedu di lantai. Ia kembali ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Sementara itu, Jelita bangkit dan berjalan ke arah tempat mencuci pakaian.
Tangannya mengusap lengan kiri yang masih terasa sakit. Kemudian duduk di lantai sambil terisak meratapi kehidupannya yang seperti orang sial.
Ujin, ujian, ujian.
Hanya itu yang dia sangkakan, agar dia tak jatuh ke dalam keburukan dunia. Yaitu menyerah dengan keinginan Reno.
Bukankah Allah seperti prasangka hamba-Nya? Karena itu dia berusaha ikhlas dengan apa yang terjadi. Tetap menjaga martabatnya meski kemiskinan dan penderitaan yang ia alami hari ini.
Bibirnya terus bergumam, mengucapkan kalimat-kalimat yang menenangkan hatinya. Sampai terdengar nada dari mesin cuci, tanda bed covernya yang sedang ia cuci telah selesai.
Jelita bangkit dan membuka penutup pintu mesin cuci. Dengan susah payah, ia menarik bed cover dan berusaha menaruhnya di besi penjemur. Namun, tangannya yang sakit membuat ia kesulitan mengangkat benda besar dan berat itu.
Pada akhirnya, dia terjatuh dan berusaha mengangkat lagi bed covernya. Sementara itu, Reno menatapnya dari kejauhan. Ia spontan lari ke arah Jelita yang terjatuh, membantu mengangkat bed cover dan menaikkannya ke atas penjemur.
"Makasih, Mas," ujar Jelita pelan.
"Kamu kenapa lemah banget jadi perempuan," protes Reno sambil duduk di lantai berbatu putih di tempat jemuran.
"Maksudnya?"
"Kenapa kamu gak melawan saya?"
"Mana punya kekuatan saya melawan? Mau lari dari sini juga gak tahu cara buka pintunya bagiamana," jawab Jelita sambil memasukkan pakaian Reno yang kotor.
Pria itu tersenyum dan mengangguk.
"Mau kuajarin gak cara buka pintu apartemen ini?"
"Kenapa gak dilepasin saja akunya langsung, Mas?" Jelita balik bertanya.
"Gak seru, gak ada kejar-kejaran. AKu bayangin kamu lari, aku kejar di lift, lalu aku kunci dan aku ...." Reno tertawa seolah itu sangat lucu, padahal Jelita langsung meringis apalagi mendapati cairan kental di baju yang dia masukkan ke dalam mesin cuci.
"Kamu sama lelaki macam si Bahri aja gak melawan, itu yang aku sayangkan. Perempuan tuh gak boleh lemah, jangan mau ditindas. Kalau perempuan ditindas korbannya gak cuma diri sendiri, tapi kalau ada anak ya anak kamu juga." Reno bangkit dan membetulkan bed cover di besi jemuran. Kemudian menatap kota Jakarta dari sana.
Jelita tak menjawab. Ia hanya memasukkan deterjen, lalu menekan tombol, tanpa disadari Reno tengah menatapnya dari belakang.
"Baju juga, apa-apaan sih panjang gitu. Cantik kamu jadi hilang. Kelihatan tua jadinya. Padahal kamu masih sangat muda, walau bekas si Bahri lumayan gress pas dicoba."
Lagi, Jelita memejamkan mata. Menahan rasa jijik tapi dia tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya sibuk mengusap keringat, lalu menoleh dan menatap Reno yang juga menatapnya.
"Mas ma dimasakin apa?" tanya Jelita lagi, mengabaikan bahasan yang memang dia tak suka.
"Apa saja, capcay kalau bisa. Itu makanan favoritku," jawab Reno sambil berlalu dari ruang laundry dan berjalan ke ruang televisi.
Jelita segera ke dapur, menyiapkan bahan yang baru saja diantarkan oleh petugas tadi. Ia sibuk mengolah makanan, sedangkan Reno asik menghubungi pekerjanya dan menanyakan kendala hari ini.
"Aku ke sana satu jam lagi," ujar Reno sambil bangkit dan menuju dapur. Menyaksikan Jelita sibuk mengolah bahan makanan dengan cekatan.
Wajah dingin dan cueknya berubah menjadi sendu. Matanya terpejam, seolah tengah melihat ke suatu masa yang mungkin ia lihat. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras bahkan urat-uratnya terlihat kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERKALUNG DOSA (Terpikat Istri Sahabat)
Romance"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya. Berbeda. "Mas Bahri?" Jelita membuka penutup...