1. Bukan Tak Bisa, Tapi Sudah Cinta

1.5K 29 3
                                    

Bukan Tak Bisa, Tapi Sudah Cinta

Karya: Fachri Al Fariji


Kala itu, di kecamatan Andir kota Bandung, Jawa Barat. Aku dan Bundaku menghampiri rumah keponakanku, Ria Putri Raiqana.

“Ya Allah, Ria kamu udah besar lagi. Nambah cantik,” ungkapku. Ya, aku begitu terkejut melihat Ria yang sudah bertambah besar. Terakhir bertemu dengannya saat dia baru berusia tiga tahun. Sekarang dia sudah berusia lima tahun.

“Cucu Oma pasti udah pintar Bahasa Inggrisnya, ya gak?” tanya Bundaku.

“Iya dong Oma aku udah pintar berbahasa Inggris. Aku hebat, kan, Oma?” terangnya.

Memang keinginan Bundaku adalah menjadikan Ria sebagai anak kecil yang pandai berbahasa Inggris, agar bisa kuliah di luar negeri saat besar nanti.

***

Sore hari yang cerah, aku dan Ria tengah bermain di halaman rumahnya. Tiba-tiba, secara spontan Ria mengucapkan, Auntie. Come on let’s take a break first. I’m tired.”

“Ria, Tante gak ngerti apa yang kamu ucapkan. Kamu bisa, kan berbahasa Indonesia?” Gumamku tersenyum.

“Nah itulah kenapa Bunda suruh kamu belajar Bahasa Inggris waktu kecil. Jadinya, kan gak malu sama anak kecil. Haha.” Sindir Bundaku yang datang secara tiba-tiba.

Memang dulu Bunda menyuruhku untuk belajar Bahasa Inggris. Aku sudah belajar yang menjadi umum pelajaran di sekolah. Namun, Bunda terus menuntutku untuk itu. Hingga akhirnya aku menyerah dan pasrah atas semua usaha ini. Aku sudah lelah, karena semua ini di luar batas kemampuanku. Sejak kejadian itulah, Bunda jadi lebih sering menyindirku di hadapan keponakanku.

***

Dua minggu berlalu. Tak terasa aku sudah lama menghabiskan waktu liburan sekolahku di kota Bandung. Hari ini saatnya aku pulang kembali ke Madura.

“Yah. Kita udah berpisah lagi Ria. Padahal Tante masih kangen sama kamu,” ungkapku.

Saat aku sudah pamit kepada Ria, kakakku dan kakak iparku. Namun, Bunda tak kunjung keluar. Saat keluar ia tak memakai baju bagus dan tak membawa tas baju.

“Loh kok Bunda gak bawa tas? Terus kenapa pake baju daster gitu? Kita, kan mau pulang, Bun?” tanyaku heran.

“Kamu aja yang pulang, ya. Ada ayah kok di rumah. Bunda masih pingin di sini sama cucu Oma tercinta.” Terang bunda sembari memeluk Ria.

“Loh tapi, kan, Bun. Mana mungkin aku sendirian yang pulang. Lagian tiket keretanya udah dipesan,” ujarku.

“Haha. Tiketnya udah dibatalin karena Bunda memang punya rencana mau lama di sini, bahkan mau pindah ke sini. Sebab bunda mau ajarkan Ria sampai benar-benar bisa Bahasa Inggris. Gak kaya kamu,” ejeknya.

Akhirnya aku pun pulang ke Madura seorang diri. Jujur, hati ini tersakiti. Semenjak kelahiran Ria, sikap Bunda berubah menjadi pilih kasih. Lima tahun tak jarang Bunda ke Bandung hampir satu bulan sekali. Aku hanya bisa pasrah, agar hati bunda bisa terbuka lagi untukku.

Kedua orang tuaku, perlahan mulai melupakanku. Bunda yang sudah mencintai berlebihan kepada Ria dan ayah yang sibuk dengan pekerjaannya. Serasa hidup ini tak adil buatku. Ketimbang aku tak bisa berbahasa Inggris, semua ini harus terjadi padaku. Aku itu bukan tak bisa, tapi sudah cinta akan berbahasa Indonesia.


Teringat pepatah mengatakan, “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Lebih baik tinggal di negeri sendiri.”

Karena itulah aku lebih menyukai dan bangga berbahasa Indonesia dibanding Bahasa Asing lainnya. Bukan tak bisa, tapi sudah telanjur cinta.

***

Hari semakin berganti, hingga tahun yang berganti. Rasanya aku semakin dihina dan semakin direndahkan kedua orang tuaku, khususnya Bundaku.

Pagi itu, Ria berkunjung ke rumahku di Madura bersamaan dengan Bunda yang tak kunjung pulang sejak hari itu. Bukannya senang melihat kedatangan Bunda dan Ria, aku malah sedih mereka datang. Sebab aku yakin, pasti Bunda akan mengejekku dan menghinaku lagi karena sampai saat ini belum terlalu pandai dalam berbahasa Inggris.

“Hi aunt! I miss you. I haven’t seen you for a long time.” Ria memelukku.

“Ria kamu kalau ketemu sama Tantemu jangan berbicara Bahasa Inggris. Dia gak akan paham. Haha.” Hina Bunda tertawa terbahak-bahak.

Kali ini, Ria sudah berani membanggakan dan berlagak sombong dengan kemampuannya. Hampir-hampir dia setiap hari selalu berbicara Bahasa Inggris. Aku hanya takut, kalau dia akan lupa sepenuhnya Bahasa Indonesia. Semoga saja kekhawatiranku tak akan terjadi.

Makan malam pun berlangsung. Kala itu Ria menunjukkan surat pemberitahuan mengenai lomba bercerita. “Bagus dong kalau ada lomba bercerita. Kamu nanti berceritanya berbahasa Inggris, oke? Biar nilainya besar,” jelas Bundaku.

“Tapi, kan Bun, kalau lomba bercerita itu harus menggunakan Bahasa Indonesia. Sebab kriteria penilaiannya sesuai dengan KBBI dan PUBEI,” ucapku.

“Aduh kamu tuh tau apa sih, tentang Bahasa Inggris? Kamu iri, ya sama Ria, karena kamu gak bisa Bahasa Inggris? Haha, dulu anak kecil yang malu sama anak besar. Eh sekarang anak besar yang malu dengan anak kecil.” Ejek bundaku tertawa terbahak-bahak.

Semakin sakit hati rasanya harus seperti ini. Namun, biarlah. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidupku.

Acara lomba pun dimulai. Ria siap untuk bercerita menggunakan Bahasa Inggris. Di perlombaan ini, dia sangat berharap untuk memenangkannya. Sebab inilah impiannya sejak dulu.

Sekarang giliran Ria naik ke atas panggung dan siap untuk bercerita. Baru saja dia mengucapkan, “Hello everyone is happy.”

Spontan dewan juri langsung memberhentikan cerita Ria. Dewan juri memerintahkan supaya Ria bercerita menggunakan Bahasa Indonesia. Bunda sudah membela mati-matian. Namun, itu tak ditanggapi oleh dewan juri. Ria hanya bisa termenung, karena sekarang dia lupa akan berbahasa Indonesia satu kata pun.

Dengan berat hati, dia pun harus didiskualifikasi dan tak diterima dewan juri. Isakan tangis kesedihan terlantunkan dan mengalir di pipinya, karena sekarang impiannnya untuk mengikuti lomba bercerita harus terhenti. Sebab dirinya tak mampu lagi berbahasa Indonesia.

“Ya Allah. Sekarang hamba sadar. Ternyata mendidik anak untuk berbahasa Inggris super ekstra itu salah. Sampai-sampai bisa membuat dirinya lupa akan Bahasa kesatuan tanah kelahirannya. Astagfirullah,” ujar bunda sembari meneteskan air mata.

“Misha. Bunda minta maaf sama kamu. Ternyata kamu itu bukan tak bisa berbahasa Inggris. Hanya saja kamu sudah telanjur cinta akan Indonesia. Maafkan Bunda, ya.” Bunda memelukku erat.

Bukan tak boleh untuk belajar Bahasa asing. Namun, jangan sampai lupa akan Bahasa yang menunjukkanmu arah kelahiran daksamu. Cintailah Bahasa Indonesia, sebagai bentuk kebanggaan akan tanah Ibu Pertiwi. Katakanlah bahwa kamu bukannya tak bisa, tapi sudah telanjur cinta. Pahamkanlah.

Cimahi, 6 Oktober 2020

Kami Bangga Berbahasa Indonesia (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang