[2] embun pagi

278 37 1
                                    

SEJAK kapan, ya? Sejak kapan kiranya Levi mulai merasa ada perubahan yang signifikan pada satu-satunya kawan seperjuangannya? Dia berusaha tidak mengabaikan, tetapi hari demi hari semuanya memburuk, memaksanya untuk menggebrak masuk.

"Mata empat."

Di sana terduduk Hanji, yang bersandar agak linglung di pinggir tempat tidurnya. Dia terkekeh sembari memperbaiki helai cokelat kemerahannya yang berantakan.

"Kau tidak mengetuk pintu."

Dahi Levi berkerut, tampak tidak senang. Dia kemudian menutup pintu sebelum masuk lebih dalam ke ruangan.

"Aku sudah menahan diri selama seminggu."

Hanji menghela napas. "Kau tidak bertanya jadi kukira aku tidak perlu membicarakannya. Lagi pula kita semua pasti mengalaminya."

"Kita semua mengalaminya, tetapi suatu waktu aku pikir kau tidak."

Tersenyum, Hanji meluruskan kaki. "Begitukah?"

Mungkin karena mereka hanya berdua. Bisa jadi sebab kamar mereka kini berseberangan, atau ternyata teriakan Hanji memang lebih keras dibanding biasanya. Mimpi buruk adalah hal trivial bagi anggota pasukan pengintai, dan Levi seharusnya tidak perlu seserius itu.

Tetapi ini Hanji.

"Apa ini tentang Eren?"

"Kurang lebih," sahutnya getir. "Aku berpikir untuk membawa pasukan kita ke sana, tetapi aku tahu kita semua tidak akan pulang dengan lengkap."

"Kita tahu risiko itu di setiap langkah. Kenapa tiba-tiba itu menganggumu?" Levi memosisikan diri untuk duduk di tempat tidur, membuat Hanji sedikit menengadah untuk dapat melihat wajah yang nyatanya masih datar itu.

"Aku bermimpi."

Lensa cokelat tanpa terbingkai kacamata seperti biasa nyatanya membuat impresi Levi terhadap Hanji sedikit berubah. Lebih tepatnya, terganggu. Karena pilu yang tersirat dalam tatapannya tampak semakin jelas.

"Itu hanya mimpi."

"Erwin bilang jangan ke sana."

"... Hah?"

"Erwin bilang padaku untuk jangan ke sana," Hanji mengembuskan napas lelah, lalu mengistirahatkan kepalanya di paha Levi. Menggambar pola asal di atas sprei putih, dia menyambung, "katanya aku akan menyesal."

Levi kehilangan kata-kata. Dia hanya menatap Hanji yang menyembunyikan wajahnya.

"Tapi Levi, aku tidak pernah menyesal," ungkap Hanji, dengan suara teduh yang getarnya tak dapat disamarkan. "aku tidak menyesal bisa sampai sejauh ini."

"Jangan pernah menyesalinya," balas Levi, agak ketus sembari menepuk kepala Hanji. "atau kau akan menyesal."

Seketika dia tertawa. "Jangan pernah menyesalinya atau kau akan menyesal? Ckck, Levi, kurasa perbendaharaan katamu sangat bagus 'kan?"

"Memang," Levi menunduk, menyelipkan helai rambut Hanji yang bandel ke belakang telinga, dan berusaha membuat helai lainnya yang naik untuk tidur kembali; mengelusnya. Sesaat kemudian berbicara, tetapi suaranya jauh lebih rendah, atau setidaknya paling rendah yang pernah didengar Hanji, dilafalkan dengan hati-hati,

"Aku serius."

Hanji bergidik sebelum memaksakan senyum.

"... Aku tahu."

[]

"Soal itu, mungkin lain kali."

"Soal apa?" Dia menepuk-nepuk lengan kemeja putihnya yang kotor, sebelum menggulungnya kemudian.

fly awayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang