6. Kabar Aneh

13 3 2
                                    

Ck, aku nggak habis pikir. Bisa-bisanya para kating itu mengadakan kumpul mendadak tepat pukul tiga sore. Sedangkan setengah jam lagi paling tidak aku harus sampai di kafe. Argh! Bisa gila aku kalau gini terus.

"Dek, sebentar lagi kita ada acara makrab. Semuanya wajib ikut ya. Kita nanti seru-seruan bareng," ujar salah satu kating yang memakai kacamata.

Aduh, kenapa malam keakraban sih. Kalau gini, sih, harus izin dari cafe. Ya mana dapet duit kalau gini. Gaji hayati dihitung perhari woe, meski dibayarnya sebulan sekali. Keknya aku bener-bener harus izin saja deh daripada berabe nanti masalah di belakangnya.

Dengan jantung yang sudah dag dig dug seperti genderang perang, aku akhirnya mengangkat tangan sambil memanggil kakak itu. "Kak, saya izin nggak ikut boleh?"

"Loh, kenapa nggak ikut, Dek?" ucapnya sambil menghampiri tempat dudukku.

"Mau kencan, ya, Ter?" Seketika aku menoleh ke sebelahku ketika mendengar celetukan Wandi. Hah, bocah satu ini memang minta dicubit ginjalnya deh.

Daripada ngurusin si bocah nyeleneh, aku segera menjawab pertanyaan kating tadi. "Saya ada kerja sambilan, Kak. Jadi, tidak bisa ikut makrab."

"Apa nggak bisa ambil cuti, Dek?"

"Saya masih pegawai baru, Kak. Tidak bisa seenaknya ambil cuti. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dulu agar bisa ambil cuti, Kak," jawabku asal. Sebenarnya masih bisa ambil cuti memang, tapi aku lebih sayang uang daripada harus bertemu para kating sialan itu lagi.

Sudah hampir tiap minggu dibentak-bentak, terus selama makrab yang 24 jam itu harus melihat wajah mereka lagi. Hiiih, ogah!

"Nanti pakai surat izin ya, Dek. Terus kasih aja ke penanggungjawabmu."

Aku hanya mengangguk mengiakan saja. Yah, karen memang aku tak ingin kehilangan uangku. Aku cinta uang.

"Ssst, Ter, Ester," bisik Wandi di dekat telingaku.

Aku menoleh ke samping sambil memutar bola mata. Baru saja moodku naik karena tidak aka mengikuti makrab, eh, malah sudah diganggu oleh bocah kerempeng satu ini.

"Yakin nggak ikut makrab karena kerja? Bukan berduaan sama Mas Gio?"

Aku menaikkan sebelah alis, merasa aneh dengan kata-katanya. Wait, memang apa yang salah dengan bos nyentrik satu itu? Toh, aku berduaan juga karena kerja dengannya, bukan karena yang lain. "Aku nggak mudeng kamu ngomong apa."

"Yeee, malah pura-pura nggak tahu nih anak. Emang Mas Gio belum ngomong apa-apa sama dirimu?" Wandi yang gantian melemparkan pandangan penuh tanya malah membuatku bingung.

"Serius, aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Ya murni kerjalah. Dari SMA kamu tahu aku ini cinta uang." Ya, dan itu sangat mutlak. Tidak bisa dibantah.

Bagiku, selama masih bisa hidup sendiri dan mencoba hal-hal baru, uang tetap yang menjadi nomor satu. Yah, karena sedari kecil aku hanya hidup berdua dengan Mama.

Aku tahu bagaimana susahnya Mama membanting tulang sejak Papa meinggal. Belum lagi ketika Mama harus berurusan dengan bajingan yang ternyata menipunya dua tahun lalu.

Maka dari itu aku ingin menjadi kaya, hidup sendiri, dan melakukan apa pun yang aku inginkan. Aku tidak ingin menikah, karena nyatanya cinta tidak bisa memberi makan kita.

"Ya sudahlah. Mungkin dia belum berani," ujarnya sambil mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Dengan cepat kurebut rokok itu dan membuangnya.

"Ish, katanya udah nggak nyebat, kok masih nyebat aja."

"Pusing. Tahu sendiri tugas kita numpuk. Kating kampret memang mereka. Tugas dosen belum kelar, eh mereka nambahin lagi. Lama-lama balik clubbing lagi nih."

"Oh, kalau itu ajak-ajak dong. Ke tempat biasalah." Sesudahnya aku mengatakan itu, dia malah mendengkus.

Aku tahu benar kalau sahabat laki-lakiku ini tidak suka melihat temannya minum. Apalagi dengan kebiasaan burukku yang selalu meracau dan kalau aku sudah berkata seperti itu, ia pasti akan mengurungkan niat untuk main ke tempat lucknut itu.

Yah, karena sudah pasti aku akan menyusul dan ikut minum bersamanya. Mungkin kalian bingung bagaimana aku tahu dia berada. Tempat kami dulu sewaktu SMA masih nakal-nakalnya selalu sama. Sebuah club di dekat daerah Banjir Kanal Barat. Bahkan, aku juga pernah bekerja parttime di sana demi mendapatkan uang jajan.

Oh, dan jangan lupakan teman-teman balapan liar kami dulu akan selalu melapor kalau Wandi kembali main ke sana.

Mungkin aku terdengar seperti pacarnya, tapi aku murni menganggapnya sebagai kakak. Aku tidak ingin ia kembali ke tempat seperti itu. Kembali pada masa-masa terkelamnya ketika sekolah.

"By the way, Wan, aku pulang dulu. Telat kerja nih," ucapku sambil menepuk bahunya. Ia hanya melambaikan tangan, lalu berlalu bersama rombongan kelompoknya. Sedangkan kelompokku sudah pamitan dari tadi karena tahu aku tidak bisa ikut menyiapkan pentas makrab.

***

Sesampainya di cafe, kulihat pelanggan cukup lengang. Sedangkan ketiga rekan kerjaku masih berbincang-bincang santai. Saat aku ingin menghampiri mereka, ada sebuah tangan menepuk pundakku.

"Ter, baru sampai?"

Ah, kenapa harus bertemu dengan suara ini di awal waktu bekerja sih. Ya, siapa lagi kalau bukan suara Pak Bos tercinta.

Cepat-cepat aku membalikkan badan dan memberikan senyuman terbaik. Yah, walau sejujurnya senyuman ini lebih mirip cewek judes.

"Ah, iya, Mas. Maaf saya sedikit terlambat karena ada kumpul ospek tadi. Saya sekali lagi mohon maaf."

Aku hanya menunduk dan tidak ada suara apa pun darinya. Kemudian aku mendongak dan melihat gerakan jarinya yang menyuruhku mengikutinya. Hah, mau ke mana nih?

Lalu, kami sampai di kamar mandi wanita. Mas Gio menyuruhku untuk langsung bersih-bersih. Aku sebenarnya cukup kaget karena baunya rada mirip dengan toilet lelaki ketika sore hari. Padahal biasanya toilet wanita akan terlihat lebih bersih.

"Bersihin sekarang, nih, Mas?"

"Iya, masa besok? Oh iya, setelah ini minta Satya menghadap, lalu bawain dua minum ke ruangan atas kayak biasa."

Yah, aku hanya mengangguk-angguk saja. Lagian memang sering sih aku disuruh-suruh gini sama Pak Bos satu itu.

Makanya aku juga bingung gimana bisa si Wandi ngomong aku berduaan sama dia. Hiiih, nggak mungkin banget. Amit-amit, deh, ah. Sifatnya saja kadang bisa berubah sewaktu-waktu. Sore ini bossy, malamnya friendly, Minggu pagi bisa nyebelin---karena aku ketemu dia pagi-pagi hanya di hari Minggu.

==============

Semarang, 28 November 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang