3. Si Dingin Yang Ternyata Doyan Nge-game

36 9 7
                                    

Aku nggak habis pikir dengan kelakuan Tari hari ini. Dulu ketika awal-awal kenal dia di XII IPA 1, aku menganggapnya sebagai anak yang dewasa dan selalu bisa diandalkan. Yah, maklum saja dia ini anak tertua dari 4 bersaudara. Belum lagi dia termasuk anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home. Mau tidak mau dia harus terlihat kuat di depan orang-orang yang dia sayangi.

Tapi, semenjak menikah dengan Mas Dani, sifat manjanya muncul. Kadang aku merasa kayak tidak mengenal sahabatku yang satu itu. Mungkin dengan Mas Dani dia bisa memperlihatkan hal-hal yang selama ini dia sembunyikan dan menjadi dirinya sendiri.

Memang sekarang sepertinya dia seperti anak kecil buatku karena sering minta macam-macam, tapi aku ngerasa dia lebih ceria. Matanya lebih bersinar saat berbicara dan wajahnya selalu merona.

Bahkan, dia bisa melakukan banyak hal mengenai mimpinya yang sempat putus di tengah jalan, yakni menulis dan membaca novel. Suaminya sendiri sangat memanjakannya dengan membelikan berbagai macam novel. Ah, benar-benar membuatku iri. Tapi, aku sendiri tidak suka membaca, sih. Kalau tiap bulan dikasih tiket nonton, sih, aku mau-mau aja.

Ngomong-ngomong soal koleksi novel Tari, sekarang aku lagi baca salah satunya nih. Dari sampulnya yang mencolok, aku nggak yakin kalau ini cocok sesuai seleraku.

Tidak sampai satu menit aku membaca halaman pertamanya, buku itu sudah terlempar di lantai. Gila! Gila! Gila! Masa bab pertama isinya begituan. Lelaki dan perempuan yang belum menikah sudah melakukan hal yang tidak pantas!

"Tari! Kamu punya buku aneh macam apa ini?!" ucapku sambil memeluk diri sendiri, masih terasa merinding di kulit karena teringat adegan yang dinarasikan pada buku itu.

"Kenapa teriak-teriak, Ter? Aku masih masak, nih, buat kita makan." Suara Tari mulai terdengar mendekat ke arahku.

"Tuh, bukumu isinya lucknut sekali bung!" Aku menunjuk ke arah buku yang terkapar begitu saja di lantai.

Sedangkan si empu yang punya buku hanya tertawa terbahak-bahak melihat responsku. Entah kenapa aku jadi merasa culun sekarang. Apa sebegitu polosnya aku di matanya? Hah! Ya Tuhan!

"Ester sayang, sekali-kali kamu harus baca kayak gini deh. Lumayan buat pengetahuanmu dan biar kamu nggak gampang dibodohi garangan di luar sana." Si calon mama muda itu malah mengelus-elus puncak kepalaku seperti anak kecil dan membuatku semakin mengerucutkan bibir.

Karena telanjur kesal, mataku langsung tertuju ke jam dinding. Ternyata sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Wah, harus sudah siap-siap kerja nih. Tapi, karena abis pulang kuliah tadi langsung ke rumah Tari, badanku bau asem. Akhirnya aku minta izin numpang mandi lagi. Hehe, kerjaanku memang numpang mandi di tempat orang ternyata, ya.

Setelah lima belas menit berlalu, aku segera pamit mengambil tas dan nasi goreng yang sudah disiapkan Tari untukku. Ketika kuangkat, tasnya jadi lebih berat dari sebelumnya. Hm, mungkin dia bungkusin nasi goreng agak banyakan karena tahu porsi makanku banyak.

"Tapi, nanti pulang tetep ke sini to? Kamu janji nemenin aku loh."

Aku hanya mengangguk saja dan segera menyalakan motor. Toh, aku memang sudah janji untuk menginap di rumahnya. Maklum saja seminggu ini suaminya sedang keluar kota dan dia sendirian. Ckck, pengantin baru sudah ditinggal kerja saja.

Setelah dari rumah Tari, aku segera menuju kafe sebelum kena omel Mas Satya lagi karena telat. Yah, itu sih karena keasyikan ngobrol dari pukul dua belas siang sampai setengah tiga tadi.

Tapi, sayangnya, ternyata kafe sedang sepi. Aneh aja jumat-jumat gini sepi, padahal besok weekend. Apa karena tanggal tua, ya? Bahkan, setelah aku menaruh tas di loker, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

Setelah melihat ke seluruh ruangan, rasanya ada yang aneh deh. Kok kelewat sepi? Kalau dari jadwal shift, Mas Adit dan Mbak Winda sudah pulang. Tapi, Mas Satya kok enggak kelihatan, ya?

Setelah masuk ke area pantry, ternyata Si Gondrong itu malah asyik main game. Setelah ku tengok, dia main Mobile Legend dong. Wah, akhirnya aku menemukan teman mabar! Selama seminggu ini bosen banget kalau kerjaan lagi longgar, tapi nggak tahu mau ngapain.

"Mas Saaat! Mabar yuk! Mumpung kafe sepi nih," teriakku akhirnya mengajak Mas Satya yang duduk di pojok ruangan.

"Emang main ini juga kamu?" ucapnya sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Ya, mainlah. Emang mukaku keliatan kayak anak yang suka game masak-masak apa?"

"Iya," katanya sambil mengangguk mantap yang membuatku berdecak kesal. "Udah-udah, buruan login sana. Mana ID mu biar langsung ku add. Untung belum mulai nih."

"Iya, iya, Ketua Bawel. Awas nek aku mbok tinggal."

Dari jawabannya itu, entah kenapa aku ngerasa Mas Satya enggak sedingin yang dibilang Mbak Winda. Mungkin Mas Satya hanya kurang bisa berekspresi saja dan mukanya jadi terlihat sangat-sangat-sangat dataaar! Karena nyatanya setelah diajak mabar seseru ini responsnya.

Setelah hampir setengah jam kami mabar, aku dengar suara langkah kaki dan panggilan dari Mas Gio. Sepertinya dia mau pinjam buku catatan. Langsung aja aku suruh ambil sendiri di loker, tapi kok perasaanku nggak enak ya.

"Ter?" suara Mas Gio.

"Ya? Gimana, Mas?" jawabku masih menatap layar ponsel.

"Kamu baca buku kayak gini, ya?"

Ha? Buku apa? Aku mulai menoleh ke arah Mas Gio yang membawa novel berwarna merah dengan gambar sampulnya seorang perempuan hampir dicium laki-laki.

Eh, lho? Kok buku itu bisa ada di sana? Seketika mataku melotot.

"Wah, jadi kamu punya buku kayak gini, Ter?"

"Mas, itu ada kesalahpahaman. Itu bukan buku saya. Saya, kan, nggak suka baca buku. Ngapain saya punya buku kayak gitu," kilahku dengan degup jantung tak beraturan.

"Yakin? Tapi, ini ada di tasmu loh. Oh, jangan-jangan kamu sukanya...."

"Enggak, Mas, enggak! Itu bukan punya saya. Balikin!" Langsung saja aku menerjang ke arahnya untuk mengambil buku itu. Sayangnya Mas Gio kelewat tinggi ketika dia mengangkat ke atas buku itu.

Ah, nasib! Ngapain juga sih bukunya Tari yang aku baca dikit itu nyangkut di tasku! Mana punya bos jahil banget lagi kayak Mas Gio. Ampuuun!

Apa jangan-jangan tasku tadi terasa berat karena buku ini? Ulah si Tari?! Oh my God, Tariii!

=================

Semarang, ditulis awal pada 6 Oktober 20.

Diperbaiki ulang 26 November 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang