Dalam minggu pertama di bulan September, Mingyu begitu disibukan oleh beberapa dateline dan pameran yang harus segera di selenggarakan. Selain ketua project, Mingyu juga bagian penanggung jawab atas semua pamerannya. Tentu ini bukan hal yang main-main, segala sesuatu jika di tangan Mingyu haruslah sempurna. Dari semua persiapan hingga revisi tiada akhir, Mingyu selalu memegang kendali atas hal itu. Sampai-sampai ia harus rela menghiraukan si manis yang sudah satu minggu belakangan ini merajuk manja.
Seperti saat ini, ia dirumah saja masih disibukkan oleh kegiatan kerjaan yang menggunung. Lagi dan lagi Wonwoo harus terbaikan dan itu membuat perasaannya tak senang.
“Lihat, udah seminggu aku nggak di sayang.” Keluh Wonwoo sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Melihat Mingyu dengan mata sinis di balik meja kerja. Si mata rubah tetap merajuk manja walau dalam hati sudah kepalang dongkol dengan sang suami.
“Babbun!” Panggilnya lagi karena Mingyu tak segera membalas keluhannya.
“Bentar ya ay, kamu kan tau aku lagi sibuk?” Tanpa mengalihkan arah pandang, Mingyu menjawab dengan nada yang super menyebalkan. Sebenarnya Wonwoo tak pernah mempersalahkan kesibukan Mingyu, hanya saja pria itu sudah pernah berjanji ─bahkan sebelum mempersunting─ untuk tidak membawa pekerjaan di dalam rumah. Namun sepertinya Mingyu tetaplah Mingyu, si pria yang penuh dengan kesibukan.
“Iya aku tau, tapi kan nggak seminggu juga akunya dicuekin, babbun?” Protesnya lagi. Wonwoo sudah tersumut emosi, Mingyu mengacuhkannya lebih dari dua-puluh empat jam saja Wonwoo sudah mengibarkan bendera perang, apalagi satu minggu? Mungkin yang terjadi adalah per─
“Kamu tau kan aku sibuk?” Mingyu menyentak dengan nada tingginya. Ia bahkan menghentikan sejenak kegiatan demi membalas ─atau lebih tepatnya, marah?─ ucapan sang suami. Dan sepertinya ini kali ketiga Wonwoo mendengar Mingyu menyentak dengan nada tinggi (Yang pertama dan kedua, jauh sebelum mereka menikah; lebih tepatnya saat pacaran)
“Aku tau, kamu sibuk. Bahkan dari dulu aku juga tau kamu sibuk. Tapi kenapa nggak ada waktu sebentar buat aku? Kamu juga nggak tau kan kalo aku seminggu ini selalu telat tidur gara-gara nungguin kamu? Kamu nggak ta─” Ucapan Wonwoo terpotong kala Mingyu berbalik menyahut.
“Iya, aku nggak tahu dan aku lagi nggak mau tahu. Denger ay, project ini project besar, aku nggak bisa istirahat sedikitpun kalo aku rasa project ini masih banyak kekurangan. Harusnya kamu paham dong sama aku?” Entah kepusingan seperti apa yang Mingyu hadapi saat ini sehingga berani menuturkan kata-kata demikian.
“Aku paham─”
“Kalo paham harusnya ngerti, bukan malah mengekang. Kamu pikir aku nggak capek, aku juga capek aku juga pengen istirahat. Tapi semua pekerjaan ini penting buat aku.” Potong Mingyu lagi. Mata Wonwoo sudah memanas, ia menahan amarah yang saat ini sudah menggebu-gebu di pucuk kepala. Tapi ia memilih menahan dan menahan.
“Terus, aku udah nggak penting ya?” Pertanyaan Wonwoo yang begitu menohok hingga ke jantung. Mingyu sempat diam sejenak dan enggan menjawab. Pertanyaan yang sungguh sulit.
“Aku udah nggak penting ya?” Ulang Wonwoo lagi.
“Sekarang mending kamu tidur.” Mingyu berbalik mendudukkan dirinya di kursi dan memilih menghiraukan Wonwoo.
“Oke, aku udah nggak penting lagi. Harusnya kamu nggak usah pulang sekalian, kerjain projectmu di sana. Ngapain jauh-jauh pulang ke sini buat nemuin orang nggak penting, iya kan? Jadi mending kamu pergi sekarang.” Ucapan Wonwoo yang kelewat pedas akhirnya menyentil ego Mingyu yang begitu tinggi. Pria itu tampak geram dengan ucapan sang suami. Baginya, Wonwoo sama sekali tak mendukung dirinya dalam pekerjaan ini. Mungkin juga sudah sering terjadi pertengkaran kecil di antara keduanya, namun semua selalu berakhir manis bak gula kapas. Tapi tidak untuk yang satu ini. Mingyu sepertinya kecewa.
“Oke, aku pergi.” Balasan singkat Wonwoo terima dan pria bermata rubah itu bisa melihat dengan bola matanya sendiri kepergian sang suami yang membawa semua dokumen pekerjaannya keluar dari ruangan.
Matanya memanas dan ia menangis.
Wonwoo kecewa pada dirinya sendiri, mengapa dengan mudahnya melontarkan kata tidak baik di tengah pertengkaran. Wonwoo memang sangat dimanja oleh Mingyu, pikirnya dengan mengucapkan kalimat itu Mingyu juga tak akan sakit hati. Namun ia salah besar, justru di waktu yang tidak tepat ini, kalimat fatal bisa menjadi bomerang.
“Babbun...” Lirih Wonwoo, ia beranjak dari ruang kerja Mingyu untuk menghampiri sang suami. Namun yang ia lihat malah pemandangan yang menyayat hati.
Mingyu sudah mengepak sebagian pakaian yang dibawa di tas ransel besarnya dan satu tas jinjing yang Wonwoo yakin berisi laptop dan dokumen penting Mingyu.
“Babbun...” Wonwoo tak bergeming, hanya saja ia masih mampu untuk melontarkan kata-kata itu.
“Mau kamu gini kan, Wonwoo? Aku pergi.” Wonwoo berani bersumpah, ini kali pertama Mingyu menyebut namanya dengan nada tekanan se-menakutkan itu. Wonwoo dibuat merinding sekaligus takut dengan aura yang terpancar. Seperti bukan Mingyunya, seperti bukan suaminya.
“Min─” Belum sempat melanjutkan, punggung lebar itu sudah menghilang secepat kilat. Bisa Wonwoo dengar suara mesin berderu, hingga samar-samar suaranya tak terdengar lagi.
Mingyu bersungguh-sungguh, ia pergi.
Mata Wonwoo kembali memanas dan sontak saja buliran bening jatuh dari mata rubahnya. Wonwoo menangis sejadi mungkin dan menyesal akan perkatannya. Ia kecewa, ia marah pada diri sendiri.
Ia hanya ingin yang terbaik, tapi mungkin caranya masih salah di mata Mingyu. Ia juga berusaha menjadi dewasa dan bisa mengimbangi kesibukan Mingyu. Namun semuanya sia-sia.
Wonwoo menangis begitu kencang hingga menyesakkan dada, beberapa kali ia harus menahan segukkan dan nyeri dada saat mengetahui ia menangis terlalu lama dan pada akhirnya ia beranjak menuju kamar mandi.
Wonwoo memiliki kebiasaan lama yang aneh. Ia suka merendam diri dalam bath-up jika merasa sedih. Ia bahkan dengan berani menyalakan shower yang mengguyur tepat pada badannya. Namun anehnya, Wonwoo juga sangat sensitif dengan suhu dingin. Dengan merendam diri dalam air dan berlama-lama di dalam kamar mandi sama saja ia memperburuk keadaan.
Mingyu tahu tentang hal ini, maka dari itu ia selalu berusaha menjaga mood Wonwoo agar suaminya tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Dan saat ini ia tak ada, seseorang yang selalu menjadi garda depan kebahagiannya. Ia tak ada di sini. Wonwoo menyesal, sungguh. Jika mesin waktu itu nyata, ia akan memutar kembali waktu dan pertengkaran ini takkan terjadi.
“Mingyu...” Dalam sedih ia bergumam. Tangan rampingnya menekan tombol shower di sana, dan ia melangkahkan kaki masuk ke dalam bath-up. Kakinya tertekuk, wajahnya tertunduk. Sekali lagi, ia menangis dalam kecewanya, berharap Mingyu datang untuk memberi pelukan hangat dan membisikkan bahwa ini semua mimpi,
tapi itu semua harapan semu.
Mingyu tetap tak di sini.
─tbc.