Rembulan ditemani banyak kerlap-kerlip bintang membuat langit begitu indah. Angin yang berhembus terasa membelai tubuh walau telah tertutup oleh kain.Renjun duduk sendirian di rooftop rumah sakit bersama selang infus yang tertancap di nadinya. Paras cantik itu mendongak, menatap langit malam ini. Sinar bulan yang menerpa wajah membuatnya terlihat jauh lebih menawan.
Memeluk lututnya sendiri, Renjun bersandar pada tembok putih disebelah pintu masuk. Iris hazel itu dihiasi banyak titik cahaya sehingga nampak seperti ada galaksi di matanya.
Sejak dulu Renjun memang suka menghabiskan malam di depan jendela atau balkon kamar untuk menatap langit. Memikirkan banyak hal dan mempertanyakan suatu masalah.
–cklek
Pintu disebelahnya terbuka. Siluet pria bertubuh kekar yang memakai jas lab panjang menyapa penglihatan Renjun. Ia menoleh, menatap sang dokter yang tengah bersidekap dada.
"Bukankah sudah kubilang angin malam tidak baik untukmu?"
Renjun tersenyum simpul. Menggeser tubuhnya, memberi isyarat untuk yang lebih tua duduk di sebelahnya.
Lelaki dengan bentuk wajah ideal itu memutuskan duduk bersebelahan dengan sang pasien. Menarik nafas panjang, lalu ikut mendongak menatap bintang di atas sana.
"Kau tahu sudah lama sekali semenjak terakhir aku melihat bintang denganmu," ucap si cantik tiba-tiba.
Pupilnya membesar saat paras cantik si Huang terpampang jelas pada pengelihatannya."–dan aku pun mendapat kesempatan melakukannya lagi"
Deheman yang Renjun dapatkan. Tangan mungilnya terangkat, mencoba menghitung bintang yang menggantung di langit.
"Kau tidak akan mendapat apapun jika menghitung bintang sebanyak itu"
Masih dengan mulut yang berkomat-kamit, Renjun tersenyum simpul.
"Aku tahu, tapi setidaknya aku akan mencoba"
"Oh tunggu, sampai mana aku tadi?"
Ia mengulangi hitungannya. Tak peduli akan kekehan yang dibuat oleh lawan bicara.
"Kau masih sama seperti dulu"
"Hm, begitulah"
Sebuah senyum sendu terbit pada bingkai bibir yang lebih muda. Tatapan memujanya tiba-tiba berubah menjadi tontonan pilu. Dengan genangan yang mulai terbentuk, Renjun masih setia berkutat pada taksirannya."–aku masih sama bodohnya dengan yang dulu"
"Apa yang kau bicarakan?"
Renjun tersenyum lara. Berusaha keras untuk menahan air mata jatuh ke pipi, namun tepukan pada bahu sempitnya menghancurkan seluruh pertahanan.
Setetes, dua tetes, hingga Renjun dapat merasakan pipinya basah. Netra rubah itu terpejam merasakan elusan pada punggungnya.
"Aku– aku sangat bodoh membiarkan orang lain menyentuhku"
Derai air mata serta isakannya menghalau kalimat yang ingin keluar. Tangan kekar itu naik ke pipi Renjun.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK
DiversosSedikit cerita tentang Jung Jaehyun dan Huang Renjun yang berbagi masa mudanya bersama. ❝ Hanya ada Kamu, Aku. Kita ❞ 🗂 a Ficlet book 𝘽 𝙭 𝘽 : 𝙅𝙖𝙚𝙝𝙮𝙪𝙣, 𝙍𝙚𝙣𝙟𝙪𝙣 Copyright © 2O2O xxrenmyn