2. Museum Diksi

619 15 1
                                    

Museum Diksi
Karya: Sivia Aulia Sahara Sya'ban


Anak dara itu tengah merantau. Bukan ke luar kota maupun pulau, melainkan luar negeri. Sungguhpun dia menjadi kebanggaan bagi kampung kami, wilayah terpencil yang jauh dari kata hiruk pikuk kota metropolitan. Dia gadis yang cerdas, apalagi soal Bahasa Inggris, satu kampung bisa kewalahan dibuat keterampilannya dalam berucap. Katanya, dia bekerja sebagai penerjemah atau apalah itu. Kami yang kudet, tidak bisa memahaminya.

Setiap kali ada warga desa yang berkunjung ke rumahnya, tidak satupun terlewat. Bagaimana kami tahu dia memiliki banyak piala. Etalase penuh, meja penuh, ruang tamu penuh, sampai terheran-heran kami ketika izin memasuki kamar mandi. Dindingnya eneg dengan piagam. Meski begitu, gadis yang dikenal dengan julukan si Jubir Bahasa Asing Pertama dalam kampung kami itu adalah orang yang rendah hati.

Berbondong-bondong murid dari SD sampai SMA mendatanginya hanya demi menginginkan materi dasar pembelajaran Bahasa Inggris, tak terkecuali orang kampung sebelah. Oleh karena itu, melepas kepergiannya bukanlah sesuatu yang mudah bin menyenangkan bagi kami, kawannya.

Nong, tak bisakah kau pulang lebih cepat? Setahun itu agak ..., ah! Apa perlu kami carikan beasiswa universitas yang bagus daerah sini?” Ambar, sahabat Kemuning, tampak sendu.

Pagi itu, Kemuning hendak pergi ke bandara, merantau. Hampir satu kampung orang merengeknya tetap tinggal, tetapi mustahil.

“Haha, Mbar, maafkanlah. Ini satu-satunya kesempatan Kemuning buat belajar di negara asing. Kemun janji, kok, bakal bawain oleh-oleh dari Inggris.” Hibur Kemuning. Dia memeluk Ambar serta teman-temannya yang lain—bersiap pergi dengan taksi yang sudah bosan menunggu penumpang gerangan tak datang-datang. Semenjak pagi itu, sosok Kemuning hilang dari kampung kami.

***

Usianya tergolong muda, dua puluh satu tahun. Meski bagi kampung kami, itu adalah umur yang kelewat balik untuk menikah. Sering kali dia dipanggil bujangan oleh warga kampung, meskipun si Jubir Bahasa Asing Pertama dalam kampung Kami lebih familier terdengar daripada satu kata pendek yang nyelekit itu. Nama Kemuning sangat harum.

Hari itu, pidato penyambutan murid beasiswa di Universitas XX berjalan mulus. Lewat surat dia bercerita, bagaimana teman-temannya berasal dari negara yang bermacam-macam dengan bahasa yang bermacam-macam pula. Ada yang dari Malaysia, Singapura, India, Amerika, hingga Korea, maupun China. Kemuning juga mengunjungi tempat wisata, mengambil foto, kemudian dia lampirkan dalam surat pendek bersama sekotak gantungan kunci untuk kami. Dengan begitu Ambar bersorak riang, selain mendapat hadiah dan kabar dari Kemuning, dia pun berhasil lolos masuk ke sekolah perguruan tinggi sebagai guru Bahasa Indonesia.

Memang benar, duo jubir bahasa asing dan bahasa pribumi yang telah lama kami kenal di kampung. Dan itu menjadi pemicu semangat muda belajar di kampung kami.

Sudah banyak tempat kursus bahasa Inggris di kampung kami. Sekolah dasar yang dulunya nihil punya guru bahasa Inggris, kini bertabur di sepanjang kelas. Sekarang, kampung kami dijuluki kampung Inggris. Terlebih ketika kepala desa mendirikan homestay untuk pendatang luar kota yang berminat belajar, kepopuleran kampung kami melejit. Berbagai piagam penghargaan dan piala kejuaraan dari Walikota sampai Presiden membanjiri muka kampung kami.

Itu semua prestasi yang membanggakan dan menggumkan, tetapi tidak bagi Ambar. Dia masih belum terbisa melihat Kemuning dengan riangnya masih berkelana di luar negri sambil sesekali membantu kepala desa dalam mensukseskan program belajar Bahasa Inggris lewat gawai. Dia tidak mengindahkan Ambar yang sejak kecil ingin membangun museum literasi.

“Buat apalah, Mbar. Kau tak tahu? Kampung kita nih, kampung kita.” Kemuning menunjuk dirinya sendiri.

“Sudah sukses. Sesuai dengan mimpi kita semasa kecil,” ucap Kemuning dengan bangga, membuat Ambar mengernyit tidak paham.

“Itu mimpi kau, Kemuning,” tegas Ambar, “Lagi pula, kenapa kau meminta untuk menutup Museum Diksi milik kami?” Ambar menatap ilalang yang berdesir oleh angin, malas menatap wajah Kemuning.

“Aih, bukan begitulah, kawan. Aku hanya menyarankan agar kamu memindahkannya ke daerah lain, kepala desa berniat membeli tanah itu.”

“Kepala desa atau kamu?” Perasaan marah yang ditahan sejak tadi, menguar begitu saja. Ambar tidak terima dengan permintaan Kemuning.

“Dan lagi, aku tidak tahu rupanya, kalau kau jadi egois macam ini. Tanah itu milik kami, Kemuning! Aku sudah bersusah payah membelinya bersama suamiku. Dan kau, sahabatku sendiri, mau merebutnya?” Ambar menggeleng-geleng jengah, beranjak dari duduknya lalu menatap Kemuning dengan sengit

“Persahabatan kita berakhir di sini, Kemuning.”

***

Hari itu, adalah hari yang kejam bin konyol bagi Kemuning. Dia tidak mengerti jalan pikir sahabatnya sendiri. Sorenya, Kemuning memberanikan datang ke rumah Ambar, meminta penjelasan. Namun, di balik pondok kayu Museum Diksi tempat Ambar berdiri, langkah Kemuning tertahan. Terlihat beberapa anak kampung sedang duduk digurui oleh Ambar.

“Bangga dong! Museum ini adalah mimpi guru semenjak kecil. Kalian tak lihat, itu pigura pojok dinding adalah penghargaan guru Bahasa Indonesia paling hebat!”

“Kita ini, lahir di Indonesia, dibesarkan di Indonesia. Orang-orang Pribumi yang membenci bangsa-bahasanya sendiri, pasti miring otaknya! Kalau memang mereka menyukai bahasa lain sedang bahasa sendiri tidak, harusnya mereka enyah dari sini! Pergi jauh-jauh!”

Kemuning geram, dia tidak suka kebiasaan Ambar yang melampiaskan amarahnya pada pengajaran. Meski dugaannya tidaklah benar.

“Guru, kalo saya bercita-cita ingin membangun gedung kursus bahasa Inggris, bagaimana?” sahut seseorang. Terdengar bagaimana dia adalah seorang gadis karena suara melengkingnya. Suasana perlahan senyap. Ambar tersenyum, dia mengelus lembut kepala gadis itu.

“Kalau itu terjadi, bukankah sewajarnya kita tetap mencintai bangsa-bahasa kita? Toh, sebab-akibat kesuksesanmu tidak mengubah kenyataan bahwa kamu terlahir di negara tercinta kita, Indonesia. Benar, kan?”

Deg. Bagi Kemuning, itu adalah sindiran keras. Dinding yang selama ini dibangun dengan wallpaper indah, runtuh seketika. Kemuning sadar, dia begitu terobsesi dengan bahasa asing hingga lupa dengan keunikan bahasanya sendiri. Lupa bagaimana sejarah penuh darah perjuangan telah memperkokoh bangsa dan menetapkan bahasa sebagai cagak utama ciri sebuah negara.

Jika bahasa Indonesia lenyap, bukankah keberadaan penyebabnya juga lenyap? Seketika, Kemuning sadar dengan rencananya perihal penggusuran Museum Diksi.

“Ah, benar. Meruntuhkan bangsa sendiri bukanlah kewarasan.”
       
Note:
Nong/enong : sebutan untuk anak perempuan
Anak dara    : sebutan untuk perempuan yang belum menikah
Kewarasan   : antonim kegilaan

Kami Bangga Berbahasa Indonesia (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang