Tidak ada yang membuka pembicaraan selama perjalanan. Tentu saja, memangnya apa yang bisa dibicarakan dengan orang yang kau temui kurang dari satu jam? Mereka berdua belum sedekat itu untuk berbagi cerita konyol. Mungkin nanti.
Tapi Kiara yang sedikit agak risih dengan ketenangan penumpangnya, akhirnya menoleh dan membuat si anak laki-laki sedikit kaget.
"Rumahmu dimana?" Kiara bertanya.
Tidak salah, tentu saja. Sedari tadi Kiara hanya mengayuh pedal sepedanya tak tentu arah karena si penumpang belum menyebutkan tujuannya sama sekali.
"Seingatku, ayah membuka sebuah toko roti disamping rumah."
"Jadi toko roti yang baru dibuka itu milik ayahmu?"
Yang ditanya hanya mengangguk. Anak yang belum diketahui namanya itu tidak banyak bicara membuat Kiara berspekulasi bahwa anak laki-laki dibelakangnya ini adalah anak yang pemalu.
"Kau baru pindah kesini?"
"Hm, sekitar seminggu yang lalu kurasa dan baru selama itu aku sudah muak berada di tempat membosankan ini, jadi aku kabur dari rumah."
"Dan kau tersesat di bukit yang ta- tunggu, KAU BILANG KABUR DARI RUMAH?!" Teriak Kiara. Saking hebohnya, ia sempat mengerem sepedanya ditengah jalan membuat kepala Si Penumpang terbentur punggung Kiara.
Agaknya anak laki-laki itu terkejut dengan tingkah Kiara yang berhenti ditengah jalan. Ia takut bahwa sewaktu-waktu kendaraan manapun bisa menyerempet mereka berdua. Namun sesaat kemudian ia sadar, bahwa ini bukan di kota yang padat kendaraan.
"J-jangan berhenti tiba-tiba!" Ujarnya disertai nada kesal.
"Ops, maaf. Aku tidak sengaja, hehehe."
Mereka melanjutkan perjalanan masih dengan Kiara yang sibuk menggali informasi si lawan bicaranya.
"Jadi, kau mau pulang atau tidak?"
Yang ditanya tidak menjawab kali ini. Matanya sibuk melihat ke sekeliling jalanan yang dipenuhi pepohonan. Benar-benar khas nuansa pedesaan yang biasa diceritakan orang. Membosankan. Adalah kesan yang terfikirkan olehnya saat tau kehidupan barunya akan dimulai di sebuah kota kecil yang jauh dari kata modern. Semuanya serba sederhana. Bangunan, kendaraan, bahkan sampai kegiatan yang dilakukan orang-orangnya.
Kiara yang menyadari lawan bicaranya hanya diam, memutuskan untuk tidak melanjutkan sesi tanya-jawabnya. Padahal kepalanya sudah diisi serentetan pertanyaan, namun ia rasa belum saatnya dirinya tau tentang kehidupan orang itu. Mungkin nanti. Fikirnya.
Kakinya mengayuh pedal sepeda dengan sepenuh hati. Hingga beberapa menit berlalu, keduanya sudah tiba didepan toko roti yang dimaksud. Tentu saja Kiara langsung mengerti dengan tempat tujuan Si Penumpangnya karena di kota kecil itu, hanya ada satu toko roti yang memang baru dibuka beberapa hari yang lalu.
"Kau tidak mau turun?" Tanya Kiara.
"Aku tidak mau pulang." Balas anak itu dengan nada dingin yang cukup kentara di telinga Kiara.
Lalu mengapa apa kau meminta tolong padaku untuk mengantarkanmu, idiot??!
Si Gadis menggeram dalam hati, tetapi urung mengungkapkan kekesalannya. Kiara jelas enggan dicap tidak ikhlas membantu penumpangnya ini. Bisa-bisa Ochan dan para bibi pengasuh akan menceramahinya sepanjang sore.
"Lalu kau mau pergi kemana? Kau tidak tau jalanan di daerah sini, bahkan tadi kau tersesat. Sudah, sana, cepat masuk! Pasti orangtua mu sudah mencari mu."
"Berisik."
Anak itu turun dari sepeda Kiara. Tanpa mengucap apapun langsung berjalan begitu saja memasuki halaman rumahnya. Kiara terperangah melihat kelakuan anak itu yang benar-benar tidak sopan padanya. Bukan karena ia gila hormat, tapi Kiara terbiasa diajarkan tiga kata ajaib.

KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMER SNOWMAN
Teen FictionAwalnya, Kiara mengira ia hanya akan menghabiskan sisa hidupnya di panti asuhan bersama Ochan dan anak-anak lainnya. Ternyata sore itu ia tidak sengaja bertemu dengan Sean, Si Manusia Salju yang membuat Kiara terlibat terlalu jauh kedalam lika-liku...