1. Pertemuan

46 11 23
                                    

Selasa, 1 Oktober 2018

Untuk Calvin-ku tersayang.

Hai, Vin? Apa kabar? Sebenarnya aku tidak perlu menanyakan kabarmu, toh kamu bukan manusia. Aku hanya kangen ngomong panjang lebar sama kamu lagi, mumpung ada kesempatan hari ini.

By the way, hari ini pertama kali aku masuk kuliah. Agak canggung memang mengenal orang baru apalagi harus dekat-dekat dengan laki-laki. Beruntungnya ada Wandi, tapi aku sebel lihat bocah itu lagi.

Jadi, awalnya dia tuh bilang kalau nggak bakal masuk ke Undip. Kalaupun masuk, jurusan yang bakal dia ambil itu kedokteran. Secara dia jenius IPA di kelas dulu. Nilai-nilainya selalu dapat seratus! Sampai-sampai pernah kukatain otak robot AI saking jeniusnya.

Eh, tahunya... dia gagal dong masuk kedokteran. DAN, MASUKNYA KE JURUSAN GUE!

Ups, sorry! Lagi-lagi aku ngomong pakai logat Jakarta padahal udah janji ke Tari biar nggak ngomong gitu lagi. Hehe. Maaf, ya, Calvin!

Ehm, ralat! Sebenarnya ini bukan hari pertama aku masuk kuliah. Lebih tepatnya ini hari pertama di bulan ini aku masuk kuliah. Hehe.

Aku jenuh, Vin. Ternyata kuliah nggak seindah yang aku bayangkan. Terutama ospeknya ya. Ospeknya gila sumpah! Udah dimarah-marahin katingnya, tugasnya seabrek, dan masa orientasinya lanjut sampai satu semester!

Yang lebih nyebelin lagi! Duit jajan makin menipis karena tugas-tugas ospek yang menyebalkan itu. Masih untung sih aku bisa makan karena nggak ngekos. Yah, tugas semacam fotokopi lah, beli ini lah, beli itu lah, dan blablablabla.

Oke, aku udah nggak kuat lagi. Pengen mati rasanya astaga! Ya gimana ya? Minta duit sungkan, nggak minta duit tugas-tugas nggak kelar.

Mungkin ini yang dirasakan para temanku yang ngekos. Mereka selalu bilang gini, 'Minta duit gengsi, nggak minta duit mati.'

Akhirnya aku minta bantuan Wandi untuk cariin solusi. Si bocah tengil itu ternyata ada gunanya juga.

Aku direkomendasikan dia untuk mendaftar kerja part time di Maxi Coffee. Katanya, kafe itu punya saudara dia. Well, mau nggak mau ya daftar juga deh. Tempatnya nggak jauh dari rumahku ternyata. Tepatnya di Kota Lama. Lumayan sih kerja jadi jalan kaki biar tambah langsing. Walau sebenarnya aku kurus kerempeng kalau kata Tari.

Di Maxi Coffee itu, aku ketemu sama seorang laki-laki. Putih, tinggi, dan matanya sipit. Ah, iya, ada tato di tangan kanannya dan juga anting di telinga kirinya.

Itu serem, cuk! Sumpah!

Begitu dia datang, dia langsung meminta berkas-berkas yang kubawa.

"Boleh lihat berkasnya?"

Aku langsung saja membuka tas selempang dan mengambil map jingga yang berisi fotokopi KTP, ijazah terakhir, dan CV. Aduh, tinggal buka ketiga surat itu kok rasanya tanganku gemetar ya. Payah!

"Boleh lihat KTP aslinya?"

Begitu laki-laki itu minta lagi, aku langsung membuka dompet yang hanya berisi recehan lima ratusan 3 keping, mengambil KTP di sana, dan memberikannya kepada orang itu. Sungguh dompet yang kelaparan. Tenang saja dompetku, Tuhan sebentar lagi akan memenuhi isimu kok. Sabar ya. Hiks.

"Ester Adreanna, lulusan SMA Panca, umur 18 tahun." Dia mulai mengangguk-anggukkan kepalanya sambil membaca berkas tersebut kemudian mulai menatap ke arahku lagi. "Kamu temannya Bagas, ya?"

"Ha? Bagas? Maaf, siapa?" Kenapa orang ini nyebut nama Bagas? Siapa sih? Emang aku kenal?

"Bukannya kamu direkomendasikan sama dia untuk masuk ke kafe saya?"

E buset! Ini kafe dia? Demi apa! Mampus, ini tangan jadi makin gemetar gara-gara dengar itu. Duh, tahan Ester. Tahan!

Eh, tapi tunggu dulu. Bagas? "Maksud, Bapak, laki-laki yang bernama I Nyoman Iswandi Bagaskara?"

"Nah, itu tahu. Temen sendiri masa dilupain. Oh iya, jangan panggil bapak. Saya masih 25 tahun," ujarnya sambil menggulung lengan kemeja putihnya. "Kenapa kamu mau kerja di sini?"

Haha... dua puluh lima tahun to. Aku kira dia seumuran Mas Dani, suaminya Tari. "Ehem, saya butuh biaya untuk kuliah saya, Mas...." Eh, iya, aku belum kenalan sama si Mas-nya.

"Gio, Gio Ezra Dhananjaya. Kamu santai aja sama saya. Terlalu gugup bikin kamu lupa kenalan, kan, sama saya? Padahal saya calon bos kamu loh."

Haha, aku cuma bisa nyengir dengar kata-katanya. Penampilanmu yang bikin takut aduh calon bosku yang ganteng bin sangar ini!

"Memang kamu kuliah dari jam berapa sampai jam berapa? Memang bisa nanti bagi waktu kerja sambilan di sini?"

"Saya sudah tanya ke Wandi kalau di sini mulai buka jam empat sore sampai jam sepuluh malam. Saya kuliah dari jam tujuh sampai jam tiga. Begitu pulang, nanti saya akan langsung ke sini."

"Lalu ekspektasi gajimu berapa?"

Waduh, pertanyaan pamungkas. Kalau kata Wandi, jangan dijawab pakai angka. Terus jawab pakai apa dong? Si dodol satu itu kagak ada gunanya emang. "Ehem, sesuai dengan standar kafe saja," ucapku akhirnya. Semoga diterima, semoga diterima!

"Sebenarnya kafe ini buka dari pagi sampai malam mengingat lokasi kita di tempat wisata. Tapi, karena kamu part time, apa dengan gaji segini cukup untuk satu bulan?" Dia memperlihatkan deretan angka di ponselnya senilai 1,5 juta rupiah.

Astaga! Itu lebih dari cukup untuk sebulan. Yang penting nggak usah jajan. Toh, kuliah udah dibayarin bidikmisi. Hoho, makasih Tuhan!

"Jadi, gimana?"

Duh, aku malah melamun setelah lihat deretan angkanya. "Ya, segitu cukup kok, Mas."

"Besok kamu langsung datang aja ke sini jam empat buat tanda tangan kontrak part time dan mulai training. Di sini minimal 3 bulan, nanti bisa diperpanjang setelah kamu lulus prosedur yang ada. Pakai kemeja putih dan bawahan hitam. Boleh pakai celana jeans."

"Baik, terima kasih, Mas. Saya akan usahakan. Sekali lagi terima kasih."

Dan, begitulah cerita singkat tentang aku yang diterima kerja. Tadi adalah hari ke 3 aku bekerja di sana. Tapi, anehnya, si bos nggak kelihatan lagi batang hidungnya. Apa aku bakal ketemu lagi, ya? Semoga aja enggak deh. Siapa tahu dia punya cabang lain selain di Kota Lama? Jadi, biar aku nggak ketemu dia lagi.

Segini dulu deh aku cerita ke kamu tentang pengalamanku, Vin. Lain kali kita bicara lagi. Aku mau tidur, besok ada kuis dari Pak Dosen Killer.

Salam Cinta,

Ester Adreanna.

=====================

Semarang, 19 April 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang