7. Tanda-tanda

10 3 0
                                    

Ah, aku bosen banget abis dari bersih-bersih dan nganter minuman, berasa kek nggak ada kerjaan apa-apa. Paling-paling cuma bikin jus atau kopi yang gampang kayak espresso. Yah, espresso memang kopi pahit sih.

Hari ini pelanggan enggak seramai biasanya, bahkan tukang ojek online yang biasanya selalu pesan juga tidak banyak yang datang. Apa gara-gara ini ya Mas Satya dipanggil Pak Bos ganteng yang satu itu?

Mungkin daripada bosen, seharusnya aku ngajak ngobrol Mbak Winda saja yang keliatannya dari tadi kebingungan melihat ponselnya.

"Lagi ngapain, Mbak?" Mendengar suaraku, Mbak Winda sediki terlonjak. Ah, mungkin langkah kakiku enggak kedengaran sama sekali baginya.

"Enggak kenapa-napa kok. Cuma lagi bingung aja milih hadiah yang cocok untuk laki-laki." Wajahnya terlihat memerah hingga mencapai telinga ketika mengatakan 'hadiah'. Wah, ada apa ini? Sepertinya Mbak Winda lagi kasmaran nih. Duh, Mbak loli-ku yang satu ini kok lucu sekali ketika jatuh cinta.

"Kalau itu aku kurang tahu, jarang banget aku ngasih hadiah ke sahabat laki-lakiku. Paling mentok cuma nraktir dia makan kalau ulang tahun. Memang usianya berapa, Mbak? Gayanya kayak apa? Mungkin aku ada sedikit gambaran."

Sebelum Mbak Winda membuka mulutnya, Mas Adit sudah keburu nyamber duluan untuk menjawab pertanyaanku. "Yang pasti tinggi, coklat manis gitu, dan kaku. Makanya si Winda bingung tuh nyari hadiah yang cocok."

Kemudian Mbak Winda hanya melengos menanggapi jawaban Mas Adit.

Tapi, aneh. Kenapa ciri-cirinya mirip sih dengan seseorang yang sepertinya aku kenal. Tinggi, coklat manis, dan kaku. Kalau ditambah agak gede dikit, makin mirip sama Mas Sat....

"Eh, kok ciri-cirinya mirip banget sama Mas Satya? Kalau gitu, harusnya Mbak Winda tanya aja dong ke dia." Mendengar perkataanku, Mbak Winda malah menumpukkan kepalanya ke meja pantry. Sedangkan Mas Adit menahan tawa hingga tubuhnya berguncang-guncang.

"Kenapa sih? Bukannya bener harusnya tanya ke dia? Mungkin aja seleranya sama."

"Ter," panggil Mas Adit yang masih berusaha meredakan tawanya. "Kamu kelewat polos apa lagi nggak peka sih? Duh, sakit perut nih."

"Hadeee, aku itu bener-bener nggak tahu," ucapku sambil memukul lengannya. Emang ada yang aneh sih, tapi aku beneran nggak konek maksud mereka apa.

"Beneran nggak peka kamu, Ter. Kasihan amat ntar yang suka sama kamu ngode mulu tapi mental." Aku semakin melongo dengan perkataannya. "Yang disukai Winda tuh ya si Satya. Dasar cewek polos kamu, Ter."

Aku akhirnya hanya ber-oh ria saja. Tapi, memang dari tadi kepalaku isinya hanya tugas, kerja, tugas, kerja, dan terus berulang. Mungkin selama ini aku Cuma sebagai pengabdi pekerjaan saja. Calon-calon cewek workaholic.

Tapi, aku bingung. Apa sih yang disukai Mbak Winda dari Mas Satya? Kalau hanya dari wajah, emang lumayan good looking sih. Hanya saja cenderung ke arah hitam manis ketimbang.

Cuma kalau dari sikapnya, jujur saja aku kurang suka. Kalau tidak diajak ngomong duluan, Mas Satya akan diam sepanjang hari. Kecuali kalau urusan kerjaan beda lagi sih. Dia adalah orang yang paling gercep. Benar-benar sangat cekatan.

Aku kalau belajar teknik-teknik menyeduh kopi dan menyajikan kopi juga selalu dari dia. Pembimbing yang baik memang dia. Pantas kalau dijadikan pemimpin keluarga.

Eh, loh, kok ngomongku ngaco banget sih sampai ke sini. Padahal yang lagi kasmaran itu Mbak Winda, kenapa aku jadi ikut-ikutan, ya?

"Ehem." Suara dehaman terdengar dari belakangku. Langsung saja aku berbalik badan dan lanjut mengelap gelas. Ternyata itu suara Mas Satya. Kemudian kulihat Mas Satya langsung mengajak Mas Adit pergi.

"Mereka mau ke mana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Winda ketika mereka sudah menjauh.

"Paling ke tempat agen yang biasanya nyetok buah. Tapi, entahlah. Aku lagi bingung nih. Tadi Mas Satya denger nggak ya kita bicara apa?"

Aku hanya mengangkat bahu saja, sedangkan wajah Mbak Winda terlihat uring-uringan. Ah, jatuh cinta memang merepotkan sekali bukan? Semoga saja aku tidak jatuh cinta seperti itu, atau aku malah tidak ingin jatuh cinta sama sekali.

***

Sesampainya di rumah, aku cuma bisa bengong. Enggak tahu harus berkata apa dengan kejadian tadi sore. Mungkin sebaiknya aku segera membuat tugas dan surat izin untuk makrab daripada mikir nggak jelas begini.

Sebenernya, aku kepikiran juga sih. Rasanya jatuh cinta itu seperti apa? Maklum saja selama 19 tahun hidup, aku belum pernah merasakan jatuh cinta sama sekali.

Apa terlalu seram? Apa akan jadi bodoh karena pepatahnya love is blind? Tapi, sepertinya perasaan terlalu menggebu-gebu seperti Mbak Winda tadi sangat tidak mengenakkan.

Aku benar-benar tak ingin sepertinya. Sangat-sangat tak ingin!

Di tengah lamunanku, ponsel tiba-tiba menyala hingga aku tersadar. Terlihat foto dan nama yang tidak asing di sana. Aku cukup speechless begitu tahu Pak Bos mengirimi chat malam. Isinya menanyakan rekomendasi tempat nonkrong di Semarang.

Kalau tempat nongkrong, aku hanya tahu beberapa kafe, club, dan mall. Selain itu, aku tidak terlalu tahu banyak tempat menarik. Lagian, kenapa sih tanya tempat-tempat kayak gitu malem-malem gini? Mau ngajak kencan pacar atau gimana? Mbok ya tanya besok masih bisa sih.

From Ester
To Gio
[Kalau tempat-tempat menarik, coba deh tanya sendiri ke Wandi. Saya nggak tahu banyak wisata alam. Jarang main ke luar.]

From Gio
To Ester
[Lah, culun juga kamu. Percuma dong aku nge chat kamu malem-malem.]

From Ester
To Gio
[Salah siapa situ tanya ke saya. Tujuan saya tiap hari itu cuma kuliah, kerja, rumah. Dah, ya, Mas. Saya mau tidur dulu. Besok ada kuliah pagi.]

Dan, pembicaraan kami berakhir begitu saja. Lagi pula aku juga sudah capek kalau harus meladeninya malem-malem.

==========

Semarang, 29 November 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang