3. Nasihat Sang Guru

507 8 0
                                    

Nasihat sang Guru
Karya: Devi Apriliawati


Segumpal awan gelap menggantung dilangit, pertanda akan datangnya hujan. Meskipun cuaca tak secerah biasanya, tidak meruntuhkan semangat dari seorang guru cantik bernama Luna. Dia memilih menjadi guru dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Setelah sekian lama menempuh pendidikan di Ibu kota, dia kembali ke kampung halamannya. Sudah hampir setengah tahun dia mengajar di SMAN 1 Pademawu, terletak di desa Pademawu yang kaya akan budayanya.

Tettt ....

Bunyi bel sekolah pertama terdengar, pertanda akan dimulai pelajaran pertama. Luna melangkahkan kakinya menuju kelas.

“Selamat pagi anak-anak,” ujar Luna penuh semangat.

“Selamat pagi Ibu guru,” jawab muridnya bebarengan.

“Minggu lalu, Ibu memberikan tugas untuk menulis kegiatan kalian selama di rumah. Jadi, hari ini kalian bercerita ke depan tentang kegiatan kalian. Dimulai dari nomor presensi pertama, ya?”

“Iya, Bu.”

Merasa terpanggil, secepat kilat Tomi melangkahkan kakinya ke depan dan siap untuk bercerita.

“Halo teman-teman. Di sini saya akan menceritakan kegiatan aku selama di rumah. Saya—” Luna langsung memotong ucapan Tomi.

“Tomi, kamu kalau mau pakai kata ‘saya’ berarti kamu harus tetap memakai kata ‘saya’ ya! Jangan mengganti dengan kata ‘aku’ mengerti?” Tomi pun membalasnya dengan anggukan.

Luna menoleh ke murid lainnya. “Anak-anak paham?”

“Paham, Bu!”

Tomi melanjutkan ceritanya di depan kelas. Meskipun, bicaranya masih kaku dalam menggunakan bahasa Indonesia, dan terkadang mencampurnya dengan bahasa daerahnya. Tidak hanya Tomi, murid yang lain juga begitu. Bisa dibilang masyarakat di sini masih kesulitan memahami dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Kesehariannya, mereka menggunakan bahasa daerahnya. Melihat itu Luna terus memberikan nasihat dan bimbingan kepada muridnya supaya lancar dan mengerti dalam penggunaan bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, Luna juga sering bersosialisasi kepada masyarakat sekitar tentang pentingnya menggunakan bahasa Indonesia.

Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa bel sekolah terakhir berbunyi pertanda kegiatan belajar sudah selesai. Anak-anak berhamburan keluar kelas menampakkan wajah senangnya. Seperti biasa sebelum pulang ke rumah, Luna menyempatkan diri untuk membeli bakso langganannya.

“Eh! Ada Bu guru,” ujar Mbok Rani—penjual bakso.

“Iya Mbok. Aku mau beli baksonya satu.” Luna duduk di kursi nomor dua.

Sambil menunggu, Luna memainkan ponselnya.

“Aku boleh minta baksomu sedikit?” tanya Dinda.

Melleh rah! enjek tak olle. Riah din engkok. Dasar rèng miskin!” ketus Intan.

Mendengar itu, Luna menaruh ponselnya dimeja dan memperhatikan orang didepannya yang tak lain adalah anak didiknya.

“Kok kamu gitu sih. Ya udah, aku gak maksa kamu, kalau kamu gak mau ngasi.” Intan sampai keselek mendengar perkataan Dinda.

“Hahaha ... bè’èn jek ngangguy bahasa Indonesia. Tak pantas! Bè’èn lebih pantas acaca ngangguy bahasa Madura,” ejek Intan.

Luna berdeham. Sontak mereka berdua menoleh kebelakang. Intan menoleh memperlihatkan giginya yang terdapat cabai.

“Eh, Ibu Luna.”

“Intan, kalau kamu tidak mau memberikan sedikit baksomu pada Dinda, jangan menghinanya, ya! Kasihan Dinda, dia teman kamu. Tidak baik berbicara seperti itu. Kita harus bangga dan tentu kita pantas menggunakan bahasa Indonesia.”

“Apa salahnya, Bu! Aku menyuruhnya memakai bahasa daerah? Ini juga bukan di sekolah. Jadi, Ibu gak usah ngasi tau. Aku sudah ngerti,” ketus Intan.

Mbok Rani datang membawa nampan yang diatasnya berisi semangkuk bakso,  meletakkannya di meja Luna. Mbok Rani mengambil duduk di sebelah Luna.

“Astaga kamu ini! Bicaranya yang sopan sama gurumu. Dengarkan nasihat guru kalian. Masih mending kamu hidup di zaman sekarang yang kebanyakan guru-gurunya tidak main fisik kalau muridnya nakal seperti kamu,” cibir Mbok Rani sambil menunjuk Intan.

“Kalian itu anak didik Ibu. Meskipun kalian tidak di sekolah, tapi ibu juga memiliki kewajiban memberi tahu hal-hal yang benar pada kalian,” ujar Luna. “Ibu juga tidak melarang kamu menggunakan bahasa daerah, tapi apa salahnya jika Dinda memakai bahasa Indonesia. Bahasa daerah memang harus dilestarikan dan tetap digunakan, karena merupakan adat dan kebiasaan didaerah ini. Namun, bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan yang wajib digunakan oleh semua orang Indonesia sebagai identitas negara. Jika kita lancar menggunakan bahasa Indonesia, maka itu akan mempermudah kita berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia dari berbagai daerah. Oleh karena itu, bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu bangsa.”

Mbok Rani menjintikkan jarinya. “Benar itu kata Bu guru. Kita sebagai orang Indonesia pantas berbahasa Indonesia. Dan kita harus bisa berbahasa Indonesia, meskipun terkadang kaku ketika berbicara.”

“Kalian tahu tidak? Semenjak kedatangan Bu guru Luna, aku jadi sering bicara bahasa Indonesia padanya. Meskipun, awalnya sedikit kaku, tapi lama-kelamaan akan terbiasa. Apalagi kemarin ada orang luar kota mewawancarai tentang bakso Mbok. Alhamdulillah Mbok lancar menjawabnya pakai bahasa Indonesia dan tidak kaku lagi. Terima kasih Bu guru sudah memberikan nasihat pentingnya menggunakan bahasa Indonesia.”

Mbok Rani bisa aja. Aku bukannya tidak mengizinkan kalian memakai bahasa Madura. Namun, kalian juga harus terbiasa dan bangga menggunakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional kita,” ujar Luna sambil memperlihatkan senyumannya.

Intan menundukkan kepalanya. “Maaf Ibu guru dan maaf Din, udah menghina kamu. Seharusnya aku gak berbicara seperti itu.” Intan menundukkan kepalanya.

“Iya tidak apa-apa kok.” Dinda merangkul bahu Intan, membuat empunya menoleh dan tersenyum.

Luna mengusap lembut kepala Dinda dan Intan. “Nah gitu dong! Kalau gitu, kan enak dilihat.”

Mbok Rani. Baksonya tambah dua, ya,” ujar Luna.

“Tumben Bu pesan lagi? Biasanya satu udah cukup.”

“Buat Intan sama Dinda,” jawabnya.

“Hah beneran, Bu?” tanya Dinda. Luna hanya membalasnya dengan anggukan.

“Tapi punya Intan masih ada kok Bu, meskipun sedikit,” ujar Intan.

“Kamu masih lapar, kan?” tanya Luna dan dibalas cengiran oleh Intan.

“Terima kasih Bu Luna,” ujar mereka serempak.

Luna senang karena masyarakat di sini sudah mulai mengerti pentingnya menggunakan bahasa Indonesia. Tentunya, mereka tidak melupakan bahasa daerahnya. Meskipun tidaklah mudah memberikan nasihat pemahaman kepada mereka, lambat laun masyarakat di sini dapat memahami pentingnya berbicara bahasa Indonesia.

Kami Bangga Berbahasa Indonesia (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang