5. Orang Aneh

22 6 6
                                    

Sudah satu jam aku bolak-balik buku bacaan tentang Algoritma dan Pemrograman untuk Statistika.. Tapi, tidak ada materi yang masuk sama sekali ke dalam otak. Hah, padahal tugas harus dikumpulkan besok Senin. Sedangkan hari Minggu aku ada shift pagi.

Entah kenapa aku kepikiran dengan kata-kata Mas Gio mengenai tampangku yang lebih cocok masuk ke Perhotelan. Lalu, aku mengambil kaca dan mematut diri. Terlihat wajah yang tirus, rambut sedikit bergelombang sebahu, mata sipit, dan kulit yang putih.

Apa karena kulitku yang putih? Atau mukaku yang terlihat seperti mbak-mbak sales mobil? Itu loh mbak-mbak yang biasanya pakai rok pendek dan kulitnya semulus pantat bayi. Dan, yah gayanya sedikit menggoda begitu. Hiiih, aku geli sendiri bayanginnya.

Tapi, perasaan perhotelan enggak begitu deh. Mereka ramah dan rapi, juga sangat santun. Tapi, kelakuanku, kan, blangsak begini. Gimana bisa disamain dengan para mbak-mbak ramah itu?! Dasar pak bos tukang cocoklogi!

Aku sebenarnya masih merasakan sisa-sisa rasa nggak nyaman ketika dia menyentuh pergelangan tanganku tadi. Rasanya seperti sia-sia saja aku menghindari cowok selama tiga tahun hanya dengan sekali sentuhan itu. Benar-benar mau pingsan rasanya.

Tiba-tiba aku teringat Wandi yang dulu hampir kuhajar karena menyentuh tangan ini juga. Tapi, posisinya aku tidak tahu kalau itu Wandi. Soalnya dia tidak menghubungiku sama sekali ketika berkata ingin pindah.

Mungkin sebagian dari kalian akan berpikir kalau tindakanku berlebihan hanya karena pernah terkena rape, lalu trauma sampai sekarang. Sayangnya hal itu nyata adanya. Bahkan, aku belum pernah cerita ke Tari sama sekali sehingga aku cukup kaget membaca novel miliknya.

Yah, sepertinya aku harus maklum karena sekarang dia sudah bersuami. Jadi, fantasi liar Tari tidak masalah jika ingin dilampiaskan kepada pasangan sahnya. Sedangkan aku hanya single yang merasa jodohku belum lahir.

Ah, sudahlah, dari mikirin Mas Gio malah tugas kuliahku enggak jalan sama sekali. Bisa-bisa aku dapat nilai C nanti. Ugh, bahaya banget tuh buat anak bidikmisi kalau sampai dapat C.

Tapi, jujur saja aku merasa Mas Gio malah jadi lebih dekat denganku dibanding dengan Mbak Winda. Padahal Mbak Winda masuk lebih dulu daripada aku. Ah, mungkin hanya masalah waktu. Setidaknya aku harus cepat tidur sekarang.

***

Paginya, aku berangkat ke kafe dengan langkah yang ringan. Aku merasa habis melakukan sesuatu yang bermakna kali ini. padahal kalau dipikir-pikir, aku cuma mengerjakan tugas lebih pagi saja karena tidak bisa tidur dengan tenang.

Sesampainya di kafe, aku melihat Mas Adit dan Mbak Winda sedang bercengkrama sambil tertawa-tawa. Karena aku penasaran, aku langsung mendekati keduanya yang ternyata dengah membuka foto Mas Satya sedang tertidur dan penuh coretan.

Pffft, lucu sekali ya Tuhan!

Mukanya yang memerah itu tiba-tiba terlihat imut di mataku. Belum lama aku menatap fotonya, Mas Satya tiba-tiba berdeham di sebelahku membuat Mas Adit dan Mbak Winda langsung terdiam. Bahkan, aku segera melipir ke tempat yang aman.

"Orderan udah diantar?" tanya Mas Satrya.

"Udah dong, Sat," jawab Mas Adit dengan memamerkan senyum lebarnya. "Hei, Bro, jangan kaku gitulah. Lagian mukamu di foto itu masih terlihat ganteng kok. Ya, kan, Win?"

Mbak Winda yang sedari tadi pura-pura mengelap gelas, langsung kikuk mendengar omongan Mas Adit. Ia buru-buru mengangguk dengan muka yang sudah kelewat merah menurutku. Sedangkan Mas Adit hanya tertawa, padahal Mas Satya sudah melemparkan wajah masam padanya.

"Udah, Dit, kerja. Jangan main terus dan kamu, Ter, ikut saya. Waktunya belajar bikin latte."

Mendengar itu, aku buru-buru mengikuti Mas Satya ke pantry. Sedangkan Mbak Winda pamit padaku ke belakang untuk mengambil alat pembersih kaca, lalu Mas Adit mengikutinya dari belakang. Ah, benar sih, hari ini jadwal mereka bersih-bersih pagi. Kalau aku nanti sore.

***

Untuk kedua kalinya aku latihan cara membuat latte art. Setelah membuat susunya agak sedikit mengental seperti foam, aku coba menuangnya pelan-pelan ke dalam kopi pahit alias espresso.

Gila, tanganku sampai gemetaran karena megang cupnya susah banget, sambil diputar-putar gitu menuangnya. Ketika gelasnya udah sampai setengah, aku segera mulai bikin corak khasnya dan....

"Uwaaa, ah, ambyar udah coraknya." Aku hanya bisa menghela napas.

"Tenang aja, Ter. Aku jagain kok. Ini baru percobaan kedua. Biar jago, kamu perlu coba berkali-kali tahu," ujar Mas Satya sambil membantuku membereskan tumpahan susu dan kopi di lantai pantry.

"Emang dirimu udah coba berapa kali, Mas?" Aku meliriknya sambil mengelap meja yang juga terkena tumpahan kopi.

"Mungkin sekitar 10 atau 15 kali. Tanya aja sama Mas Adit atau Mas Gio. Aku diajarin langsung sama mereka."

"Wow, enak banget diajarin 2 orang. Gimana tuh rasanya diajarin 2 masternya, Mas?" Meski posisi Mas Satya lebih tinggi dari Mas Adit, tapi keahlian lelaki berhidung bangir itu memang melebihi ketua kaku kami.

"Yah, grogi sih, tapi aura mereka menekan banget pokoknya. Sampai para penjagaku pada ngetawain karena aku takut sama mereka."

Hah, penjaga? Maksudnya? Aku cuma bisa mengernyitkan dahi mendengar ceritanya. ini kok rasanya agak-agak horor gitu ya. Aku nggak salah nebak, kan, ya?

"Ya, penjaga. Setiap manusia itu ada penjaganya. Mas Adit ada satu tuh. Kamu dan Mas Gio nggak ada, tapi kalian rajin ibadah kayaknya. Soalnya meski tanpa penjaga, aura kamu dan Mas Gio bagus."

Aku cuma bisa diem dan mengangguk-angguk aja. Soalnya berasa kayak ada hawa mistis nggak jelas begitu dia cerita soal penjaga. Duh, Tuhan, lindungi hambamu ini! Hamba tidak ingin mati muda bersama ketua aneh ini Ya Tuhan!

================

Semarang, awal ditulis 07 Oktober 20

Ditulis ulang 28 November 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang