"Maaf, Mas," lirih Jelita sambil turun ke bawah dan mengambil perban serta obat dari kotaknya. Wajah ngantuk dan lelahnya menatap Reno dengan rasa bersalah. Spontanitas membuat ia mampu menendang sangat keras.
Tidak ada jawaban dari Reno. Lelaki itu malah menoleh ke arah kaki Jelita.
Tanpa menunggu perintah, Jelita mengoleskan obat yang ada di tangannya ke ibu jari. Wajahnya pun tak luput dari menahan sakit. Terlihat jelas dia menahan sakit yang mungkin bisa saja membuat ia teriak.
Berulang kali dia meniupkan udara, lalu menoleh pada Reno yang masih memperhatikannya. Ia pun tersenyum sambil menunggu obat meresap dan rasa sakit hilang perlahan. Ia berusaha memberikan senyuman karena masih merasa tidak enak atas aksi kakinya tadi.
"Tendangan kamu kuat juga." Reno menatap Jelita yang tersenyum. "Mantan pemain bola ya?" tanya Reno lagi dengan datar dan seketika mengubur senyum wanita itu.
Reno mendekat dan mengambil paksa perban dari tangan Jelita. Ia memaksa menarik kaki Jelita hingga gamisnya tersingkap hingga betis. Jelita susah payah menutupnya, dan Reno menarik gamisnya hingga menutupi betisnya lagi.
Ia tahu, Jelita tidak mau terlihat auratnya di depan dirinya. Setelah memastikan Jelita tidak banyak berontak untuk menutup kaki mulusnya yang kurus, ia mengikat jempol kaki Jelita dengan perban.
"Maaf ya, Mas," ulangnya.
Ada rasa gugup yang dia tak mengerti, saat Reno mengerti bahwa dia harus menutup kakinya tadi. Artinya, lelaki ini tahu apa yang dirasakannya, kerisauannya.
Sayang, dia juga bukan lelaki baik yang layak dijadikan suami. Ia bahkan tak percaya dengan penciptanya sendiri.
Reno memasukkan obat-obatan ke dalam kotak P3K, sedangkan Jelita menatap dengan tak menentu.
"Capcaynya sudah matang." Jelita segera berdiri dan menatap meja yang telah dia siapkan sejak tadi.
Reno bangkit dan duduk di kursi. "Kamu belum makan?" tanyanya saat melihat makanan masih sangat lengkap di meja.
Jelita menggeleng.
"Duduk, makan bareng," titahnya sambil meraih piring.
Jelita segera membalikkan piring dan menaruh sendok serta garpu di atasnya, lalu mendekatkan capcay serta tempe goreng dan lainnya. Ia juga menyendokkan nasi ke piring Reno.
"Segini, Mas?" tanyanya sungkan. Reno hanya mengangguk.
Tak lupa menuangkan air minum ke gelas seperti yang sering dia lihat di sinetron kalau sedang menggosok pakaian tetangganya. Tentang pekerjaan pembantu rumah tangga melayani tuannya, atau bahkan seorang istri yang melayani suaminya dengan tulus ikhlas.
Reno malah fokus menatap wajah Jelita yang sibuk melayaninya.
"Apa kamu kayak gini juga ke si pemalas itu?" tanya Reno serius.
"Pemalas? Maksudnya?" tanyanya dengan wajah yang lugu dan bingung. Ia menaruh tempe dan jatuh ke meja, bukan ke piring. Ia pun memindahkan tempe yang jatuh ke piringnya, dan mengganti dengan tempe baru untuk piring Reno.
"Suamimu," jawab Reno sambil menyendok nasi dengan sayuran dan menyuapkannya ke mulut.
"Oh, iyalah," jawabnya tersenyum.
"Tugas istri?"
"Sebenarnya sih tidak wajib, hanya jika dilakukan kami akan mendapat pahala dan keridhoan suami. Karena itu jadi seperti kewajiban untuk menyenangkan dan melayani suami." Jelita duduk dan menatap piringnya yang hanya berisi tempe saja.
"Meski lelaki pemalas dan tidak tahu diri?" tanya Reno lagi, seraya menunjuk ke arah capcay dan ayam goreng di meja, agar Jelita mengambilnya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERKALUNG DOSA (Terpikat Istri Sahabat)
Romance"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya. Berbeda. "Mas Bahri?" Jelita membuka penutup...