9. Aku Pasti Bisa

385 4 0
                                    

Aku Pasti Bisa
Karya: King Kanaka


Kisah asmaraloka orangtuaku berakhir dengan sangat kandas. Ibu lebih memilih bersama seorang pria yang menurutnya lebih sempurna. Aku harus menjadi tulang punggung bersama ayah berjualan donat di tengah padatnya kota Solo. Roda memang selalu berputar tidak harus di atas tetapi akan mengulang atas ke bawah.

Saat guru bahasaku sedang mengajar, dia memperkenalkan budaya dan keanekaragaman bahasa di seluruh penjuru nusantara. Aku mulai tertarik pada ilmu yang ia ajarkan. Lantas aku berpikir. Dalam batinku, aku ingin bercita-cita menjadi menteri sosial budaya. Pasti akan sangat menarik dan menyenangkan. Setelah bel istirahat berbunyi, aku bergegas ke perpustakaan.

Wah, banyak sekali buku yang membahas sosial budaya Indonesia, batinku.

Aku mulai membuka, menelusuri jejak dari buku tebal ini. Sejak kecil, Ayah juga mengajarkan belajar berbahasa lima suku. Di antaranya ada Jawa, Minang, Batak, Sunda, dan Asmat. Aku juga sangat bahagia saat pertama mempelajarinya.

Tak terasa sudah di penghujung waktu hari Jumat. Sebenarnya aku merasa iri karena tidak bisa mengikuti ekskul bahasa dan budaya di sekolah. Padahal aku ingin sekali mengikutinya demi cita-citaku.

Setelah makan bersama tiga adikku yang duduk di bangku kelas satu SMP dan Sekolah Dasar kelas enam dan lima, aku langsung pergi berjualan donat bersama bapak demi kebutuhan hidup. Walau sebenarnya banyak teman-temanku membully karena aku miskin. Aku tak memedulikannya. Bagiku mereka adalah badai yang menerjangku, tetapi tak terlihat.

Wah, terik matahari panas akan menyenangkan untuk berjualan. Tanpa kusangka ada ketua kelasku yang membeli dagangan kami. Dia memang teman yang sangat baik di kelas. Terlebih lagi kami duduk sebangku. Walaupun dia kaya raya, dia tak pernah memilah-memilih dalam hal pertemanan. Ridho, sosok berwajah tampan dan berhati baik itu, kan kuingat selalu.

***

Besoknya, sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan aku sudah naik ke kelas tiga SMP. Rasanya sangat senang naik dengan nilai yang bagus sekali. Aku kembali sekelas dengan Ridho, dan Budi salah satu tetangga dekatku. Kami memang teman dekat sekali, sejak SD. Bahkan aku tak perlu meminta izin untuk masuk ke dalam rumah mereka.

Budi merupakan orang yang mengajariku sikap sabar dan sosial budaya dan bahasa. Dan Ridho mengajarkanku sikap kepemimpinan, percaya diri, sepak bola, dan masih sangat banyak lagi. Akan tetapi akhir-akhir ini, sosok tampan Ridho agak jarang bersama kita karena kesibukannya dalam berorganisasi di berbagai nacam ekskul. Namun, aku juga berterima kasih dengan sosok Budi yang telah mengajarkanku sosial budaya, serta keberagaman bahasa-bahasa daerah.

Namun, ada hari di mana aku harus merelakannya. Saat hari Sabtu, Budi mengadakan kelas bahasa daerah dan sosok Budi bersamaku setiap Sabtu siang.

Namun, kami dibantu Rahmat—temanku dari kelas sebelah, Sana—Wakil ketua kelas blasteran Jawa-Jepang-Korea, dan Marsha—teman seperjuangan bahasa di kelas 7 tujuh. Kami berlima belajar selama dua jam lamanya hingga Azan Ashar berkumandang.

Saat itu aku, Sana, Budi, dan Rahmat pulang bersama dari rumah Marsha. Awalnya kami sempat berpisah dengan sana di sebuah warung, karena ayahnya akan menjemput. Posisi Sana tak jauh dari kami. Kami bertiga pulang dengan berjalan kaki. Namun, saat kami singgah di sebuah bengkel, sesuatu buruk menimpa kami.

Awalnya hanya melihat-lihat sebentar karena Rahmat tertarik pada sebuah motor, tetapi terdapat sekumpulan remaja yang terdiri dari dua puluhan menangkap kami. Sosok tampan Ridho tak ikut karena ia beristirahat usai LDKA dua hari yang padat. Mereka membawa golok, celurit, dan menidurkan kami.

Saat aku bangun teriakan remaja-remaja itu memekikkan telingaku. Namun, saat kami lihat puluhan anak kecil dan remaja SMP yang tergantung kami kaget setengah mati. Mereka menanyakan asal kami dan perkara uang. Namun, saat mereka sudah menghina fisik kami, dengan kesalnya Budi mengahajar dua orang dari mereka menggunakan batu.

Ketika Bos mereka datang, salah seorang dari mereka memukul dan aku berusaha melawan, tetapi aku dipukul hingga pingsan. Saat itu Rahmat masih dalam keadaan tertidur.

Saat aku membuka mata aku mendengar suara mobil polisi dan aku melihat Ridho dengan telanjang dadanya ia membantu para polisi. Ia juga langsung menghampiriku. Aku langsung mencium dan memeluknya saking panik takut mati. Aku memang menyayanginya sebagai teman dekat. Walau aku sering mencium bibir dan memeluknya dengan erat saat depresi dan kepanikan melandaku. Dia memang teman lelaki tertampan dan terbaik, serta penghilang depresiku.

Namun, saat kutanyakan kabar Budi. Ternyata ia meninggal ditebas celurit oleh salah seorang remaja di bagian leher. Sungguh sedih sekali. Namun aku hanya bisa bolang TYSM atas ilmu yang kau berikan. Karena sekarang seorang Badrun telah menjadi Menteri Sosial Budaya dan bahasa yang sukses.

Kami Bangga Berbahasa Indonesia (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang