[3] and we have the same dreams

64 8 0
                                    

"KAU tuli, ya?"

Sepasang lensa cokelatnya mengedip dua kali sebelum dengan gesit menunduk, dan setelahnya suara kepalan tangan menghantam tembok juga geraman tak terima terdengar. Erangan dan umpatan yang terdengar kemudian membuat sang perempuan langsung ambil langkah seribu. Berlari dari pria sangar berbadan kekar, mengeluarkan diri dari gang sempit yang bau.

Hanji Zoe, enam belas tahun, masih dengan seragam sekolah; berusaha lari dari kepungan para preman pasar tidak beradab itu. Bisa-bisanya mereka menyerang perempuan di bawah umur yang jelas sekali sedang berjalan baik-baik demi menuntut ilmu?

Oh, sebenarnya ini salah Hanji juga. Dia punya pilihan untuk tidak lewat sini.

Merasa sudah terpisah cukup jauh, Hanji kemudian bermanuver; menghindari pejalan kaki dan beberapa polisi tidur dan sukses masuk dengan gaya paling awur-awuran ke sebuah apotek tidak berdosa; menabrak pintu dengan label pull, dan terpeleset akibat keset berdebu. Seisi apotek mendadak menyorotinya, dan sebagian di dekatnya mulai batuk-batuk akibat debu yang berterbangan.

Beruntungnya Hanji karena kepalanya tidak terbentur dan dia memakai rok. Selamat sentosa walau pantatnya nyeri luar biasa.

"Hei. Kau sadar tidak kalau ini apotek?!"

Menengadah, Hanji buru-buru menjawab, "Maafkan aku, aku tidak-"

"Bisa-bisanya keset apotek sekotor ini?! Jangan-jangan kau tidak pernah menyapu lantai?"

Menaikkan kacamatanya yang melorot, dia sadar kalau bukan dirinya yang dimarahi. Sedikit lega, Hanji menyambut uluran tangan seseorang-membantunya bangkit dari posisi tidak elitnya.

"Anda baik-baik saja, Nona?"

"... Ya. Terima kasih," Perempuan berhelai cokelat kemerahan itu tersenyum ramah. "maaf atas kekacauan yang kutimbulkan."

"Tidak masalah," Dia tersenyum lebih ramah lagi. "Apa ada yang mengejar Anda?"

Perasaan Hanji saja atau pemuda ini berbicara dengan cara formal yang aneh tapi familier? Pun rambut pirang gelapnya yang ditata sangat rapi itu. Kenapa Hanji merasa pernah melihatnya?

"Nona?"

"Ah? Ehm, iya ... tadi ada preman yang mengejarku, hehe," ungkap Hanji, menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "tapi aku yakin mereka tidak akan mengejarku, kok! Jadi-"

"Tetap tinggal di sini!" serunya heboh. Semua pasang mata langsung mengarah pada mereka. "Mereka bisa saja masih mengejar Anda!"

Gelagapan, Hanji menggenggam kedua tangan pemuda itu yang kini mencengkram bahunya. "T-tapi aku harus sekolah ... atau nanti terlambat." Lagi. Nanti terlambat lagi dan otomatis Hanji tidak akan diizinkan memasuki area sekolah. Untuk yang kesekian kalinya.

"Akan kuantar!"

"Ehhh?"

Tangan Hanji ditarik, sementara pemuda itu mengurus izin untuk keluar. Dan tiba-tiba saja helm sudah terpasang di kepala Hanji dan motor sudah dinyalakan. Mau tak mau, perempuan itu naik dan memberi tahu lokasi sekolahnya.

Seharusnya dia tidak naik, Hanji berpikir keras di sepanjang jalan, tetapi entah mengapa dia tidak bisa menolak. Apalagi setelah meninjau tampang serius sang pemuda. Tetapi setengah dirinya memutuskan untuk percaya kalau dia akan sampai selamat di tujuan. Walau terlambat sih.

"Oh, ya, namamu siapa tadi?"

"Saya Moblit Berner. Maaf tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu."

Atau mungkin bukan tujuh belas, tetapi enam belas. Di mana semuanya mulai berubah, insiden-insiden kecil di hidupnya yang bergerak meretakkan kebiasaan lama.

fly awayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang