Setelah pertengkaran cukup hebat minggu lalu, Mingyu lebih berhati-hati dalam memperlakukan Wonwoo. Mulai dari berbicara hingga perlakuan, Mingyu berusaha sebisa mungkin untuk tetap manis di depan sang suami. Mingyu yang sedikit lebih tenang membuat Wonwoo pusing karena suaminya mendadak berubah hanya karena pertengkaran minggu lalu.
“Babbun! Jangan baik-baik sama aku, dong. Masa semua yang aku minta dikerjain gitu aja sih?” Mingyu hanya melayangkan senyuman manis dan mengecup hidung bangir sang suami yang saat ini masih terbaring malas di atas ranjang.
“Nggak apa, dong?” Mingyu melanjutkan acara mengupas mangga karena permintaan Wonwoo. Di jam sembilan malam tiba-tiba Wonwoo meminta mangga kupas dan dengan senang hati Mingyu melakukan sesuai perintah.
“Nggak boleh ya! Nanti aku nggak bisa marah sama babbun, soalnya babbun kelewat baik!” Mingyu terkekeh sekali lagi. Mangga potong dadu sudah masuk ke dalam mangkuk dan Mingyu mulai membersihkan tangannya sebelum memberikan mangkuk tersebut kepada Wonwoo.
“Pesanannya sudah siap!” Bukannya menerima dengan manis lalu mengucap terima kasih, Wonwoo malah berdecak sebal sembari mengerucutkan bibir gemas. Kedua tangannya mengusak kasar surai kecoklatan dan membuat tampilannya sedikit berantakan.
“Lho, kenapa? Ini aku bawain garpu kok, nggak makan pake tangan.”
“Enggak gitu, Babbun ... ” Wonwoo beranjak dari baringan lalu menarik Mingyu untuk terduduk di sebelahnya. “Babbun pasti capek, sekarang udah jam sembilan lebih, kan besok kerja?” Wonwoo mempersoalkan sikap lembut yang begitu janggal (meskipun tak terlalu) yang dilakukan sang suami.
“Babbun kan juga harus pergi sama Papa besok, buat ngomongin pembangunan kantor di sebelah rumah kita. Pasti besok lama banget dan Babbun harus udah tidur sekarang, biar besok nggak ngantuk pas ketemu Papa.” Ngomong-ngomong mengenai pembangunan kantor, sehari setelah pertengkaran hebat itu Mingyu merenungkan hal paling krusial yang tak pernah terpikirkan. Pekerjaan dan kesibukan seperti menjadi satu kesatuan yang melekat pada Mingyu, namun sekarang ia mempunyai Wonwoo, yang merupakan prioritas utama sumber kebahagiaan.
Mingyu sudah memikirkannya secara matang. Dan sehari setelah pertengkaran itu, dengan mengejutkan Mingyu mengirim surat pengunduran diri. Ia memutuskan untuk meninggalkan kantor yang sudah membesarkan namanya dalam empat tahun terakhir. Dengan pengunduran diri tentu Mingyu sudah memikirkan berbagai rencana yang akan ia lakukan ke depan; membuat galeri dan kantor independen.
Beruntungnya rumah Mingyu memiliki sisa tanah samping yang cukup luas, sehingga memudahkan dirinya untuk membangun kantor independen tempat di samping rumah.
Awalnya Wonwoo tak setuju, karena bisa jadi ini adalah keputusan jangka pendek yang Mingyu ambil. Namun, pria itu berhasil meyakinkan Wonwoo dengan kalimat-kalimat manis serta ajakan kerja sebagai asisten pribadi di kantor independennya kelak.
Kalau sudah seperti ini, tak ada lagi alasan susah bertemu karena Mingyu mewujudkan keinginan Wonwoo untuk melihatnya dua puluh empat jam.
“Biasanya tidur jam sebelas kok, Ay.” Tolak Mingyu. Tangannya kembali terulur untuk meraih mangkuk yang sebelumnya ia letakkan di nakas samping ranjang.
“Aku jadi nggak enak banget.” Wonwoo meraih lengan tebal itu dan menenggelamkan di sana. Lantas Mingyu kembali menaruh mangkuk dan kedua tangannya berusaha menangkup wajah Wonwoo. Kedua manik elangnya kini menatap lurus ke arah obsidian rubah Wonwoo.
Rasanya seperti baru pertama kali, padahal Mingyu selalu menyempatkan diri untuk menatap mata Wonwoo setiap hari. Kesibukan yang akhir-akhir ini melanda membuatnya melewatkan berbagai kesempatan untuk menganggumi ciptaan Tuhan satu ini.