4. Hampir Saja

31 6 9
                                    

Huh, akhirnya bisa istirahat juga. Hari Sabtu malam memang terbaik deh, pelanggan selalu ramai sampai pukul 23.00 WIB. Setidaknya enggak kayak kemarin yang sepi melompong. Dan, sekarang sudah tengah malam sehingga aku bisa pulang ke rumah, pengen buru-buru rebahan sambil nonton The Untamed.

Baru aja selesai bersih-bersih loker, aku denger suara tawa cekikikan. Mana kenceng banget lagi suaranya. Dengan perlahan, aku cari asal suara itu yang ternyata berasal dari salah satu meja tamu.

Begitu melihat Mas Gio duduk di sana sambil nonton sesuatu di ponselnya, aku hanya bisa cemberut sambil menepuk pundaknya dengan sekumpulan kunci pintu belakang kafe.

"Tak kira apa, tahunya lagi nonton kisah tanah jawa to. Huuu, ngaget-ngagetin aja." Aku hanya bisa bersungut-sungut kesal mendengar suara ponselnya yang terlalu kencang itu.

"Hooo, kamu takut, ya, Ter?" ujarnya sambil menaikturunkan alis dan menerima kumpulan kunci itu.

Yaelah, punya bos umur 25 tahun, tapi kelakuan kok nyebelin gini sih. Andai dia bukan bosku, sudah pasti sepatu ini akan melayang cantik mengecap mukanya itu. "Siapa yang bilang? Lagian ngapain, sih, malem-malem bukannya pulang malah nonton gituan."

"Ini tuh kisah horor bagus banget, Ter. Nyeritain tentang asal usul Wewe Gombel, Ter. Kamu kudu ikutan nonton sama aku." Ditariklah aku duduk di sebelah Mas Gio, sedangkan aku sudah meringis-ringis denger suaranya. Jumpscare-nya Ya Tuhan! Oh Yesus, kalau aku mati di sini tolong seret Mas Gio ke neraka karena secara tidak langsung dialah yang membunuhku!

Sambil melek merem, sedikit-sedikit aku dengar Mas Gio mulai bercerita. "Dulu, kakekku sering banget cerita soal sejarah jawa. Mulai dari mitos-mitosnya, raja-rajanya, sampai perang dengan zaman Belanda seperti apa. Sampai-sampai aku bosan kalau kakek nggak sengaja mengulang cerita yang sama. Yah, maklum sudah tua, udah mulai pikun. Katanya sih biar anak-cucunya enggak lupa dengan sejarah jawa. Katanya juga, sih, biar aku nggak lupa kalau masih punya darah jawa walau lahir dari ayah Tionghoa tulen. Haha. Ada-ada aja ya."

Melihatnya bisa bercerita panjang lebar begitu, aku hanya diam saja. Yah, setidaknya jadi mengurangi unsur jumpscare pada tayangan di ponselnya itu.

"Jadi, meski aku oriental banget kayak gini, aku masih ada keturunan jawa loh."

"Iya, iya, Jacin. Udah, ah, saya mau pulang. Keburu ditelpon Mama ntar." Aku hanya mengangguk-angguk saja dan segera melipir karena sudah nggak tahan dengan suara di ponselnya.

"Eh, tunggu! Aku anter ya!" ujarnya cepat-cepat mematikan ponsel dan merapikan kursi yang ia buat duduk tadi.

Astaga, ngapa pula nih orang mau nganter?! Rumahku ke kafe jalan kaki saja cuma sepuluh menit. Sepuluh menit! Cepat-cepat saja aku membuka pintu biar dia enggak jadi nganter.

"Eits, tunggu! Kamu mau kabur ke mana, Ter?" Aku terdorong ke belakang ketika dia menarik tanganku. Ah, kenapa harus skinship segala sih. Kumat lagi nih ntar. Aduuuh!

Langsung saja aku lepaskan tangannya dan mengatur napasku perlahan-lahan. Kulihat Mas Gio mulai penasaran dengan responsku yang mungkin terasa berlebihan baginya.

"Hey, kamu nggak apa-apa? Nggak lagi sakit, 'kan?" ujarnya dengan tangan hampir menempel di dahiku. Segera saja aku mundur untuk menghindarinya.

"Enggak, enggak apa-apa. Saya pulang sendiri saja, Mas. Lagian deket kok. Terus jalan ke rumah saya, kan, beda arah dengan rumah sampeyan."

"Anak gadis jangan pulang sendiri malem-malem. Ntar dibawa dol gacuk loh."

Aku hanya bisa memutar bola mata karena kesal dengan joke yang baru saja dia lontarkan. Ah, dasar sudah calon bapak-bapak makanya guyonannya lawas banget. Padahal itu guyonan sewaktu aku masih SD.

Mulutku sudah akan membuka ketika dia dengan tiba-tiba memotong sambil bersikap sok galak di depanku. "Udah, nggak usah nolak. Tumpangan gratis ini sekalian kamu nyobain naik motor baruku. Nggak boleh nolak pokoknya."

Ha? Motor? Masa dia beneran beli motor yang dua hari lalu aku lihat brosurnya di meja kerjanya? Masa abis nanya kemarin itu bagus motor yang mana terus langsung dia beli beneran? Serius?!

Dan, benar saja, setelah kami menutup kafe dan berjalan ke tempat parkir, aku benar-benar melihat motor itu. Honda CBR150R berwarna merah mengkilat terparkir anggun di sana. Ya Tuhan, beneran dibeli dong!

Sebenarnya, nggak ada masalah juga sih bagiku kalau dia beli motor gituan. Tapi, kalau aku disuruh bonceng, jelas ogah bangeeet! Motor itu terlalu tinggi dan kalau naik, aku tidak bisa duduk tegak. Malah cenderung membungkuk seperti akan memeluk dia.

Aku akhirnya pasrah saja membonceng dengannya. Tapi, punggungku jadi sakit karena berusaha tegak agar tidak refleks memeluk dia.

"Ter," panggilnya.

"Iya? Gimana, Mas?" Aku hanya bisa menatap wajahnya dari balik spion.

"Kamu kok bisa masuk Jurusan Statistika? Padahal tampangmu lebih cocok masuk perhotelan."

Nggak habis pikir aku, apa hubungannya tampangku dengan Jurusan Perhotelan? "Saya cuma iseng aja milih, soalnya jurusan lain nggak ada yang sreg. Meski saya anak IPA, tapi saya lebih suka ngitung-ngitung aja. Jadi, nggak termasuk hapalan materinya."

"Oh, pantes kamu diajarin resep kopi nggak hapal-hapal sama sekali."

"Yaelah, Mas. Baru juga semingguan saya kerja masa langsung hapal, sih. Saya sampe bawa-bawa catetan tuh biar cepet hapal." Hadeee, random amat, sih, nih orang. Untung bosku, untung bosku! "Terus, ada angin apa sampeyan nganter saya pulang?" lanjutku bertanya padanya.

"Yah, nganter karyawan sendiri masa nggak boleh? Lagian, nggak cuma kamu yang udah pernah aku anter pulang. Mbak Winda, Mas Adit, Mas Satya juga pernah saya anter pulang semua kok. Biar lebih dekat dengan karyawan juga, Ter."

Wah, bos yang baik ternyata. Puji Tuhan deh aku dapet model bos humble kayak gini, walau bikin overthinking sih.

"Oh iya, kamu sempet cerita kalau dapat bidikmisi, tapi kok masih butuh kerja sampingan? Bukannya dapat uang saku tiap bulan?"

"Memang dapat uang saku, tapi enggak rutin tiap bulan dikasih tepat warktu. Jadinya saya butuh pekerjaan untuk jaga-jaga bulan ini. Yah, mau gimana lagi. Tugas ospek dan tugas dosen numpuk semua. Paling mengerikan ya tugas ospek karena butuh ngeprint banyak dan uang jajan saya sampai menipis."

"Wah, kamu mandiri juga ya. Eh, gang rumahmu sebelah mana? Masih terus?" ujarnya, membuatku cepat-cepat menyuruhnya berhenti di dekat gapura berwarna merah. Ah, semoga saja tidak ada yang melihat aku diantar pulang oleh laki-laki.

"Sampai sini aja, Mas. Oh iya, terima kasih sudah diantar. Saya pamit dulu." Dengan cepat aku segera masuk gang tanpa melihat ke belakang. Jujur saja malam ini rasanya kacau parah. Aku tidak ingin terlibat dalam hal yang sia-sia.

=====================

Semarang, ditulis awal pada 07 Oktober 20

Dibuat ulang pada 26 November 2020

Ester and The Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang