S A T U

50 19 36
                                        

Minggu.

Hari dimana para penghuni panti asuhan diizinkan untuk bermain diluar. Satu dari sekian banyak kegiatan yang biasa dimainkan anak-anak lainnya, dan Kiara memilih bersepeda sebagai me timenya kali ini.

"Yakin tidak mau ikut?"

Kiara mengangguk pasti. Kakinya melangkah keluar dari pintu utama sambil menuntun sepedanya melewati pagar yang menjadi pembatas halaman panti asuhan dengan jalanan.

Sesampainya di seberang jalan, Kiara menarik nafasnya dalam lalu diikuti senyuman yang terbit di kedua sudut bibirnya tak lama setelah ia menghembuskan nafasnya.

Kebebasan.

Itulah yang dirasakan Kiara saat ini. Bukan, bukan karena para bibi pengasuh panti selalu mengekangnya untuk ini-itu, bukan juga karena ia baru dibolehkan bermain diluar pada hari ini, tapi karena Kiara merasa semua rasa penatnya langsung terangkat dari pudak.

Memangnya siapa yang tidak penat setelah seminggu penuh diisi dengan jadwal ujian? Meskipun tidak bersekolah di kota, rasa-rasanya intensitas jam belajar di semua sekolah sama saja. Melelahkan.

Gadis yang diketahui bernama Kiara itu mulai mengayuh sepedanya membelah jalanan di sore hari dengan senandung merdu yang tidak berhenti keluar dari mulutnya. Jalanan di kanan kirinya cukup lenggang karena memang tidak banyak kendaraan bermotor yang berlalu-lalang seperti di kota besar. Ia juga sesekali menyapa para petani yang masih sibuk bekerja saat melewati beberapa petakan sawah.

Udara di sekitar tempat tinggalnya cukup sejuk mengingat daerah ini berada tepat dibawah kaki gunung juga kurangnya polusi udara membuat semua suasana di kota kecil itu terasa sangat menyenangkan. Meskipun sebenarnya mulai memasuki musim panas, mereka yang tinggal disini tidak perlu pusing memikirkan bagaimana cara untuk bertahan dibawah cuaca terik. Justru, yang repot adalah ketika musim dingin datang.

Kiara berhenti mengayuh saat sudah sampai di tujuan. Ia turun dari sepedanya dan menjatuhkan bahu di batang pohon yang lumayan rindang. Tempat dimana Kiara biasa menghabiskan waktunya untuk bersantai.

Matanya terpejam diikuti hembusan nafas yang terdengar sangat tenang. Senyum secerah matahari kembali terbit di sudut bibirnya persis seperti saat ia akan meninggalkan rumah.

Untuk sejenak Kiara merasakan hatinya diselimuti suasana hampa yang menyenangkan. Lalu kicauan burung menyapu indra pendengarannya. Gulungan awan bagai dilukis pada hamparan kertas berwarna biru menjadi pemandangannya saat membuka mata. Dan tanpa sadar Kiara turut bersenandung mengikuti irama yang terlintas begitu saja dikepalanya. Kalau bisa divisualisasikan, Kiara jadi mirip Cinderella yang terkenal dari serial Disney Princess itu.

Tuk

Sebuah koin jatuh tepat diatas kepalanya membuat Kiara melenguh karena sakit yang ia rasakan. Tangannya refleks mengusap bagian kepala yang tadi dijatuhi benda asing itu. Butuh beberapa detik bagi Kiara untuk menyadari bahwa koin tidak seharusnya jatuh dari pohon. Maka kepalanya sontak menengadah dan mendapati seorang anak laki-laki sedang duduk dibatang pohon tepat diatasnya.

"Hei, apa yang kau lakukan?!" Teriak Kiara dari bawah dengan sepenuh emosi tentu saja. Memang siapa yang tidak marah saat kepalamu tiba-tiba dilempari koin? Tidak terlalu sakit memang, hanya saja apa yang dilakukan anak laki-laki itu membuat Kiara kaget setengah mati.

"Kemari! Kau harus minta maaf!"

"Berisik." Ujarnya sinis. Namun tak urung memijakkan kakinya di bagian-bagian tertentu batang pohon hingga sepatunya benar menyentuh tanah.

"Minta maaf kepadaku."

Anak laki-laki itu mengernyit. Mungkin merasa aneh dengan cara bicara Kiara yang terkesan kaku, kentara sekali menunjukkan identitasnya sebagai anak kampung.

Yang memerintah menunjukkan wajah marah. Sementara yang diperintah hanya melipat tangan didepan dada. "Kenapa aku harus minta maaf?"

"Karena kau— tunggu, tadi kamu bilang apa?"

"Kenapa aku harus minta maaf." Ujarnya mengulangi apa yang ia ucapkan sebelumnya.

Kiara geleng-geleng kepala. Bukan karena ia tidak mengerti maksud ucapan anak laki-laki itu, tapi hal yang membuatnya cukup tercengang adalah pertanyaan kenapa aku harus minta maaf?

'Kenapa' dia tanya?

Anak laki-laki itu masih mempertanyakan kenapa ia harus meminta maaf saat jelas-jelas ia telah melakukan kesalahan terhadap Kiara?

Menyebalkan.

"Ah, sudahlah. Lupakan saja." Ucapnya lalu berjalan menghampiri sepeda yang ia sandarkan pada batang pohon.

Niat hati ingin mencari ketenangan, ia justru dipertemukan dengan sosok manusia aneh yang menyebalkan. Kalau tau ceritanya akan seperti ini, Kiara pasti memilih ikut bermain bersama Ochan dan yang lainnya saja.

Kiara berjalan cukup jauh sambil menuntun sepedanya menuruni bukit. Namum langkahnya berhenti tiba-tiba saat merasa dirinya diikuti. Kiara dengan segera memutar kepalanya kebelakang untuk memastikan.

"Kau menguntit ku ya?!"

"Tidak."

"Kau.. Kelihatan tidak bisa dipercaya." Kiara memincingkan matanya pada anak laki-laki tadi yang berdiri di belakang sepedanya.

"Terserah." Ujarnya membalas Kiara.

Yang menuding mengedikkan bahu berusaha untuk tidak peduli dengan anak laki-laki itu. Ia melanjutkan langkah kakinya hingga tiba didepan jalanan yang sudah tidak terlalu menanjakjak walau belum sepenuhnya datar. Kiara duduk diatas jok dan siap mengayuh sepedanya untuk pulang sebelum sebuah tangan meraih bagian belakang sweaternya.

"T-tunggu."

Gadis itu berbalik hanya untuk mendapati anak laki-laki yang tadi mengikutinya. "Kenapa lagi?"

"I-itu, anu. Aku.."

Kiara menunggu anak itu menyelesaikan kalimatnya. Namun hingga satu menit terlewati, si lawan bicaranya belum juga membuka suara.

"Biar kutebak, kau tersesat?"

Anak itu mengangguk. Jauh didalam hatinya ia berusaha untuk menekan harga dirinya yang setinggi langit yang berbisik untuk tidak meminta bantuan. Namun dalam keadaan seperti ini, sepertinya dia tidak punya pilihan selain mengesampingkan egonya itu terlebih dahulu. Lebih baik seperti itu daripada terjebak di tempat entah-berantah.

Kiara menghela nafas. "Yasudah, naik. Aku akan mengantarmu pulang."

"Kau yakin bisa memberiku tumpangan dengan sepedamu?"

"Kenapa? Kau tidak mau? Ya, sudah kutinggal. Aku mau pulang."

"H-hei! Tunggu aku!" Teriak anak itu panik saat Kiara hendak mengayuh sepedanya.

"Hng, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya ingin memastikan kalau kau benar-benar bisa—"

Tangannya ditarik paksa membuat anak itu terduduk secara tiba-tiba di jok belakang Kiara. Bukan jok juga sih sebenarnya, karena anak laki-laki itu meringis tanpa suara saat tubuhnya menghantam besi yang tidak dilapisi busa dudukan di bagian belakang sepeda Kiara.

"Tenang saja. Ochan yang mengajariku membonceng orang, sekarang aku bahkan bisa mengantar kedua adikku ke sekolah."

SUMMER SNOWMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang