8. Ketemu di Luar

18 3 3
                                    

Aku tidak tahu ini kabar baik atau kabar buruk. Tapi, menurutku baik sih karena akhirnya aku bisa libur. Soalnya hari setelah semalam digangguin chat Pak Bos, paginya beliau malah menyampaikan hari ini libur. Setidaknya aku ada waktu istirahat sehari.

Tapi, sayangnya kesenanganku tidak bertahan lama. Tiba-tiba chat Tari masuk dan mengajakku untuk nonton. Katanya ada film bagus yang lagi trending dan aku tidak boleh menolak menemaninya. Yah, lagi pula tiket nontonnya dibayarin dia sih. lebih baik jangan ditolak, kan?

Pantang hukumnya menolak rezeki. Hehehe.

Tapi, sesampainya di sana, aku benar-benar merasa zonk. Karena film yang akan Tari tonton kali ini adalah film bucin yang paling kubenci. Ya Tuhan, kenapa dari semua film yang harus dia tonton itu yang modelnya bebucinan begini, sih?!

Setelah masuk ke dalam studionya, aku cuma bisa ngabisin popcorn sambil minum cola. Benar-benar nggak minat dengan dua orang yang sedang bermain peran di layar.

Muak aku kalau harus membahas cinta dengan lawan jenis seperti di film Dolan 1990 itu. Seumur hidup yang kutahu hanya cinta kepada Ibu. Yah karena aku sudah tidak percaya lelaki. Tapi, kalau di sini, jelas aku hanya seuprit debu. Sarangnya bucin semua di sini. Apalagi Tari yang notabene sahabatku sendiri. Ugh!

Karena tidak tahan, aku langsung pamit ke toilet. Untung Tari mengiyakan, kalau enggak bisa gila aku duduk di bangku lama-lama. Bucinnya nggak ketulungan!

Setelah merasa nyaman di ruang tunggu bioskop, aku akhirnya membeli cola lagi kemudian tidak sengaja menyenggol seseorang.

"Loh, Ester?"

Yah, malah ketemu Mas Gio. Kenapa harus bertemu Pak Bos sableng yang satu ini lagi sih?! Apalagi setelah kuajak duduk ke deretan foodcourt, mukanya jadi senyum-senyum nggak jelas gitu. Menyeringai juga pula. Hih! Udah pasti nih bakal ada udang di balik bakwan. Males banget dah.

"Tumben ke bioskop? Biasanya kamu nolep," ujarnya yang membuatku dongkol. Astaga dikatain nolep dooong! Nggak terima aku, nggak terimaaa!

"Padahal kalau sore aku kerja di kafemu, masih juga dibilang nolep." Aku melengos sambil menyesap cola dengan khidmat.

"Karena kamu culun, nggak tahu tempat-tempat menarik di Semarang selain kafe tempat kerja dan kampusmu sendiri."

Tunggu, semalem aku udah bilang loh soal tempat-tempat menarik di Semarang. Kok dia lupa?! Serius beneran lupa?! Astagaaa!

Haish! Sekarang lihatlah wajahnya yang tertawa itu, dengan mata menyipit dan bibir tersenyum lebar. Untung ganteng, kalau nggak, sudah kubikin jadi perkedel.

"Mas Gio sendiri tumben nonton. Ke sini sama siapa?"

"With meee!" Itu suara Wandi, si bocah gondrong. Lah, kenapa nih anak tiba-tiba kencan berdua sama sepupunya sih? Terus, dengan seenak jidatnya mengagetkan dari belakang.

"Bocah somplak! Nggak usah kek jelangkung! Dateng-dateng ngagetin orang."

"Eh, buset. Gue dikatain jelangkung sama dia, Bang," ujar Wandi yang langsung duduk di sebelah Mas Gio.

Lah, mulai lagi nih anak ngomong Lu-Gue-nya. Padahal dulu kita udah janji sama Tari biar nggak ngomong gitu lagi biar membiasakan berbaur dengan masyarakat Semarang.

Sebelum aku menegurnya, Mas Gio udah nyeletuk duluan. "Lu emang jelangkung."

Ah, ternyata memang udah budaya di keluarganya gitu. Sangat-sangat anak Jakarta sekali mereka. Tapi, kok sama aku Mas Gio jawabnya pakai aku-kamu ya? Padahal kalau sama Mbak Winda dan mas-mas lainnya pakai saya-kamu. Ah, sudahlah.

Dan, seketika Wandi mengucap sumpah serapah karena Mas Gio setuju dengan pendapatku. Haha, rasakan!

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara Istari. Sepertinya film sudah selesai dan dia mencariku. Segera saja dia melihatku yang tengah melambaikan tangan dan menuju meja kami. Kemudian Istari pamit karena katanya sudah dijemput Mas Dani. Ah, dasar lelaki overprotective itu! Baru juga Istari keluar 4 jam dan itu juga bersamaku, bukan Wandi atau Haikal.

"Ter, kapan punya pacar? Nggak ngiri sama Tari tuh yang udah ada gandengan?" ucap Wandi sambil mencomot popcorn milik Mas Gio.

"Sesama jomblo dilarang ngatain!" Sontak saja kata-kataku membuat Mas Gio tertawa. Yah, ini kedua kalinya sih Mas Gio melihat kami berantem setelah sebelumnya di kafe ketika hari ke dua aku bekerja dan Wandi merecokiku.

Setelah itu aku bertanya apakah mereka jadi nonton atau tidak yang kemudian dijawab Wandi, bahwa Mas Gio tidak betah nonton film horor sehingga memilih keluar lebih cepat.

Wow, aku baru tahu kalau lelaki berbadan besar seperti atlet itu ternyata takut film horor. Padahal kemarin nonton Kisah Tanah Jawa enggak takut. Hm, apa Wandi bohong ya? Apa jangan-jangan dia yang takut nonton film horor?

"Hah? Takut film horor? Bukannya kemarin abis nonton Kis--- auuu." Ucapanku terpotong setelah kaki ini diinjak seenaknya oleh Mas Gio. Aku hanya bisa melotot ke arahnya yang memasang wajah tanpa dosa itu.

"Kenapa-kenapa? Gue ketinggalan apa?" Wandi menyahut.

"Oh, enggak kok, Wan. Lu cuma salah denger aja." Aku hanya bisa mendengkus mendengar perkataan Mas Gio.

"Oke." Wandi menyesap colanya. "Nah, karena udah kumpul nih, gimana kalau kita ke Taman Bermain?"

Ucapan Wandi barusan malah membuatku dan Mas Gio seketika tersedak.

======================

Semarang, awal ditulis 10 November 2019

diperbarui pada tanggal 30 November 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang