"Memang Mas Reno makan manusia?" Jelita melebarkan matanya.
Reno memejamkan mata dan menarik napas dengan dalam dan panjang. Kemudian ia mendekat cepat hingga Jelita mundur ke belakang dan menabrak meja makan. Tangan kekar itu mencengkram kuat di kedua lengan Jelita yang melebarkan mata.
"Mau tahu bagaimana makan manusia?" tany Reno pelan dan terasa lembut meski tangannya sangat keras.
Jelita menggeleng dan mengerjap. Ada rasa yang begitu tak kuasa ia tolak, meskipun jelas itu dosa.
"M-mas, sakit," katanya menoleh ke lengan yang mencengkram erat.
"Aku tidak bisa menahan lagi, Jelita. Aku lelah," bisiknya memejamkan mata. Namun dalam sepersekian detik terbuka lagi dengan tajam dan mendorong Jelita hingga semakin terdorong ke belakang.
"Jangan, Mas," rintih Jelita. "Kasihani aku yang sudah terlalu banyak dosa ini," pintanya dengan gemetar dan lemas.
"Kau tahu Jelita?" tanya Reno dengan napasnya yang menyapu wajah wanita itu bersuami itu. "Aku sangat membencimu. Benci sekali," katanya dengan mata yang merah dan tajam.
Bibir Jelita bergetar hebat, bahkan air mata akhirnya mengalir dari sudut matanya melewati pipinya yang tirus.
"Aku benci kau menangis. Aku benci sekali melihatmu menangis!" tekan Reno dengan rahang yang mengeras.
Jelita semakin tak karuan, ia tak mampu menghapus air matanya itu. Bahkan isakan terdengar dari bibir tipis itu pada akhirnya.
Reno semakin tajam menatap Jelita yang terisak dan menunduk pasrah.
Terkadang apa yang keluar dari bibir tak selalu sesuai isi hati.
Aku sangat membencimu, tapi aku seperti kehilangan diriku sendiri. Tenggelam dalam matamu yang lugu. Kau seperti lautan yang tenang dan aku adalah camar yang kehilangan arah.
Kebencianku adalah cinta, amarahku adalah cinta, dan semua yang kulakukan padamu adalah cinta.
Ya, aku mencintaimu, Jelita.
Namun dia tak mampu mengatakannya. Entah kenapa, ia pun tak tahu.
Jelita mungkin miskin, lemah, tapi pertahanannya soal keyakinan, membuat Reno tak mampu melukainya. Bahkan merasa tak pantas untuk memilikinya.
Cengkraman itu melemah seiring dengan isakan dari bibir Jelita semakin intens.
"Menyingkirlah dari hadapanku," katanya dengan kasar dan membalikkan pandangan.
Tangan Jelita yang gemetar berusaha mengusap air mata di pipi dan wajahnya. Pun bibirnya masih begetar.
Namun, pria itu tak peduli dan langsung masuk ke kamarnya lagi. Membiarkan Jelita menormalkan perasaannya yang tak karuan.
Tentu saja, ia tak tahu kenapa Reno membencinya. Apa karena tak mau disentuh olehnya? Namun, ia bersyukur dan tetap tersenyum karena lelaki itu tetap menjaga kehormatannya.
Pintu kamar yang ditutup keras membuat Jelita menoleh dan menatap pria yang tidak biasanya berangkat lebih pagi tersebut. Tanpa berpamitan, dia keluar dan mengunci apartemen dengan kata kunci yang hanya bisa dibuka olehnya.
Jelita luruh ke lantai, menatap kosong dan mencoba menormalkan perasaannya. Detik, menit, ia tetap diam. Hingga suara mesin cuci yang selesai membuat ia bangkit dan berjalan ke tempat mencuci.
Setelah itu, ia kembali ke kamar. Ponselnya terlihat begerak, ada pesan masuk di sana. Dari Bahri.
Aku ada di depan apartemen Reno.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERKALUNG DOSA (Terpikat Istri Sahabat)
Romance"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya. Berbeda. "Mas Bahri?" Jelita membuka penutup...