2. Terlambat

31 8 9
                                    

"Jangan lupa, ya, tugasnya dikumpulin minggu depan. Harus udah dalam keadaan lengkap. Kalau ada satu anak yang enggak ngumpulin, kalian harus kerjain dua kali lipat. Ngerti?!"

Mendengar omelan dari kakak tingkat yang memiliki tinggi 170an sm itu, semuanya serentak hanya mengangguk atau menjawab 'mengerti' dengan wajah lesu.

Aku nggak habis pikir, bisa-bisanya udah mulai masuk kuliah, tapi kating (kakak tingkat) masih juga memberi tugas yang berat-berat. Ringkasan visi misi lah, biodata dosen lah, tanda tangan seluruh angkatan lah, dan masiiih banyak lagi.

Apa mereka nggak ngerti sih tugas-tugas dosen udah menumpuk sepersekian gunung itu? Ah, tampaknya mereka tidak mengerti dan tidak akan mengerti sama sekali. Tiap hari saja hobinya hanya marah-marah dan ngebentak melulu. Sampai-sampai terlihat urat di sekitar kepalanya.

Nggak takut uratnya putus terus kena stroke gitu dan berakhir jadi nenek-nenek dan kakek-kakek di usia muda?

Ih, kalau aku sih ogah banget! Tapi, yang aku nggak habis pikir, tidak ada teman-temanku yang berani memberontak ke para kating rese itu. Bahkan, kemarin ketika ada dosen yang bertanya mengenai keadaan kami ketika mengikuti ospek ini, mereka hanya senyum dan bilang 'tidak apa-apa'.

Sampai setelah dosen tersebut pergi, aku Cuma mengerucutkan bibir sambil bertanya ke mereka, "Ck, apa kalian nggak bosen sih dengerin omelan laknat para kating kampret itu? Pengen banget tahu nggak aku sumpel mulut mereka tuh."

"Ya kalau kita lapor, nanti yang kena sasaran kita lagi dong, Ter," jawab Maryam.

"Nanti tugas ditambah lagi mau?" ujar Randy menimpali

"Maka dari itu, kita harus kerja sama menyelesaikan tugas ini, tiap anak ngerjain satu. Jadinya pas kan tiga puluh nomer." Kali ini Wandi yang gantian bicara panjang lebar dan disetujui oleh anak-anak.

Aku hanya bisa memutar bola mata melihat kelakuan mereka. Kenapa teman-temanku begitu baik Ya Tuhan. Apa salah mereka sampai-sampai harus bertemu para kating laknat itu?

Yah, karena mereka tidak ada yang berniat protes, aku hanya bisa memutar bola mata dan menghela napas. Sepertinya semester 1 yang akan kujalani bakal berakhir penuh drama. Semoga saja bukan drama seperti di sinetron azab atau ftv. Geli aja gitu bayanginnya.

Setelah semua selesai berkemas barang-barang, Wandi pamit sebentar hendak ke toilet. Aku menunggunya karena dia bilang ingin mengerjakan tugas bersama di rumahnya. Yah, rumahnya dekat sih dengan tempat kuliah. Maklum saja dia anak orang kaya yang bisa punya rumah di area elit.

Area perumahan di dekat kampus itu biasanya elit-elit karena terkenal dengan harganya yang cukup fantastis. Sedikit bocoran nih ya, di sekitar wilayah Undip ini kamu bisa dapat rumah dengan membayar 800 juta rupiah---sudah tertera di iklan gapura pintu masuk jalan menuju Undip gaes.

Setelah Wandi selesai dengan urusannya dari kamar mandi, kami langsung berangkat ke rumahnya menggunakan motorku. Dia sendiri tidak membawa motor karena tadi pagi diantar kakaknya.

Sesampainya di sana kami langsung disambut oleh Pak Darman---tukang kebun di rumah Wandi.

"Loh, Mas, pulang cepet hari ini?"

"Iya, Pak. Ini saya sama Ester mau bikin tugas dulu. Nanti sore dia kerja soalnya," ujar Wandi menjawab pertanyaan dari Pak Darman. Sedangkan aku hanya tersenyum ketika disapa oleh beliau. Ah, jadi ingat tiga tahun yang lalu saat awal-awal main ke rumah ini.

Setelah kami duduk di teras, tidak lama kemudian Pak Darman kembali membawakan minuman dan camilan. Wandi yang tadinya ingin mengambil sendiri sudah kalah cepat dengan beliau.

"Waduh, Pak, nggak usah repot-repot. Tadi Wandi mau ambil sendiri buat Ester."

"Enggak apa-apa, Mas. Lagian pasti Mas Wandi dan Mbak Ester capek habis selesai kuliah, jadi bapak bawain aja." Beliau tersenyum sambil menyerahkan nampan padaku.

"Kamu cuma kurang cepet, Wan. Salahmu sih enggak gesit kayak Pak Darman," ucapku sambil terkikik melihat Wandi yang malah melengos. Sungguh seperti anak kecil sahabatku yang satu itu.

Setelah Pak Darman pamit, kami segera mengerjakan tugas-tugas dari dosen dan para kating tadi.

Untuk tugas-tugas dari kating, setiap orang hanya mengerjakan 1 nomor, sedangkan dari dosen cukup banyak. Aku lumayan kewalahan dan berakhir meminta bantuan Wandi terus menerus.

"Wan, kamu pinter begini kok milih Jurusan Statistika, sih? Kenapa nggak lanjut tahap UM ke dokter? Bukannya dulu kamu pengin banget ke dokter ya?" ujarku karena penasaran dengan pilihannya.

"UM itu mahal. Aku masih bisa coba tahun depan biar harganya agak miring dikit, Ter. Lagian statistik juga seru ngitung-ngitung gitu."

Aku hanya bisa memutar bola mata melihatnya yang menjawab santai begitu sambil tetap fokus mengerjakan soal, sedangkan aku sudah mulai berasap mengerakan mata kuliah Kalkulus I ini.

Hah! Apa semester 1 ini akan berakhir baik ya? Karena kalau mengulang aku pasti akan bertemu dosen ini lagi. Ya Tuhan!

Saking fokusnya kami mengerjaka tugas, alarm ponselku berbunyi dan menunjukkan pukul 15.00 WIB. Mataku terbelalak melihatnya. Gila! Paling tidak aku harus sudah sampai rumah pukul 15.30! Aku bisa telat kerjaaa!

Saking bingungnya, aku segera minta izin ke Wandi untuk numpang mandi. Ya kali mau kerja badan masih bau asem gini. Yang ada pelanggan bakal kabur.

Kemudian dengan cepat aku mengecek seragam kerja yang ada di tas. Ternyata aku memang sudah membawanya untuk berjaga-jaga kalau pulang terlalu sore.

Setelah mandi selama 10 menit, aku segera pamit ke Wandi dan meluncur menuju Maxi Coffee. Semoga saja aku tidak telat ya Tuhan!

Sesampainya di sana ternyata aku ketinggalan briefing sore. Aduh, mati aku! Apa aku bakal dipecat? Padahal aku baru kerja di sini seminggu yang lalu Tuhan!

Aku masuk sambil menghindari tatapan menusuk seperti laser yang Mas Satya lemparkan padaku.

Lelaki berambut gondrong itu mulai melihatku dari atas sampai bawah. Untung saja tidak ada masalah dengan penampilanku hari ini.

"Bagus kamu sudah rapi, tapi kenapa telat, Ter?" Entah bagaimana pertanyaan itu terasa menusuk telingaku. Ya, aku memang salah sih.

"Sekali lagi saya mohon maaf, Mas. Saya mengaku salah. Hari ini saya lupa waktu mengerjakan tugas kuliah di rumah teman. Sekali lagi saya mohon maaf, ya, Mas." Aku menunduk sambil sedikit mencuri-curi pandang ke arahnya. Mencoba menerka-nerka ekspresinya yang kelewat datar itu menurutku.

"Oke, hari ini nggak masalah. Asal besok jangan diulangi lagi. Ingat tugasmu dan teman-teman yang lain. Kalau sampai telat, itu artinya tugas teman-teman jadi dobel, padahal sudah ada porsinya sendiri. Sekarang siap-siap kerja sana."

Sekali lagi aku hanya mengangguk dan langsung menuju loker untuk mengambil celemek. Di sana aku malah bertemu Mbak Winda yang sedang mengambil pel.

"Eh, Mbak, aku aja. Hari ini tugasku ngepel," ujarku segera mengambil peralatan pel dari tangan Mbak Winda.

"Aku kira kamu nggak masuk, Ter. Telat setengah jam soalnya."

"Biasa mbak, dari rumah temen bikin tugas. Lupas waktu." Aku hanya nyengir saja menanggapi perkataannya.

"Lain kali jangan lupa waktu lagi, ya. Tahu sendiri ketua tim kita itu ganteng-ganteng tapi galak," ucapnya sambil terkikik dan menunjuk ke arah meja pantry. Terlihat di sana Mas Satya yang sedang meracik minuman dengan tampang serius.

Aku hanya mengedikkan bahu. Ucapan Mbak Winda memang benar mengenai tampang Mas Satya yang cukup cogan itu. Meski tidak seputih Mas Gio, tapi perawakannya yang tinggi besar cukup banyak digemari para pengunjung wanita selama seminggu aku mengamatinya.

Namun, aku melihatnya cukup biasa saja. Mungkin karena dia bukan tipeku? Karena aku rasa, dia terlalu dingin dalam menghadapi seorang gadis. Semoga saja dia tidak jadi perjaka tua deh.

=============

Semarang, 26 November 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang