6. Saat Bahasa dan Aksara Bicara

496 13 0
                                    

Saat Bahasa dan Aksara Bicara
Karya: Nadia Syarifah Alfiandi Putri

“Kamu, kan menjadi salah satu isi dari sumpah pemuda. Kenapa kamu malah sedih?”

Aku menatap ke arah sumber suara dan melihat Bahasa Daerah tengah memandangku bingung sekaligus heran. Dengan lesu, aku berjalan menuju salah satu tempat duduk terdekat diikuti Bahasa Daerah yang duduk di sebelahku. Aku menggeleng pelan, kemudian menunduk.

“Mereka hanya mengingatku saat hari-hari peringatan seperti itu. Nyatanya, banyak juga masyarakat Indonesia yang tidak percaya diri saat memperkenalkanku pada dunia. Belum lagi tentang manusia-manusia yang tidak peduli saat mengubah makna suatu kata. Mereka bilang, bahasa tidak akan hilang sepanjang waktu meski peradaban dunia berganti, waktu terus menggerus, dan saat zaman yang dulu sudah tak ada lagi,” ujarku.

Di sela-sela kalimat, aku menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan sambil menggeleng.

Usai mendengkus, aku berkata, “Namun, jika hal ini terus berlanjut, aku tidak tahu apakah ungkapan atau kata-kata seperti itu masih berlaku. Barangkali, mungkin sepuluh atau tiga puluh tahun mendatang, anak cucu orang-orang tidak mengenal apa itu bahasa daerah atau apa itu bahasa Indonesia karena para orang tua pun sudah tidak mengenal hal-hal ini lagi semasa kecil.”

Barangkali karena tidak tahu harus merespons seperti apa, Bahasa Daerah ikut menunduk sembari memainkan jari tangannya.

“Aku juga merasa begitu. Seandainya aku sepertimu, setidaknya mungkin aku bisa diingat oleh orang-orang,” balas Bahasa Daerah sedih.

Karena tidak tega melihatnya, aku pun berujar lagi, “Bukankah Bahasa Asing lebih unggul daripada aku?”

Bahasa Daerah mengangguk pelan sebelum kemudian berkata, “Lama-kelamaan mungkin saja kita dilupakan. Seandainya bisa, aku ingin mengikuti perkembangan zaman agar mereka tetap bisa menggunakanku meski hanya sesekali. Tapi, bagaimana pun juga, aku tidak bisa memperkenalkan kosakata baru pada mereka seperti Bahasa Asing yang terlihat menarik.”

Pada akhirnya, aku menatap Bahasa Daerah yang membalasku dengan tatapan sayu. Sampai kapan semua ini akan terus berlanjut? Andai kami bisa menyuarakan pendapat dan menuntut keadilan, apakah semuanya tetap bisa berubah?

Seandainya mereka tahu. Aku bukanlah sekedar bahasa seperti yang mereka katakan. Karena aku adalah sesuatu yang dilahirkan dari ketidakadaan. Seandainya aku bisa menyampaikan keluh kesahku, apa kalian tetap akan mendengarku?

Pada hari itu, aku diikrarkan oleh pemuda bangsa sebagai bahasa pemersatu ras, golongan, dan masyarakat berbagai kalangan. Lantas, apa kalian pernah berpikir seberapa senangnya aku tatkala setiap orang menggunakanku dengan bangga?

Aku, si Bahasa Indonesia yang sering disebut sebagai salah satu identitas bangsa. Mereka bilang, aku berperan sebagai perantara komunikasi dalam kehidupan sehari-hari hingga nanti meski zaman terus berganti. Namun, sekarang tidak lagi. Aku yang dilabeli sebagai ‘sekedar bahasa’ perlahan luntur dalam kebudayaan asing yang bercampur baur dalam negeri sendiri.

Bukankah aku juga bagian dari kalian? Lantas, kenapa kau singkirkan aku demi sesuatu yang tidak jelas asal usulnya untuk sekedar mengikuti gaya dan trend dari zaman yang dielu-elukan sebagai masa kini?

Bukan perihal iri, apalagi dengki. Aku hanya meminta untuk disenangi dan dihargai sebagai identitas negeri. Perkenankan aku menyampaikan satu hal yang selama ini terpendam dan terbungkam dari aksara dan bahasa. Bahwasannya aku dan kalian adalah satu. Aku juga ingin diperkenalkan pada dunia bahwa aku adalah Bahasa Indonesia yang berguna dan bisa membuat orang lain bangga.

Setidaknya ajarkan aku pada sang buta huruf. Lalu cobalah untuk menggunakanku dengan bangga sama halnya tatkala kalian menggunakan bahasa lain dengan perasaan senang dan menggebu.

Aku menyukai kalian yang mengucapkan setiap bagian huruf dariku kemudian merangkainya menjadi sebuah kata dan kalimat. Aku menyenangi setiap orang yang memakaiku sebagai perantara komunikasi. Dan aku juga mencintai orang yang menghargaiku dengan segenap hati yang tulus. Bahasa daerah yang kurang dilestarikan mungkin saja bisa hilang sewaktu-waktu tatkala para leluhur telah menemui ajal sementara muda mudi sibuk mengejar dunia tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka kejar sebagai tujuan. Sekarang, bolehkah aku bertanya?

Kapan kalian akan menghargaiku lagi seperti dulu? Apakah akan ada lagi orang yang menganggapku ‘bukan sekedar bahasa.'

Aku di sini untuk berkata, berkeluh kesah, dan mengadu. Perihal aksara dan bahasa yang tak semanis dulu dan bisa saja terlupakan seiring berjalannya waktu. Tidak. Aku berkata pada kalian semua. Aku tercipta bukan untuk dilupa, tetapi untuk dirasa dan dijaga. Apabila kalian tidak mau, setidaknya pelajari dan ingatlah aku sebagai salah satu identitas bangsa dan pemersatu kalian.


Biarkan aku menyampaikan dan mengingatkan. Bahwasannya aku adalah sesuatu semu apabila kalian memilih abai hingga aku ditelan waktu. Namun, aku akan tetap tinggal di relung hati apabila kalian memilih peduli hingga akhir nanti.

Kami Bangga Berbahasa Indonesia (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang